
Dawam
January 18, 2025 at 01:11 PM
*"SUBSTANSI 'IBADALLAH"*
Pada syair "’Ibadallah" versi lain, ada yang menggunakan kata "Rijalallah" sebagai ganti dari kata "’Ibadallah" [baca: “’Ibadallah Rijalallah”]. Pertanyaannya adalah, mengapa dalam Manaqib versi Al Fithrah, redaksi yang dipilih adalah kata "’Ibadallah"?
Ada dua jawaban berupa alasan yang secara tidak langsung juga memberikan legitimasi mengapa kata "’Ibadallah" lebih dipilih dibandingkan kata "Rijalallah". Sebelumnya, perlu diketahui bersama terlebih dahulu perbedaan (dan persamaan) antara keduanya. Kata ‘Ibad merupakan bentuk jamak dari kata ‘Abd, yang berarti: hamba. Sedangkan kata Rijal, yang merupakan bentuk jamak dari kata Rajul, berarti: tokoh. Secara substansi, sebenarnya antara kata ‘Ibad dan Rijal memiliki kesamaan makna, yaitu: wali-wali Allah SWT. Namun demikian, kata ‘Ibad lebih dipilih daripada kata Rijal karena dua alasan berikut:
- *Sifat Menghamba adalah Sifat yang Paling Mulia*
Sifat menghamba (kepada Yang Maha Kuasa) adalah sifat yang paling mulia dalam diri seseorang. Sebab, dalam penghambaan akan tumbuh dan muncul sifat-sifat mulia lainnya, seperti rendah diri dan rendah hati, kesungguhan dan totalitas dalam beribadah, serta tidak jemawa dengan (prestasi) ibadah yang telah dilakukan. Lihatlah ketika suatu hari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha mendapati Rasulullah SAW yang bengkak kedua telapak kakinya karena terlalu banyak melakukan salat tahajud.
“Mengapa engkau bersungguh-sungguh dalam melakukan salat tahajud, wahai Rasulullah? Bukankah Allah SWT telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu?” tanya Aisyah keheranan.
“Bukankah aku akan sangat senang jika aku menjadi seorang hamba yang pandai bersyukur?” jawab Rasulullah SAW.
Jadi, ternyata motif ibadah Rasulullah SAW (yang luar biasa secara kualitas dan kuantitas) bukanlah karena ‘ingin surga atau takut neraka,’ melainkan lebih untuk sebuah gelar: seorang hamba yang pandai bersyukur. Bahkan di dalam QS Al-Isra ayat 1, Rasulullah SAW juga disebut oleh Allah SWT dengan gelar ‘hamba’, bukan dengan gelar-gelar mulia lainnya yang disandang oleh beliau SAW.
- *Kata ‘Ibad Lebih Ramah Gender*
Kata ‘Ibad lebih ramah gender, karena dengan menggunakan kata ‘Ibad, semua wali—baik laki-laki maupun perempuan—ikut terakomodasi. Berbeda jika yang digunakan adalah kata Rijal, yang—seperti disebutkan di awal—merupakan bentuk jamak dari Rajul.
Wa Thamsil Kaifi Wal Aini
Maksud dari bait syair ini adalah, kita berharap agar pikiran-pikiran nakal yang berpotensi membuat hati kita menjadi ragu dapat dihapuskan oleh Allah SWT. Misalnya, pertanyaan seperti, “Bagaimana sesungguhnya zat Allah itu?” atau “Di mana Allah berada?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak ada manfaatnya sama sekali. Alih-alih menemukan jawabannya, pertanyaan seperti itu justru berpotensi mereduksi kadar keimanan seseorang. Bukankah dalam sebuah hadis riwayat Tirmidzi, kita diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk bertafakur tentang ciptaan Allah SWT, tetapi dilarang memikirkan zat-Nya?
Bentuk Syair dalam Doa
Seperti tertulis dalam judul, bait syair "’Ibadallah" di atas—secara keseluruhan—adalah doa. Doa yang berbentuk syair. Mengapa berbentuk syair? Karena syair itu indah, dan Allah suka dengan keindahan, bukan? Oleh karena itu, ketika syair ini dilantunkan, kedua belah tangan jangan diturunkan terlebih dahulu. Selama ini, saya perhatikan ketika "’Ibadallah" berkumandang, sebagian orang ada yang menurunkan tangan dan baru mengangkatnya kembali ketika bagian reff "Fa Yaa Rabbiy Bi Saadaati…" dilantunkan. Hal seperti ini kurang ideal. Sebab, "’Ibadallah" ini termasuk dalam satu rangkaian dan satu paket dengan doa Manaqib sebelum dan sesudahnya yang berbentuk narasi. Akhir dari rangkaian doa Manaqib ini—sebagaimana lazimnya penutup doa pada umumnya—adalah bacaan:
"Subhaana Rabbika Rabbil 'Izzati 'Ammaa Yashifuun…"
Allah knows best!
_Oleh: Iben el-Kamel_
❤️
👍
🤍
🙏
😮
🫶
❤🩹
🎀
🎉
💛
104