Purplelight01_
February 11, 2025 at 02:03 AM
*DEWANGGA*
*Chapter 8 : Marah*
Dewangga melangkah gontai menyusuri koridor sekolah yang masih tampak sepi. Tubuh kurus pemuda itu dibalut hoodie abu-abu. Bukan sekadar gaya, tetapi hari ini memang terasa lebih dingin dari biasa.
Di depan kelas Dewangga berpapasan dengan Daniel dan Hyena. Namun, pemuda itu melewati keduanya begitu saja.
Daniel mencengkeram lengan Dewangga, lalu berkata, "Wang, gue mau ngomong sama lo. Ikut gue."
Dewangga berusaha menulikan pendengarannya. Pemuda itu melepas cengkeraman Daniel tanpa bicara, kemudian bergegas ke mejanya.
"Wang, jangan kayak anak kecil. Kita udah sama-sama dewasa. Enggak ada yang enggak bisa dibicarakan."
Bukannya menjawab, Dewangga justru merebahkan kepalanya di atas lipatan tangan. Bahkan, pemuda itu menyempatkan diri memasang headset sebelum benar-benar memejamkan mata.
Dewangga malas berdebat dengan siapa pun. Selain karena kondisi tubuh yang tak memungkinkan, suasana hatinya juga tidak dalam keadaan baik. Mungkin karena sang mami masih belum mengajaknya bicara hingga detik ini. Pemuda itu bahkan harus berangkat sekolah dengan perut lapar karena menghindari kecanggungan di meja makan dengan maminya.
Daniel masih tak mau menyerah. Ia mengguncang tubuh Dewangga beberapa kali, berusaha menarik atensinya. "Wang, please. Kasih gue kesempatan buat jelasin semuanya."
"Apa sih, Dan?!"
Sontak keduanya terhenyak karena Dewangga tiba-tiba marah sampai menggebrak meja. Beberapa siswa yang ada di kelas pun sampai menoleh karena sama terkejutnya. Terlebih, yang di hadapan mereka adalah Dewangga, orang yang dikenal paling tenang.
"Gue capek! Bisa enggak lo berdua jangan ganggu gue dulu?"
"Wang ...."
"Na, jangan bikin gue marah dua kali. Gue benar-benar lagi enggak mood ngomong sama siapa pun. Jadi, to-"
Ucapan Dewangga terhenti saat tiba-tiba Hyena mengulurkan tangan dengan selembar tisu dalam genggaman, lalu menyeka area hidung Dewangga dengan tisu tersebut.
"Wang, kita ke UKS, ya."
Dewangga mematung, tetapi masih berusaha menguasai diri. Mimisan lagi? Sebenarnya apa yang terjadi pada tubuhnya? Pemuda itu merebut tisu di tangan Hyena, lalu berjalan cepat meninggalkan kelas.
Saat Daniel hendak mengejar, Hyena menahan. "Biar gue aja. Lo di sini."
Hyena meminta Daniel diam karena wajah pemuda itu tak kalah pucatnya dari Dewangga. Bagaimana tidak, saat seharusnya Daniel masih menerima perawatan, anak itu malah memaksa dipulangkan.
Daniel mengangguk patuh, sementara Hyena langsung menyusul Dewangga.
***
"Akhirnya kita enggak usah repot-repot seret lo ke sini. Lo sendiri yang datang."
Dewangga yang masih membungkuk di depan wastapel sembari membersihkan darah yang keluar dari rongga hidungnya, berusaha tak menggubris.
Sampai tiba-tiba, lengan kukuh itu menyentuh kerah seragamnya dari belakang, menarik, dan membenturkan tubuh Dewangga ke dinding.
"Sombong lo anjing! Daniel aja yang lebih pintar dari lo, masih mau bagi-bagi contekan. Lo yang di bawah dia sok keren dan pengin kelihatan pintar sendiri. Saingan sih saingan, tapi enggak gitu! Lo cuma bakal dibenci sekelas kalau hidup kayak gitu."
"Jangan bawa-bawa orang lain dalam ketidakmampuan lo karena pikiran mereka jelas enggak lebih picik dari lo. Mereka ngerti arti bersaing. Sedangkan lo enggak. Lo cuma mau enak, tanpa berusaha."
"Bangsat!"
Wira melepaskan satu pukulan ke perut Dewangga, membuat pemuda itu ambruk seketika. Kendati tubuh Dewangga sudah jatuh tersungkur, Wira masih enggan berhenti. Ia sempat menghadiahkan tendangan bertubi-tubi, yang sontak membuat dua temannya panik.
"Wir, udah! Gila kalau dia mati, kita bisa kena masalah!"
Wira baru berhenti saat Noval—temannya—bertutur demikian. Dengan sorot yang masih terpusat pada Dewangga, pemuda itu kembali melempar ancaman. "Kalau sampai lo ngadu tentang masalah ini, gue pastikan Hyena sama Daniel juga akan bernasib sama."
Ketiganya langsung keluar, meninggalkan Dewangga yang tampak kepayahan walau sekadar menegakkan tubuh.
Di depan toilet, Wira sempat berpapasan dengan Hyena.
"Wir, lihat Awang enggak?"
