Purplelight01_
                                
                            
                            
                    
                                
                                
                                February 11, 2025 at 02:46 PM
                               
                            
                        
                            *DEWANGGA*
*Chapter 9 : Tidak baik-baik saja*
"Awang marahan sama Mami?"
"Aku yang salah, Pi."
"Kamu bikin salah apa?"
Pemuda itu menghela napas sebelum tangannya terangkat menunjuk sebuah buku di atas meja belajar. "Mami salah paham. Padahal, isinya enggak kayak yang Mami pikir. Buku itu cuma berisi penyangkalan robot manusia. Dia merasa bukan robot saking udah nyamannya sama manusia di sekitar dia. Enggak masuk akal, ya, Pi? Orang itu aku bikin udah lama. Belum tahu riset dan lain sebagainya."
Damian duduk di tepian tempat tidur, lalu mengusap kepala putranya. "Emang Mami mikir apa?"
"Mami bilang buku itu bentuk protes aku karena merasa diperlakukan seperti robot. Padahal, enggak gitu. Kadang emang capek, tapi aku tahu semua orang tua mau yang terbaik buat anak-anaknya. Aku aja yang selalu ngecewain Papi sama Mami."
Pernyataan Dewangga membuat Damian merasa tertohok. "Berarti Mami enggak baca isinya?"
"Enggak, Pi."
"Ya udah, biar nanti Papi yang jelasin." Melihat putranya tak menanggapi, Damian kembali bersuara, "Awang marahan juga sama Daniel dan Hyena?"
Anak itu menggeleng. Enggan memperpanjang pembicaraan ihwal sahabatnya, Dewangga memilih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Pi, aku tidur sebentar, ya. Nanti kalau guru lesnya udah datang boleh minta tolong bangunin enggak? Eh, enggak usah, deh. Aku pakai alarm aja."
Sekali lagi Damian mengusap puncak kepala putranya. "Nanti Papi bangunin. Kamu tidur aja," sahutnya.
Lelaki itu tak langsung beranjak kendati putranya mulai memejamkan mata. Dari dekat, entah mengapa Damian merasa tubuh Dewangga tampak begitu kurus. Wajahnya pun seolah kehilangan rona. Apakah selama ini cara Damian mendidik Dewangga salah? Damian hanya takut Dewangga seperti saat masih berseragam putih merah dulu, mendapat perlakuan tidak menyenangkan karena bobot tubuhnya di atas rata-rata.
Setelah puas memandangi putranya, Damian melangkah meninggalkan kamar Dewangga.
"Mi."
Ines yang semula sibuk memainkan ponsel, sontak menoleh. "Kenapa, Pi?"
"Awang sakit. Badannya panas. Telepon guru lesnya dulu aja hari ini Awang libur."
"Awang itu cuma lagi merajuk biar Mami lemah dan mau maafin kesalahannya. Mami enggak mau cepat-cepat maafin Awang. Mami dongkol banget sama dia. Kalau ada yang enggak dia suka, harusnya bilang langsung. Ini malah ditahan-tahan, dijadiin buku lagi. Apa coba maksudnya? Awang mau bikin Mami malu?"
Damian masih berusaha keras menekan emosinya. "Mami udah baca isinya?"
"Belum. Tapi, dari judulnya aja kan udah jelas."
"Gimana Mami bisa menyimpulkan kalau baca aja tuh enggak? Isinya enggak seburuk yang Mami pikir. Awang sama sekali enggak ada niatan mempermalukan kita. Awang malah merasa bersalah karena terus beranggapan kalau dia selalu bikin kita kecewa. Kenyataannya kita yang selalu bikin dia kecewa karena terlalu banyak menuntut."
Ines langsung diam.
"Mulai sekarang, berhenti menekan Awang. Biarkan dia melakukan apa yang dia mau. Dia enggak akan berhenti kalau Mami enggak minta dia berhenti. Mami sadar enggak sekarang Awang jauh lebih kurus? Belakangan ini juga dia lebih sering sakit. Mami enggak kasihan sama anaknya?"
"Pi, yang bikin Awang kurus itu Papi. Papi selalu bilang Awang gendut. Kok jadi Mami yang disalahin? Mami tuh selalu berusaha kasih semua yang Awang mau. Justru Papi yang ngelarang Awang makan ini itu."
"Mami ngerti enggak, sih? Bukan itu poinnya. Di sini kita sama-sama salah. Papi salah, Mami juga salah karena kita sama-sama memaksa Awang melakukan apa yang kita mau sampai Awang enggak punya kesempatan untuk melakukan apa yang dia inginkan."
"Emang Awang enggak mau pintar? Awang enggak mau jadi dokter? Awang enggak mau menjadi kebanggaan orang tua? Cuma orang bodoh yang enggak mau, dan Mami tahu kalau Awang anak pintar. Dia pasti dengan sukarela melakukan apa yang Mami mau."
Saking jengkelnya, Damian tak lagi menanggapi. Ia masih sangat lelah pulang dari luar kota. Hebatnya, Ines malah mengajak berdebat. "Tolong hari ini aja nurut, hubungin guru lesnya Awang dan bilang kalau Awang sakit."
"Enggak bisa."
Damian hilang kesabaran. Lelaki itu merebut ponsel sang istri, lalu mencari kontak guru les putranya. Untungnya, Damian memang tahu jadwal les berikut tenaga pengajarnya. Jadi, dengan cepat ia menemukan kontak tersebut.
Ines melompat-lompat berusaha mendapatkan kembali ponselnya. Sayang, tubuh sang suami yang terpaut jauh darinya membuat perempuan itu kesulitan menjangkau benda tersebut.
"Halo, selamat sore Bu. Iya, saya ayahnya Dewangga. Mohon maaf, Bu, anak saya hari ini enggak bisa les karena sakit. Jadi, Ibu enggak perlu ke rumah dulu."
