
Purplelight01_
February 9, 2025 at 01:06 PM
*DEWANGGA*
*Chapter 7 : Rasa sakit sebenarnya*
Terhitung empat hari sudah Daniel mendapat perawatan. Pemuda itu terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena malam setelah kejadian kondisinya justru memburuk. Untunglah kondisi Daniel sekarang sudah jauh lebih baik, meskipun nafsu makannya belum kembali. Tubuhnya pun masih lemas.
Hyena datang menjenguk di hari keempat. Sebenarnya, ia bisa saja datang hari itu juga di saat Daniel dilarikan ke rumah sakit, tetapi gengsi. Selama ini Daniel hanya tahu Hyena menyukai Dewangga, pasti aneh jika anak itu melihatnya terlalu khawatir. Jadi, malam itu Hyena menghubungi Dewangga via sambungan video hingga tengah malam, sekadar memuntahkan kecemasannya.
"Hai." Gadis itu tersenyum kikuk sembari melempar sapaan pada lelaki yang kini berbaring di ranjang rumah sakit.
"Tumben sendiri. Awang enggak ikut?"
Gadis itu mengambil kursi, lalu duduk dengan wajah cemberut di samping Daniel. "Gue tuh emang sendiri terus belakangan ini. Lo sakit, Awang sibuk banget. Kadang, pas istirahat dia dipanggil ke ruang guru. Pulang sekolah langsung bimbingan, dan setelah di rumah dia benar-benar enggak bisa dihubungi, kecuali menjelang tengah malam. Tapi, dia nanti ke sini kok. Katanya mau minta izin dulu."
Daniel sama sekali tak merasa heran sebenarnya. Tahu akan ada perlombaan, jadwal belajar Dewangga pasti semakin padat karena yang dikejar bukan sekadar masuk tim lagi, tetapi kemenangan. "Dia pasti capek," gumamnya tanpa sadar.
"Ha? Iya, sih. Kelihatan banget kusutnya."
"Kasih perhatian dong. Lo gimana, sih? Katanya pengin jadi ceweknya. Tapi, enggak ada perhatian-perhatiannya."
"Gue tuh bukan enggak perhatian. Awangnya yang hilang terus setiap mau gue kasih perhatian. Kadang tiba-tiba di perpustakaan, di taman belakang, pokoknya enggak bisa diam di satu tempat. Anehnya, dia betah sama satu hal. Buku."
"Kalau lo jadi ceweknya, siap-siap aja diduain sama buku."
"Enggak apa-apa. Ikhlas. Setidaknya enggak bakal ada adegan jambak-jambakan kalau rival gue buku."
Sontak Daniel tertawa, tetapi detik berikutnya pemuda itu meringis karena infusnya sedikit tertarik.
"Hati-hati dong, ah! Barbar banget. Kalem sedikit kenapa. Lagi sakit juga."
Mendengar Hyena mengomel, Daniel hanya tersenyum.
"Dan, tapi ... kayaknya lo bakal diganti deh sama Awang. Perlombaan kan makin mepet tuh, terus lo malah sakit."
"Enggak apa-apa. Gue malah senang."
Kedua netra gadis itu menyipit, menatap Daniel penuh selidik. "Jangan bilang kalau lo emang sengaja nyari penyakit supaya Awang bisa gantiin posisi lo di tim inti?"
"Enggaklah. Ngapain amat."
"Please, gue bukan cuma sehari ini kenal elo. Biarpun lo ceroboh, tapi biasanya masalah makanan lo paling hati-hati. Terus kemarin tiba-tiba sok mau keluar dari zona nyaman dengan makan makanan pedas."
Pemuda itu menghela napas. "Nyokapnya Awang pengin banget Awang masuk tim. Selain gue, enggak mungkin ada yang mau diganti. Lo tahu sendiri persaingan di sekolah kita gimana. Jadi, ini satu-satunya cara gue mundur tanpa bikin Awang tersinggung karena merasa direndahkan. Toh gue udah sering ikut. Kali ini mundur bukan masalah besar. Bunda pasti ngerti."
"Tapi lo enggak harus sejauh ini, Dan."
Itu bukan suara Hyena tentu saja. Mereka kompak menoleh dan mendapati Dewangga berdiri di ambang pintu.
"Wang ...," panggil Daniel.
Pemuda itu berjalan mendekat, kemudian meletakkan buah-buahan yang ia bawa di atas nakas. Dewangga menyunggingkan seulas senyum, lalu berkata, "Lo enggak perlu berbuat sejauh ini. Seandainya gue emang enggak bisa masuk tim inti, gue bisa jelasin sama Mami pelan-pelan."
"Wang, dengar gue. Gue cuma mau-"
"Kalau lo pikir gue bisa berdiri dengan percaya diri di sana sementara gue tahu sahabat gue menganiaya dirinya sendiri supaya gue bisa ikut, lo salah. Gue mungkin enggak sepintar elo, tapi gue punya hati," potong Dewangga cepat.
