Purplelight01_
February 15, 2025 at 11:50 AM
*DEWANGGA*
*Chapter 12 : Kenapa harus aku?*
Vonis itu serupa guntur di tengah cuaca cerah. Seperti tak bergejala, tahu-tahu mengganas dengan hebatnya. Bagaimana mungkin putranya yang selalu terlihat sehat mendapat vonis semengerikan itu? Akal sehat Ines menolak percaya. Berulang kali perempuan itu menggeleng, berusaha mementahkan pernyataan dokter, tetapi tak ada yang berubah.
Selembar kertas dalam genggamannya tetap bertuliskan kesimpulan yang sama. Bukan simpulan yang ia mengerti andai dokter tidak bermurah hati menjelaskan.
"Enggak mungkin, Dok. Anak saya kelihatan sehat. Dia belajar seperti biasa, makan normal, tidak pernah mengeluhkan apa pun. Tapi memang belakangan ini lebih sering sakit. Itu pasti gara-gara aktivitasnya sedikit padat." Ines masih berusaha menyangkal karena setahunya Dewangga memang baik-baik saja.
"Bu, penyakit seperti ini kadang tidak bergejala. Atau mungkin ada gejala, tapi diabaikan," terang sang dokter. Jujur saja ia terkejut karena Dewangga bisa bertahan sejauh ini tanpa pengobatan. Lebih-lebih, setelah mendengar pernyataan orang tua pasien bahwa anak itu tidak pernah mengeluh. Nyaris mustahil untuk kasus dengan metastasis jauh.
Ines tetap menggeleng, meskipun bersamaan dengan itu air matanya luruh.
"Dok, apa anak saya bisa sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa? Apa mungkin dia masih bisa meraih mimpinya?"
Pertanyaan sang istri sontak membuat Damian menoleh. "Mimpi Awang atau Mami?" sindirnya. "Tolong jangan melakukan apa pun lagi yang membuat Awang semakin sakit! Hentikan obsesi Mami."
"Jaga bicara Papi. Ini bukan obsesi. Dengan Awang punya mimpi, dia akan selalu punya alasan untuk bertahan."
Melihat pria berjas putih di hadapan mereka tampak tidak nyaman karena pertengkaran ini, Damian langsung berpamitan dan menyeret istrinya keluar dari ruangan dokter.
"Sakit, Pi. Lepas!"
Damian tak peduli. Tepat di depan kamar rawat putranya, Damian berhenti. Lelaki itu menyudutkan sang istri ke dinding, lalu meloloskan tatapan tajam. "Mi, tolong sekali ini aja lebih manusiawi. Berhenti memaksa Awang melakukan apa yang Mami mau. Ini bukan saat yang tepat memikirkan mimpinya. Beri Awang kesempatan untuk fokus pada kesembuhannya. Itu yang paling penting sekarang, 'kan? Dia anak kita satu-satunya."
"Kenapa apa yang Mami lakukan selalu salah di mata Papi? Mami bukan memaksakan kehendak. Mami cuma mau Awang punya motivasi untuk sembuh."
"Mi, apa kita enggak bisa jadi alasan untuk Awang sembuh? Jangan membebani pikirannya lagi. Kasihan dia. Kanker darah bukan penyakit sepele. Apalagi, dokter bilang penyakit Awang termasuk tipe akut yang bisa memburuk dengan cepat seandainya enggak langsung ditangani. Bisa enggak kita fokus sama kebahagiaan Awang aja?"
"Apa yang dokter bilang belum tentu benar, Pi. Mami yang setiap hari sama Awang tahu betul kondisinya. Awang enggak pernah ngeluh sakit atau apa pun. Dia selalu kelihatan baik-baik aja. Diagnosis dokternya pasti salah."
"Mami tahu apa yang bikin Awang enggak pernah ngeluh? Alasannya cuma satu. Mami enggak pernah ngasih dia waktu buat sekadar ngerasain sakit. Otaknya terus dijejali pelajaran dan soal."
Ines diam.
"Enggak pernah mengeluh bukan berarti Awang enggak merasakan sakit sama sekali."
"Terus apa? Kenapa selama ini Awang diam aja?"
"Awang enggak punya waktu buat bilang kalau dia enggak baik-baik aja."
Kemarahan Ines sedikit melunak, terlebih melihat sorot suaminya. Mata Damian tampak sedikit memerah dan berkaca-kaca seolah menularkan sakit yang sama.
"Aku mohon ... kasih Awang kesempatan buat bahagia."
Lirih sekali kalimat itu terucap, tetapi sanggup menikam Ines tepat di relungnya.
Setelah membenahi diri agar terlihat lebih baik, Damian dan Ines masuk ke kamar rawat putranya. Di sana Dewangga tengah duduk bersila di ranjang, dengan pandangan terpusat ke luar. Bahkan, saat kedua orang tuanya masuk pun anak itu masih tampak tak terusik.
"Awang."
Saat Ines memanggil, barulah anak itu menoleh lengkap dengan senyum yang tercetak di bibirnya.
"Mami."
"Awang lagi ngapain? Lihat apa, Nak di luar sana?"
Pemuda itu menggeleng. "Iseng aja," sahutnya pelan.
Kondisi Dewangga memang tak seburuk kemarin, tetapi belum sepenuhnya membaik juga.
"Apa yang Awang rasain sekarang?"
