HyoRene
HyoRene
February 16, 2025 at 12:07 PM
~ Happy Valentine’s Day….🥀🩸~ ‘Liburan ini seharusnya menyenangkan. Seharusnya penuh tawa, pesta, dan angin laut yang segar. Tapi yang ada hanyalah… sebaliknya.’ || Di sebuah kafe mewah di tengah kota Seoul, enam perempuan cantik duduk mengelilingi meja bundar. Gelas-gelas kopi dan jus segar tertata rapi di depan mereka, sementara suara dentingan sendok dan garpu bercampur dengan tawa renyah yang memenuhi ruangan. Irene menyandarkan punggungnya dengan anggun di kursi, memegang ponselnya dengan satu tangan. “Jadi, kita sepakat liburan ke Hawaii, kan?” tanyanya, matanya menelusuri satu per satu wajah sahabatnya. “Tentu saja!” Jennie mengangguk antusias. “Setelah kerja rodi di kota ini, aku butuh pantai, matahari, dan cocktail dingin di tangan.” “Kita ke sana untuk merayakan Galentine’s Day,” tambah Mina sambil tersenyum kecil. “Hari di mana perempuan merayakan kebebasan dan persahabatan mereka. Aku suka konsepnya.” Tzuyu, yang duduk dengan kaki bersilang, menyandarkan dagunya di tangan. “Dan setelahnya, hari Valentine. Hari penuh cinta.” Ia melirik sekilas ke arah Jihyo, yang tertawa sambil menggoyangkan gelasnya. Jihyo melirik Irene tanpa sadar. “Galentine’s Day dulu baru Valentine. Itu terlihat… sempurna.” Irene tersenyum samar. Di sisi lain meja, Wendy memainkan sedotannya. “Berarti kita pergi tiga hari dua malam, ya?” tanyanya, memastikan. Jennie mengangkat jempol. “Yup. Kita sudah booking vila mewah dengan private beach. Aku nggak sabar buat berenang di sana.” Mina menyentuh layar ponselnya. “Aku juga sudah cek itinerary-nya. Kita akan menghabiskan hari pertama bersantai, lalu pesta di vila kita. Hari kedua lebih eksploratif—snorkeling, belanja, dan menikmati sunset di kapal pesiar.” Jihyo mengangguk. “Malam pertama harus jadi malam paling memorable.” Semua orang setuju. Percakapan berlanjut dengan canda dan tawa, seolah-olah liburan ini memang akan menjadi momen sempurna yang akan mereka kenang seumur hidup. Tanpa ada yang menyadari— sesuatu. || Hari keberangkatan pun tiba. Bandara Incheon penuh dengan kesibukan seperti biasa, tetapi keenam perempuan itu melangkah dengan percaya diri, mengenakan pakaian stylish dan kacamata hitam mahal. Mereka seperti grup idol yang sedang berangkat tur dunia—menarik perhatian semua orang di sekitar mereka. “Kita akan bersenang-senang, bukan?” Jennie berseru sambil menarik koper Louis Vuitton miliknya. “Tentu saja,” Irene tersenyum kecil, melirik Jihyo yang berjalan di sebelahnya. Jihyo meraih tangan Irene sekilas, memberi remasan kecil yang hanya mereka berdua mengerti. Tzuyu berjalan sedikit di belakang, matanya memperhatikan interaksi kecil itu. Begitu juga Mina, meski ia tidak mengatakan apa pun, hanya mengecek ponselnya seolah tidak peduli. Mereka melewati pemeriksaan imigrasi dan masuk ke dalam first-class lounge sebelum akhirnya dipanggil ke pesawat. Penerbangan 9 jam ke Hawaii berjalan nyaman. Mereka tertawa, bercanda, dan sesekali tertidur dengan masker wajah yang membuat mereka terlihat seperti sosialita yang menikmati hidup. Sampai akhirnya, pesawat mendarat. Begitu mereka keluar dari bandara di Honolulu, hawa panas khas tropis langsung menyapa. Matahari bersinar cerah, langit biru tanpa awan, dan suara deburan ombak terdengar dari kejauhan. “Kita di