Purplelight01_
Purplelight01_
February 25, 2025 at 10:51 AM
*DEWANGGA* *Chapter 19 : Kontras suasana hati* Daniel tak berhenti muntah sejak pulang dari rumah sakit tadi. Ulu hatinya benar-benar sakit, bahkan merambat hingga ke bagian belakang. Membayangkan setiap kemungkinan yang akan terjadi, menyiksanya lebih banyak. Daniel takut ditinggalkan. Daniel takut sendirian. Daniel tidak ingin siapapun pergi lagi dari hidupnya. Termasuk Dewangga. Dewangga orang kedua setelah sang ayah yang berjanji tidak akan meninggalkannya. Berusaha meyakinkan bahwa Daniel tidak akan pernah dibiarkan sendirian. Dewangga dan Hyena selalu menemani seperti apa pun kondisinya, lantas bagaimana jika Tuhan kembali mengambil orang terdekatnya? Daniel buru-buru menutup pintu kamar mandi saat mendengar pintu kamarnya dibuka. Ia tahu siapa yang masuk, dan Daniel tidak ingin sang bunda melihat kondisinya sekarang. "Sayang, kamu enggak apa-apa?" tanya Fara sembari mengetuk pintu kamar mandi. Namun, tak terdengar jawaban. Meskipun khawatir, ia memutuskan untuk menunggu.  Tak berselang lama Daniel keluar. Wajahnya pucat, bajunya pun basah bermandi keringat. Perempuan itu menghela napas berat melihat betapa berantakan putranya sekarang, tetapi ia berusaha bersikap biasa, tidak ingin terlihat sedih. "Bunda bawa air hangat. Diminum dulu." Tanpa basa-basi, Daniel langsung menolak tawaran sang bunda karena takut kembali muntah. "Kenapa bisa begini? Kamu mikirin apa?" Selain telat makan dan hal lain yang menyebabkan asam lambung naik, Fara tahu beban pikiran sekecil apa pun bisa menumbangkan putranya. Namun, Daniel tak menjawab. Ia tahu pembahasan soal ayahnya begitu sensitif. "Obatnya diminum dulu, setengah jam lagi nanti kita makan biar enakan perutnya." "Aku mau tidur aja, Bun, boleh?" "Ya udah. Nanti kalau kamu enggak ngerasa baikan juga kita berobat, ya." Daniel hanya mengangguk pelan. Ia tidak memiliki tenaga bahkan untuk sekadar membantah. Lelaki itu mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurnya, kemudian melakukan sambungan telepon. "Halo." "Halo, Na. Awang gimana?" "Suara lo kenapa?" Bukannya menjawab, Hyena justru balik bertanya. Bukan tanpa alasan, suara Daniel yang serak bahkan hilang timbul dan terdengar lemas jelas mengundang tanya. "Enggak apa-apa." "Awang udah oke kok. Tadi setelah lo pulang dia juga langsung tidur. Kata Tante Ines, sih, itu hal normal." Daniel tahu. Namun, melihat kejadian itu tetap mengingatkannya pada sang ayah. Jadi, dia buru-buru minggat sebelum melihat lebih banyak apa yang terjadi pada Dewangga. "Dan." "Hm?" "Enggak semua seburuk yang lo pikir. Garis takdir orang juga beda-beda walaupun semua akhirnya sama ... bakal pulang. Tinggal tunggu waktunya aja, 'kan? Jadi, jangan bikin sakit diri lo sendiri dengan berpikir terlalu banyak. Awang aja mau lho berserah, kenapa kita harus pusing memikirkan sesuatu yang bukan urusan kita?" Hyena diam sejenak, sebelum akhirnya kembali bicara, "Gue bilang gini bukan karena enggak sayang sama Awang. Gue sayang kalian berdua. Awang udah jelas lagi sakit, dia butuh kita, kalau lo ikut sakit, gue gimana? Awang gimana?" "Sorry." "Jangan bilang maaf ke gue. Bilang itu sama diri lo sendiri. Sekarang lo udah makan belum?" "Belum." "Mau gue bawain apa?" "Belum pengin apa-apa. Enek." "Pocky?" "Oke." Di seberang telepon Hyena terkekeh. "Bocil. Nanti gue ke rumah lo. Makan dulu yang ada. Jangan biarin perutnya kosong." "Iya, bawel." Sambungan terputus. Daniel memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari menunggu Hyena datang. Hitung-hitung mengisi ulang tenaganya. *** Sudah hampir dua jam Dewangga tidur. Entah lemas atau apa, tetapi setelah ditinggal teman-temannya anak itu langsung terlelap. "Makan dulu, Mi." Ines menggeleng cepat. Bagaimana mungkin dia bisa makan enak