Qothrunnadaa Learning Centre
February 14, 2025 at 03:00 AM
𝐑𝐀𝐌𝐀𝐃𝐇𝐀𝐍 𝐈𝐓𝐔... Pagi ini, 15 Sya’ban, di Bekasi sempat mendung sejenak. Rasanya ada sesuatu yang akrab dengan suasana ini. Seolah ada serpihan ingatan masa kecil yang sepertinya tak akan pernah terlupakan, yaitu momen menunggu hujan. Sebegitu senangnya dengan bau tanah saat hujan, terkadang saya sering keluar rumah untuk menunggu tetes pertama jatuh ke tanah. Kalau lagi nggak ketahuan ibu, terkadang saya ajak teman-teman untuk main bola di lapangan, meskipun "berani kotor itu baik" tetap aja pulang-pulang ibu sudah siap dengan gagang sapunya. Hehe. Nggak terasa dua pekan lagi kita menuju Ramadhan. Harum semerbaknya sudah tercium, bak menanti hujan disaat mendung sudah tak sabar rasanya untuk menyambutnya. Siapa yang tidak rindu? Ramadhan itu subuh yang sunyi, dengan udara yang lebih dingin dari biasanya. Saat langkah-langkah berat menuju masjid terasa ringan, karena kita tahu, pahala besar sedang menanti. Ramadhan itu suara ibu membangunkan anak-anaknya dengan lembut di sepertiga malam. _"Ayo bangun, Nak, sahur dulu,"_ katanya dengan suara serak karena kantuk yang tertahan. Ia mungkin juga lelah, tapi tetap memastikan semua anggota keluarganya terjaga. Ramadhan itu suara lantunan Qur’an dari masjid, mengalun syahdu di antara gemerlap lampu kota yang masih menyala. Suara imam yang membaca ayat-ayat Allah dengan tartil, membuat hati yang keras perlahan melembut, mata yang kering perlahan basah. Ramadhan itu meja makan yang lebih hangat dari biasanya. Ayah dan ibu duduk bersama, menyuapkan kurma ke mulut masing-masing anaknya. Adik kecil yang mengaduk-aduk es teh sampai buihnya hampir tumpah, ibu yang mengingatkan agar tidak makan terlalu cepat. Sebuah kebersamaan yang tak selalu bisa dirasakan di hari-hari biasa. Ramadhan itu saat azan maghrib berkumandang, lalu seluruh orang di meja makan menahan diri sejenak, berdoa dalam hati. Detik itu, semua rasa syukur berlipat ganda. Seteguk air terasa seperti nikmat yang luar biasa, sepotong kurma seakan menjadi makanan terlezat di dunia. Ramadhan itu derap langkah kecil menuju masjid. Laki-laki dewasa dengan sarung dan peci yang terpasang rapi, anak-anak kecil yang berlarian, membawa sajadah dengan hati penuh semangat. Mereka tahu, malam ini mereka akan menghabiskan waktu dalam shalat yang panjang, dalam doa yang panjang, dalam ketenangan yang tak bisa mereka temukan di bulan lain. Ramadhan itu suara imam menangis di rakaat terakhir shalat tarawih. Saat ayat-ayat tentang surga dan neraka dibacakan, dan kita semua sadar betapa jauhnya kita dari ketaatan. Betapa kita sering lupa bahwa hidup ini hanya sementara, dan betapa kita sering menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekat kepada-Nya. Ramadhan itu doa yang lebih khusyuk dari biasanya. Sujud yang lebih lama. Tangisan yang lebih tulus. Ramadhan itu malam-malam di mana kita menatap langit, berharap bisa melihat tanda-tanda Lailatul Qadar. Malam di mana bumi terasa lebih tenang, angin bertiup lebih lembut, dan hati terasa lebih damai. Malam di mana para malaikat turun membawa keberkahan, dan Allah membuka pintu ampunan selebar-lebarnya. Ramadhan itu pelukan ibu setelah shalat subuh, setelah ia menangis panjang dalam doa-doanya. Kita mungkin tidak tahu apa yang ia pinta, tapi kita tahu, ia selalu menyebut nama kita dalam setiap doanya. Ramadhan itu malam-malam yang ingin kita ulang kembali. Suasana yang ingin kita genggam selamanya. Tahun lalu, kita menyambut Ramadhan dengan semangat. Berjanji ingin lebih baik, ingin shalat tarawih full, ingin khatam Al-Qur’an lebih dari sekali. Tapi, apakah semangat itu tetap bertahan hingga akhir Ramadhan sebagaimana awalnya? Ada sebuah siklus aneh yang sering terjadi. Di awal Ramadhan, semangat ibadah menggebu-gebu. Masjid penuh, mushaf dibuka setiap saat, alarm sahur disetel dengan penuh semangat. Tapi setelah beberapa hari berlalu, semangat itu mulai luntur. Lantunan Qur’an yang tadinya rajin didengar, mulai kalah dengan notifikasi media sosial. Hingga akhirnya, di sepuluh hari terakhir—waktu terbaik untuk berburu Lailatul Qadar—kita malah sibuk berburu diskon baju lebaran. Semua itu terjadi karena kurangnya persiapan! Saudaraku, kita masih punya waktu untuk bersiap. Kita masih bisa memperbaiki niat, membersihkan hati, dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini menghalangi kita dari Ramadhan yang maksimal. Coba kita tanya ke diri sendiri, masihkah kita: 🔸 Menunda shalat dengan alasan "bentar lagi"? 🔸 Menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial tanpa manfaat? 🔸 Kurang dzikir dan istighfar? 🔸 Sering berkata kasar, berbohong, atau sulit memaafkan orang lain? Kalau iya, sekaranglah waktunya untuk berhenti. Karena kalau kita tidak membersihkan diri dari sekarang, Ramadhan bisa saja datang tanpa membawa perubahan apa-apa bagi kita. Ya, Ramadhan bisa saja berlalu tanpa ada satupun yang berubah dari diri kita. Bismillah... Hari ini, di pagi 15 Sya’ban ini, mari kita mulai. Kita hentikan kebiasaan buruk yang menghalangi keberkahan. Kita persiapkan hati agar siap menerima cahaya Ramadhan. Kita buat tahun ini menjadi tahun di mana kita benar-benar mengalami perubahan. Karena siapa yang tahu apakah kita masih akan bertemu Ramadhan tahun depan? _Akhukum,_ *Heri Suheri* 15 Sya'ban 1446H Ditulis sambil sarapan sebelum berangkat ke kantor QLC --- Bersama QLC #semuabisangaji
❤️ 👍 😭 🙏 🌹 💐 🤍 🤲 🥹 🩵 51

Comments