
Purplelight01_
February 25, 2025 at 12:28 PM
*UNSEEN*
*Prolog*
Bandara penuh sesak malam itu. Nama Kanagara Alviero Wijaya menggema di antara sorakan dan teriakan orang-orang yang telah menunggunya. Beberapa membawa spanduk dengan namanya, yang lain mengangkat ponsel, bersiap mengabadikan momen. Padahal, dia hanya drummer, keberadaannya pun kadang tak terlihat. Namun, mereka semua melihat bahkan mengidolakannya.
Gara menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik hoodie. Dia berusaha menyingkirkan rasa lelahnya setelah perjalanan panjang dari luar kota. Kepalanya masih berdenyut akibat kurang tidur selama acara drum competition berlangsung dari satu kota ke kota lain.
Melihat kondisi di luar yang tidak kondusif, cowok itu menghela napas berat. Jika dalam kondisi normal, Gara bisa saja menghampiri mereka. Menyempatkan diri untuk sekadar berfoto atau memberi tanda tangan. Namun, tidak dengan hari ini. Tujuannya sekarang hanya tidur.
Dia merogoh ponsel dari saku hoodie-nya, kemudian jemarinya bergerak cepat, mengetik pesan.
*Saya*
Kak, bisa jemput gue?
Beberapa detik kemudian, layar ponselnya menyala karena notifikasi balasan.
*Matwins*
Di mana?
*Saya*
Jangan ke pintu utama
Terlalu banyak orang
Lo bisa lewat sisi lain? Gue bakal ke sana
Butuh waktu sedikit lebih lama sebelum Lingga membalas.
*Matwins*
Oke, gue otw
Gara mendongak dan menghela napas lega. Lingga selalu bisa diandalkan. Tidak salah jika dia dipandang sempurna oleh semua orang, bahkan keluarganya, terutama sang papa.
Setelah cukup lama menunggu. Gara mulai berjalan santai, berusaha untuk tidak mengundang perhatian. Seperti dugaannya, Lingga sudah menunggu di tempat yang dijanjikan. Gara melangkah cepat ke arah mobil dan masuk tanpa banyak bicara.
"Nyusahin banget," ujar Lingga dengan suara serak.
Gara menoleh sekilas. Kembarannya terlihat pucat, kontras dengan hidungnya yang semerah tomat.
"Lo sakit, Kak?" Gara bertanya dengan dahi berkerut.
"Flu biasa," sahut Lingga, menguap kecil. "Gue udah minum obat tadi."
Gara ingin protes, tapi dia terlalu lelah. Jadi, dia memilih tidur tanpa mengatakan apa pun. Matanya ikut terasa berat saat mobil mulai melaju. Hanya jalanan lengang, lampu-lampu, serta alunan lagu Elang milik Dewa 19 yang terdengar.
Lingga mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba tetap fokus. Namun, kelopak matanya terasa semakin berat, tubuhnya melemas. Entah karena malam yang memang sudah terlalu larut atau efek obat yang mulai bekerja. Tangan kanannya menggenggam setir, sementara tangan kirinya sesekali terangkat mengucek mata, berusaha mengusir kantuk yang semakin merajai.
Gara menggeliat kecil di kursinya. Dia membuka mata sejenak, menoleh ke samping, lalu mengernyit melihat Lingga yang sesekali menguap. "Mau gantian nggak?"
"Nggak. Lo ngantuk gitu," sahut Lingga.
Mobil terus melaju. Jalanan mulai terasa sunyi. Angin malam berembus lembut dari celah jendela yang sedikit terbuka. Gara menarik napas dalam-dalam, mencoba kembali terlelap. Namun, saat matanya hampir tertutup sempurna, dia merasakan sesuatu yang aneh dari cara kembarannya mengemudi.
Detik berikutnya, cahaya yang begitu terang mengembalikan sadarnya. Gara refleks membuka mata. Pandangannya menangkap lampu besar yang melaju cepat ke arah mereka. Lebih terkejut lagi saat dia mendapati kelopak mata Lingga tertutup sempurna dengan kepala rebah ke samping.
"Kak!" Gara menjerit.
Namun, terlambat. Dentuman keras menggema, kaca pecah berhamburan. Tubuh Gara terpental ke depan, sabuk pengaman menahan gerakannya dengan paksa. Rasa sakit langsung menghantam sekujur tubuhnya, disusul dengan suara berderak yang menyesakkan.
Darah.
Asap.
Teriakan yang mulai terdengar samar.
Gara tersentak, terengah dalam kesakitan. Tangannya berusaha meraih sesuatu, tapi tubuhnya seperti kehilangan daya. Pikirannya kacau. Hanya satu hal yang langsung memenuhi kepalanya, Lingga.
Dengan sisa tenaga, dia menoleh ke samping. Pandangannya kabur, tapi dia bisa melihat tubuh kembarannya di balik pecahan kaca.
Lingga tidak bergerak.
Napas Gara tersengal. Matanya berusaha tetap terbuka, tapi dunia terasa semakin gelap. Rasa sakit semakin menusuk dari dalam tubuhnya, tetapi itu tidak sebanding dengan ketakutan yang mencengkeramnya begitu erat.
"Kak ...." Lagi, pelan dia berseru ... memanggil kembarannya. Namun, tak ada respons berati.
Suara sirene ambulans mulai terdengar bersamaan dengan gelap yang berhasil mengungguli kesadarannya.
-Bersambung-
❤️
😭
👍
😢
🙏
🤍
🥹
20