Di seberang sana seorang perempuan menyahuti panjang kali lebar.
Lantas Damian menjawab, "Aamiin. Terima kasih pengertiannya, Bu. Saya tutup dulu. Selamat sore."
Ines menginjak kaki suaminya, membuat lelaki itu memekik cukup keras.
"Mami kenapa, sih?"
"Kenapa Papi seenaknya banget? Awang aja enggak protes kok Papi yang ribut. Awang dibangunin sebentar buat les juga kuat. Nanti kan bisa lanjut tidur lagi."
"Astagfirullah! Anak kamu tuh sakit, Mi. Pegang badannya panas banget. Dia juga pucat. Enggak lihat kamu tadi pas dia pulang?"
"Bodo amat, terserah Papi! Kalau anaknya bodoh jangan menyalahkan didikan Mami. Papi yang enggak benar mendidik anak!" Usai bicara demikian, Ines langsung meninggalkan sang suami begitu saja.
***
Damian mulai khawatir. Dewangga menggigil dalam tidurnya. Suhu tubuh anak itu juga beranjak naik hingga mencapai 38,6°. Saat Damian mengompres putranya pun, Dewangga tampak tak terusik sama sekali. Entah terlalu nyenyak atau memang sakit itu yang membuatnya tak merasakan apa pun.
Tiba-tiba saja ponsel yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur Dewangga bergetar. Damian mengintip, dari notifikasi yang muncul Daniel pengirimnya. Terdorong rasa penasaran, Damian mengambil ponsel putranya lalu membaca pesan yang masuk. Beruntung, ponsel Dewangga memang tidak terkunci.
Daniel
Wang, gue benar-benar minta maaf buat semuanya.
Gue enggak bermaksud bikin lo merasa rendah atau merasa gagal sebagai sahabat.
Daniel
Gue cuma pengin lo bisa bahagiain nyokap lo.
Tanpa pikir panjang, Damian langsung menekan ikon gagang telepon, menghubungi si pengirim pesan  sembari berjalan ke arah balkon. Tak lupa ia menutup pintu agar Dewangga tak sampai mendengar.
"Halo, Daniel."
"Lho, Om?"
"Iya ini Om. Kamu lagi marahan sama Awang? Kenapa? Kok bawa-bawa maminya?"
Untuk beberapa saat Daniel diam, memaksa Damian kembali bicara.
"Bilang aja sama Om, siapa tahu Om bisa bantu kamu."
Akhirnya, Daniel menjelaskan duduk permasalahannya. Tentang bagaimana ia melakukan hal yang tidak seharusnya sampai Dewangga marah besar. Daniel tahu kalau Dewangga marah bukan karena merasa direndahkan, justru karena pemuda itu benar-benar menyayanginya juga Hyena.
"Saya enggak tahu harus bilang apa lagi, Om. Baru kali ini Awang benar-benar marah."
"Om juga marah kalau jadi Awang, merasa enggak berguna karena sahabat sendiri berkorban sejauh itu. Jangan diulangi lagi, ya. Biar nanti Om bicara sama Awang setelah dia bangun."
"Awang sakit Om? Tadi di sekolah mimisan lagi."
"Lagi?"
Suasana kembali hening. Daniel tak langsung menjawab.
"Daniel, kamu dengar Om? Apa maksudnya lagi? Apa Awang sering begitu?"
"Iya, Om. Beberapa bulan belakangan ini Awang sering mimisan, bahkan pingsan. Jujur saya khawatir sama kondisi tubuhnya. Saya pikir dia terlalu capek karena nyaris enggak punya waktu istirahat. Apalagi selama saya sakit kemarin Awang ditunjuk menggantikan saya untuk ikut lomba. Jadi, dia sibuk melakukan ini ini."
"Jadi, sebenarnya Awang enggak terpilih buat ikut lomba?"
"Yang masuk tim inti cuma tiga orang dari kelas berbeda, Awang dan dua teman saya yang lain jadi backup seandainya di antara kami ada yang enggak bisa."
"Oke Om ngerti. Lebih baik sekarang kamu istirahat. Biar nanti Om yang menjelaskan. Om yakin Awang enggak benar-benar marah. Dia hanya butuh waktu untuk memaafkan dirinya sendiri. 
"Makasih banyak, Om."
Setelah sambungan terputus, Damian kembali ke kamar putranya. Namun, ia tak mendapati Dewangga di atas tempat tidur. Pria itu meliarkan pandang mencari keberadaan anak lelakinya, sampai tiba-tiba suara berdebum hebat menyapa gendang telinganya. Dengan panik ia berlari ke sumber suara dan betapa terkejutnya Damian melihat Dewangga terkapar di lantai kamar mandi dengan darah yang masih mengalir dari rongga hidungnya.
"Awang! Nak, bangun!"
Namun, Dewangga tetap bungkam. Kedua netranya pun tertutup rapat. Dengan tergesa Damian memindahkan Dewangga ke dalam gendongannya, lantas membawa anak itu turun. Ia berharap Ines melihat hal ini dan percaya bahwa Dewangga tidak baik-baik saja.
|Bersambung|
                        
                    
                    
                    
                    
                    
                                    
                                        
                                            ❤️
                                        
                                    
                                        
                                            😢
                                        
                                    
                                        
                                            😭
                                        
                                    
                                        
                                            🤍
                                        
                                    
                                    
                                        12