"Wang, Daniel enggak bermaksud kayak gitu. Dia-"
"Dia hanya mengorbankan dirinya buat gue, gitu?" Dewangga membuang pandangannya ke arah lain, enggan menatap kedua sahabatnya. Jujur saja hatinya sakit. Bukan ia tidak menghargai usaha sahabatnya, tetapi apa yang Daniel lakukan seolah mematahkan kerja kerasnya selama ini. Apakah Dewangga tersinggung? Tidak. Hanya kecewa. "Dengar ini baik-baik. Kalaupun gue ingin sampai ke satu titik, itu harus karena usaha gue sendiri. Bukan karena pengorbanan orang lain. Mulai sekarang, tolong berhenti mengasihani gue. Kayaknya kita juga enggak usah terlalu dekat, biar lo tahu gimana caranya bersaing secara sehat. Persaingan yang sehat emang bukan dengan saling menjatuhkan, tapi enggak berarti menjatuhkan diri juga. Gue pamit. Cepat sembuh."
"Wang, dengar gue dulu." Daniel berusaha bangkit dari posisinya, berusaha mengejar sang sahabat. Namun, kondisi tubuhnya yang belum benar-benar pulih menghambat geraknya.
Hyena bimbang. Ia ingin mengejar Dewangga, tetapi tak bisa membiarkan Daniel sendiri. Akhirnya, gadis itu memilih menenangkan Daniel dan berusaha meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Hyena bisa bicara dengan Dewangga nanti.
Dewangga keluar dari kamar rawat Daniel dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Di satu sisi ia merasa senang memiliki sahabat yang sedemikian peduli padanya. Namun, di sisi lain hatinya juga terluka saat menyadari bahwa keberadaannya justru menyakiti orang lain.
Pada persimpangan lorong rumah sakit, pemuda itu mendadak berhenti. Bukan ingin kembali, tetapi karena pandangannya tiba-tiba kabur bersamaan dengan pening yang menghantam kepalanya. Dewangga menggapai-gapai, mencari pegangan, berusaha mempertahankan dirinya agar tidak jatuh.
"Dek, kenapa?" Seorang pengunjung berjongkok di sebelah Dewangga sembari menanyakan keadaan anak itu.
Dewangga hanya menggeleng, kemudian memaksakan diri untuk bangun.
"Serius enggak apa-apa? Kelihatan sakit lho. Saya cari bantuan dulu sebentar. Adek jangan ke mana-mana."
Selepas kepergian perempuan itu, Dewangga melanjutkan langkahnya meski sedikit terseok. Ia tidak boleh berkeliaran di sini dengan kondisi seperti ini karena bisa saja keluarga Daniel atau bahkan Hyena melihatnya.
Susah payah, Dewangga menghentikan laju sebuah taksi. Seakan belum cukup buruk, di dalam taksi cairan merah berbau amis itu kembali mengalir dari rongga hidungnya. "Pak, maaf punya tisu?"
Sang sopir taksi refleks menepikan kendaraannya. Panik melihat penumpangnya berdarah-darah. "Dek, mau ke rumah sakit? Itu kenapa hidungnya berdarah?"
"Enggak perlu, Pak. Saya minta tisu aja. Saya dari rumah sakit kok, tadi kepentok."
Meskipun tidak yakin, sang sopir taksi akhirnya mengangguk. Pria paruh baya itu menyerahkan beberapa helai tisu sebelum akhirnya kembali melajukan kendaraannya.
***
Hari ini Ines memutuskan untuk membereskan kamar putranya. Dewangga memang tidak terlalu berantakan. Namun karena tidak sempat, terkadang buku sisa-sisa belajar dibiarkan begitu saja. Hari ini contohnya.
Sembari tersenyum, Ines mulai membereskan buku yang terhampar di tempat tidur putranya. Ia senang luar biasa karena Dewangga tidak seperti remaja kebanyakan yang senang bermain. Dewangga justru fokus pada pendidikan dan masa depannya.
Saat hendak menyimpan beberapa buku pelajaran ke tempatnya, tanpa sengaja Ines melihat sebuah buku di atas meja belajar. Terdorong rasa penasaran, Ines berjalan mendekat. Betapa terkejutnya ia melihat nama putranya tercetak pada sampul buku tersebut.
Apa-apaan? Bukankah Ines sudah pernah bilang agar Dewangga tidak menulis. Namun, yang lebih membuatnya marah adalah judul buku tersebut. I'm Not a Robot? Kenapa Dewangga seolah tengah menyindirnya? Apakah selama ini anak itu keberatan mengikuti semua aturannya?
"Mami ...."
"Maksud Awang apa?"
"Maaf, Mi. Itu udah lama."
"Bukan itu. Apa maksudnya? Awang merasa keberatan selama ini mengikuti aturan Mami? Awang marah sama Mami dan Papi makanya bikin buku begini? Jangan-jangan Awang sengaja bikin buku ini supaya Mami sama Papi terkesan jahat?"
"Mi, enggak gitu. Isi bukunya-"
"Mami kecewa sama Awang. Harusnya Awang enggak berbuat sejauh ini. Kalau Awang emang enggak suka dengan cara mendidik Mami, bilang. Jangan begini. Padahal, Awang tahu apa yang Mami lakukan demi masa depan Awang. Tapi, terserah. Kalau Awang ingin hidup seperti orang bodoh silakan menulis dan berhenti melakukan apa yang selama ini Mami terapkan!"
Ines langsung pergi meninggalkan kamar putranya sembari menangis. Entah mengapa hatinya sakit karena apa yang Dewangga lakukan.
Dewangga ingin mengejar, tetapi rasa sakit itu menghentikan pergerakannya. Tubuh kurus Dewangga meluruh jatuh. Pemuda itu meringkuk sembari menahan sakit. Bibirnya tergigit menahan erangan. Sampai tiba-tiba, gelap mendominasi pandangannya.
|Bersambung|
❤️
😢
🤍
16