sementara Dewangga tidak bisa memasukkan apa pun ke dalam perutnya karena efek kemoterapi. Damian menghela napas. Beberapa waktu ke belakang hubungan mereka terbilang buruk. Mereka selalu bertengkar masalah Dewangga. Padahal, semua tidak sepenuhnya salah sang istri. Damian pun ambil andil dalam kekacauan rumah tangganya. Jika dulu dia tidak memaksa Ines ikut dan membiarkan perempuan itu mengejar mimpinya, Ines juga tidak akan memaksakan hal yang sama pada Dewangga. "Mi." Perempuan itu menoleh menatap suaminya. "Papi minta maaf." "Buat apa, Pi?" "Semuanya. Maaf untuk mimpi Mami yang nggak sempat terwujud. Maaf untuk semua kekacauan di hidup Mami. Kalau ditelaah memang papi sumber masalahnya." Ines menyunggingkan senyum tipis, kemudian berjalan mendekati sang suami. "Enggak ada yang salah. Harusnya mami yang minta maaf karena selama ini udah egois sama semua orang. Mami memaksa Awang jadi apa yang mami mau, padahal Awang belum tentu bahagia karena itu. Papi juga pasti sama tersiksanya." "Ssst ... udah lupain semua yang pernah terjadi. Sekarang kita fokus bahagiain Awang. Kita turuti apa pun yang Awang mau, selama kita bisa. Dia cuma butuh kita sekarang, Mi." "Kenapa harus Awang, Pi? Kenapa bukan Mami aja?" "Karena kalau Mami yang sakit, belum tentu kita sekuat saat ini. Kita doa sama-sama buat Awang, ya, Mi." "Iya, Pi." Damian bergerak memeluk sang istri sembari sesekali memberi kecupan singkat. Di saat bersamaan, Dewangga terjaga dari tidurnya. Ia tak sengaja melihat kedua orang tuanya saling memeluk. Senyum melengkung sempurna di bibir pucatnya. "Mau peluk juga," ujarnya sembari merentangkan tangan. Damian dan Ines jelas terkejut juga sedikit malu. Namun, keduanya segera bangkit, lalu menghampiri putranya, memberikan pelukan yang sama. "Makasih, ya, Pi, Mi, udah ada di hidup aku. Aku bahagia punyakalian." "Nak, harusnya mami yang bilang begitu. Mami minta maaf karena selama ini sangat egois. Mami janji nggak akan memaksakan kehendak mami lagi. Kamu berhak bahagia. Kamu berhak menentukan jalan yang kamu mau." "Mami serius?" Ines mengangguk cepat. "Mi ... sebenarnya dari dulu aku pengen jadi penulis. Apa boleh?" "Kenapa enggak. Sekarang mami dukung Awang mau apa pun." "Papi juga dukung. Pokoknya mulai hari ini Awang bisa jadi diri sendiri. Apa pun itu, selama bikin Awang bahagia, pasti kita dukung. Kita ikut bahagia kalau Awang bahagia." "Makasih, Pi, Mi." "Sama-sama, Sayang," sahut mereka bersamaan. "Aku lapar, Mi. Aku mau coba makan." Ines tampak antusias mendengar penuturan putranya. Dengan cepat ia mengambil makanan yang sudah tersaji, kemudian menyuapi putranya. Pelan-pelan sekali. Ia takut Dewangga tersedak atau muntah lagi jika terlalu buru-buru. "Makannya pelan-pelan, ya, Sayang." Dewangga mengangguk. "Mi, boleh nggak makannya sambil main handphone?" "Boleh." Senyum anak itu semakin lebar mendengar ucapan maminya. Dia dengan semangat mengambil ponsel. Hal pertama yang dia lakukan adalah membuat grup WhatsApp, kemudian mengundang dua temannya. Yakin mereka sudah bergabung, Dewangga langsung mengetik sebuah pesan. *[Family 2]* *Me* Gue pengin hidup Kata mami gue boleh jadi apa pun yang gue mau *Me* Kalian mau nemenin gue, kan? *Hyena* Awang, gue bahagia banget dengernya. Ayo tetap hidup, ayo sehat terus Lo jangan lupa ada kita di samping lo Kita bakal selalu ada buat lo. Dewangga menunggu lama, tetapi Daniel tak juga membalas. *Me* Daniel mana, Na? *Hyena* Ngebo kali Dia kan jam-jam segini biasanya dikelonin Tante Fara. Pemuda itu tersenyum melihat jawaban sahabatnya, membuat Damian usil ingin mengintip. "Kenapa, sih? Kok senyum-senyum sendiri?" Dewangga menggeleng. "Aku cuma bahagia banget. Aku punya Mami sama Papi, punya Hyena sama Daniel juga." "Bahagia terus, ya, Nak. Mami sayang kamu." |Bersambung|
❤️ 😢 🤍 13

Comments