Dewangga menggeleng. Ia bahkan tak bisa merasakan apa-apa sekarang. Seluruh rasa sakit seolah terhisap sepenuhnya, berganti kebingungan. Mengapa harus dia yang mengalami ini semua? Tidak sakit saja Dewangga merasa bodoh, bagaimana jika sakit? Apa Dewangga sanggup mewujudkan mimpi maminya?
Ya, pemuda itu mendengar dengan jelas pertengkaran orang tuanya yang juga menyinggung masalah kesehatan dirinya.
Meski tak terucap, Damian membaca dengan jelas gurat kesedihan di wajah putra tunggalnya. Mungkinkah Dewangga mendengar semua? Namun, Damian sadar kalau Dewangga bukan orang yang akan menangis di depan maminya.
"Mi, boleh minta tolong beliin Papi makanan. Papi lapar."
Ines sebenarnya masih ingin bersama Dewangga, tetapi ia sadar kewajibannya sebagai seorang istri. "Mami titip Awang."
Damian mengangguk. Selepas kepergian sang istri, Damian merapatkan tubuhnya, lantas memeluk Dewangga. "Kamu dengar semuanya, Nak?"
Semula tak terdengar jawaban. Namun, tepat saat sang ayah mengeratkan peluk, sebuah tanya mengudara, "Pi, kenapa harus aku?"
***
"Iya, Om. Di kelas ada yang namanya Wira. Kalau boleh saya tahu, ada apa?"
Kelopak mata Daniel sontak melebar mendengar jawaban orang di seberang sana. Tangannya bahkan terkepal kuat seolah seluruh amarahnya berhimpun di sana. Hanya sesaat setelah sambungan terputus, Daniel langsung bergegas mencari Wira. Tepat setelah sosok itu berhasil ditemuinya, Daniel melepaskan satu pukulan.
Wira yang tidak siap langsung terhuyung karena bogem mentah dari teman sekelasnya. Namun, pemuda itu segera bangkit dan balas menyerang Daniel.
Aksi saling pukul tak bisa dihindari. Berkali-kali keduanya saling balas. Hyena menjerit meminta tolong, sementara yang lain masih dalam keterkejutan dan tak melakukan apa pun. Setelah keduanya babak belur, barulah teman-teman Wira bergerak memisahkan.
"Lo apain sahabat gue anjing?" sembur Daniel yang masih meronta-ronta hendak menyerang Wira lagi.
"Emang gue ngapain? Sahabat lo itu ngadu apa? Cemen beraninya ngadu!"
Daniel mengayunkan kakinya hingga mengenai tubuh Wira, membuat Wira kembali murka.
"Udah, Dan!"
Hyena berusaha keras membawa Daniel menjauh, meskipun ia masih sangat terkejut melihat emosi Daniel yang tiba-tiba meledak. Daniel bahkan berkata kasar. Ia baru kembali dari kantin, jadi tidak tahu betul apa yang membuat Daniel bertindak sejauh itu.
Setelah berhasil menjauhkan Daniel dari Wira dengan bantuan beberapa teman sekelasnya, Hyena langsung mendudukkan lelaki itu di ranjang UKS. Hyena tak langsung mengobati luka di wajah sahabatnya, justru lebih dulu bertanya.
"Ada apa? Kenapa lo bisa semarah itu sama Wira?"
"Dia berengsek! Dia masih sering nyakitin Awang."
"Nyakitin Awang?"
"Bukan apa-apa."
"Kalau lo jujur sekarang, gue masih bisa maafin. Apa yang enggak gue tahu? Apa yang selama ini Wira lakukan sama Awang?"
Daniel menghela napas. Sejujurnya Hyena tidak pernah tahu masalah ini, tetapi karena ia hilang kontrol, Hyena akhirnya curiga. Mau tidak mau Daniel menjawab. "Wira sering nyerang Awang kalau apa yang dia mau enggak dituruti. Karena Awang terlalu jujur dan enggak pernah mau kasih contekan untuk tugas atau ulangan, Wira marah. Dia pikir gue aja yang lebih pintar dari Awang mau kasih contekan, kenapa Awang segitu sombongnya. Padahal, gue kasih contekan sama dia biar dia enggak ganggu Awang lagi. Om Damian bilang kemarin Awang sebut-sebut nama Wira dan dia kelihatan takut."
"Kenapa cuma gue yang enggak tahu?"
"Gue juga enggak bakal tahu kalau enggak ngelihat langsung apa yang Wira lakuin ke Awang."
"Dari kapan?"
"Awal masuk."
"Kenapa Awang enggak coba lapor, sih? Orang tua dia cukup berpengaruh."
"Itu masalahnya. Dia enggak mau orang tuanya tahu."
Hyena menghentakkan kakinya. "Bodoh. Kenapa, sih, dia selalu sok kuat? Kenapa dia selalu bersikap seolah bisa menghadapi semuanya sendiri? Kenapa dia enggak bilang kalau capek? Kenapa dia enggak bilang kalau sakit?"
"Karena dia enggak pernah punya waktu untuk itu, Na. Lo tahu sesibuk apa dia setiap harinya."
Hyena menutup wajah dengan sepuluh jarinya dan mulai menangis. Jujur, ia merasa gagal jadi sahabat karena tidak tahu kalau ternyata Dewangga begitu tersiksa. Rasanya menyakitkan. Hyena bahkan lupa kalau orang yang ia cintai ada di hadapannya dalam kondisi terluka.
|Bersambung|
❤️
😢
😭
🤍
16