"Ke arah sana tadi. Mau bolos sih kayaknya," sahut Wira dengan telunjuk teracung mengarah ke satu titik, tepatnya gerbang belakang sekolah.
Hyena yang tak percaya mendengkus sebal, kemudian melanjutkan langkahnya ke UKS. Hanya ada dua tempat yang mungkin didatangi Dewangga sekarang, UKS atau toilet sekolah, tapi tidak mungkin Hyena masuk toilet laki-laki sembarangan. Jadi, melihat Wira keluar dari sana, ia langsung bertanya. Namun, Wira malah mempermainkannya.
Begitu sampai ke UKS pun Dewangga tak tampak di sana.
"Itu anak ke mana, sih? Masa iya bolos?" tanya Hyena bingung. Ia menggeleng beberapa kali menepis pikiran tersebut. Jangankan bolos, dalam kondisi sakit saja—jika tidak terlalu parah—anak itu memaksakan diri tetap masuk.
Tiba-tiba saja sebuah pesan masuk.
*Daniel*
Awang udah balik ke kelas, Na.
***
Dewangga membuka mata saat ponsel di saku celananya bergetar. Pemuda itu melihat satu pesan masuk, berharap besar bahwa itu sang mami. Nyatanya bukan. Namun, wajahnya tetap berubah cerah melihat siapa yang mengiriminya pesan.
*Papi*
Udah pulang belum?
Papi lagi di jalan.
Lewat sekolah kamu.
Mau bareng?
*Me*
Aku tunggu di halte dekat sekolah, ya, Pi.
*Papi*
Oke.
Pemuda itu tak membalas lagi, memilih diam menikmati sisa-sisa rasa sakitnya. Daniel dan Hyena berdiri tak jauh dari posisi Dewangga berada, dan tentu saja ia menyadari itu. Namun, tak sedikit pun terbesit keinginan untuk mengajak mereka bicara. Dewangga benar-benar sedang ingin sendiri.
Bukan benci. Dewangga hanya merasa bersalah dan gagal sebagai seorang sahabat. Ia tidak menyangka jika Daniel akan berkorban sebanyak itu untuknya. Hari ini juga ia mangkir bimbingan karena mendadak merasa tidak percaya diri. Daniel lebih pantas mengikuti perlombaan itu. Apalagi, setelah mendengar ucapan Bu Mafida tadi.
"Ibu tahu Dewangga bisa diandalkan, tapi belakangan ini Dewangga seperti tidak bisa berkonsentrasi. Lebih banyak diam juga, tidak seaktif biasa. Entah mengerti atau malah sebaliknya. Ibu masih berharap kalau kamu yang mewakili sekolah kita, Daniel."
"Maaf, Bu. Saya enggak bisa."
"Kenapa? Kamu tahu saingan kita itu berat. Teman-teman kamu mungkin pintar, tetapi enggak secerdas kamu. Demi sekolah kita."
Dewangga refleks menutup mulut saat perutnya tiba-tiba terasa mual. Keringat sebesar biji jagung turut membasahi tubuhnya. Bukan perkara kemundurannya dari perlombaan itu yang mengganggu, tetapi tentang bagaimana ia menjelaskan pada sang mami tentang kegagalannya.
Daniel sudah ingin mendekat, tetapi sebuah mobil lebih dulu berhenti di depan halte, tempat di mana Dewangga menunggu. Ia menghela napas lega melihat ayah sahabatnya turun dari mobil tersebut. Bukan tanpa alasan ia membiarkan Dewangga sendiri. Hyena bilang, orang yang sedang marah tidak akan bisa diajak bicara. Kepalanya terlalu penuh bahkan untuk sekadar menerima penjelasan. Jadi, lebih baik menunggu sampai kondisinya sedikit membaik, baru bisa bicara dari hati ke hati.
"Lama enggak nunggu? Maaf, tadi Papi mampir dulu sebentar beli sesuatu titipan mami kamu."
Mendengar maminya kembali disebut, wajah Dewangga semakin pucat. "Enggak apa-apa, Pi."
"Awang kok pucat banget? Sakit, Nak? Kita ke rumah sakit dulu kalau begitu," ujar Damian begitu melihat putranya dari dekat.
"Enggak usah, Pi. Aku baik-baik aja," sahut anak itu sembari naik ke mobil.
Damian tidak tahu apa yang terjadi kemarin, tetapi saat menghubungi sang istri tadi, ia sadar ada sesuatu yang terjadi antara Ines dan putranya. Ines selalu mengalihkan saat ia membicarakan Dewangga, tidak seperti biasa.
Saat Damian hendak naik ke mobil, ia juga mendapati teman-teman Dewangga yang hanya menatap dari jauh.
"Daniel, Hyena, mau ikut pulang sama Om?"
"Lagi pesan taksi online, Om." Hyena yang menjawab.
"Oke. Om duluan, ya."
Kedua anak itu hanya mengangguk dan membiarkan mobil yang ditumpangi Dewangga bergerak menjauh. Daniel berharap, esok hubungannya dengan Dewangga bisa lebih baik. Selama mereka berteman, baru sekarang Dewangga semarah ini.
|Bersambung|
❤️
🤍
🫶
15