Hawaii!” Wendy berseru sambil merentangkan tangan. “Hawaii, pantai, cocktail, dan kebebasan!” Jennie menambahkan. Sopir vila mereka sudah menunggu di luar dengan sebuah mobil SUV hitam. Mereka naik dengan penuh semangat, sepanjang perjalanan tak henti-hentinya mengambil foto dan memuji keindahan pulau itu. Setelah sekitar satu jam perjalanan, mereka sampai di vila mereka—sebuah rumah mewah bergaya modern dengan jendela besar yang langsung menghadap laut. Kolam renang infinity di halaman belakang tampak begitu mengundang, dan di kejauhan, garis pantai yang bersih menjanjikan liburan sempurna. Mereka masuk ke dalam vila, meletakkan koper masing-masing di kamar. “Ini lebih dari sekadar sempurna,” bisik Mina, matanya berbinar menatap pemandangan di luar jendela kamarnya. Tzuyu melemparkan tubuhnya ke sofa besar di ruang tengah. “Aku bisa tinggal di sini selamanya.” Jihyo berdiri di ambang pintu balkon, menatap laut yang berkilauan. Irene mendekat, menyandarkan dagunya di bahu Jihyo. “Pemandangan ini nggak ada di Seoul.” Jihyo tersenyum kecil. “Tapi aku lebih suka pemandangan ini,” bisiknya, menoleh ke arah Irene. Mereka saling menatap sejenak—sampai suara Jennie memecah momen itu. “Hey! Malam ini kita pesta, kan?” Jennie berseru dari dapur, menarik perhatian semua orang. “Tentu saja!” Wendy menyahut. “Aku sudah bawa beberapa botol wine terbaik.” Irene berbalik dan menatap teman-temannya. “Baiklah, kita mandi dan bersiap. Malam ini… kita buat pesta yang tidak akan terlupakan.” Dan mereka tidak tahu seberapa benar kata-kata Irene. || Malam itu, vila mereka berubah menjadi tempat pesta pribadi yang mewah. Musik dari speaker Bluetooth bergema di seluruh ruangan, sementara lampu-lampu temaram menciptakan atmosfer yang hangat dan menyenangkan. Aroma minuman mahal bercampur dengan udara laut yang masuk melalui jendela besar yang mereka biarkan terbuka. Di meja marmer, ada berbagai macam makanan ringan, cocktail berwarna-warni, dan tentu saja, wine terbaik yang Wendy bawa. Irene menuangkan wine merah ke dalam gelas kaca tinggi, lalu mengangkatnya sambil tersenyum pada gengnya. “Untuk kita,” katanya. Jihyo tersenyum di sampingnya, juga mengangkat gelasnya. “Untuk Galentine’s Day. Untuk kita, para perempuan yang kuat, bebas, dan tidak butuh siapa pun untuk bersenang-senang!” Jennie tertawa kecil. “Setuju! Kita bahkan lebih berkelas daripada pasangan-pasangan yang akan merayakan Valentine besok. Lihat kita sekarang, di Hawaii, tanpa beban, tanpa masalah.” Mina tersenyum, meski sekilas matanya melirik Irene yang begitu dekat dengan Jihyo. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menyesap anggur di gelasnya. Tzuyu yang sejak tadi hanya duduk tenang di sofa akhirnya mengangkat gelasnya juga. “Untuk kebebasan.” “Untuk persahabatan,” Wendy menambahkan, lalu mereka semua bersulang. Gelas-gelas mereka beradu, menciptakan bunyi dentingan yang terasa begitu elegan di tengah pesta kecil itu. Mereka tertawa, berbincang, dan saling menggoda satu sama lain. Musik semakin keras, dan Jennie bahkan mulai menari sedikit, membuat yang lain ikut tertawa. Semuanya terasa sempurna. Irene duduk di sofa dengan segelas wine di tangannya, memperhatikan Jihyo yang berbicara dengan Tzuyu di sudut ruangan. Tzuyu terlalu dekat. Matanya berbinar saat menatap Jihyo, dan Irene tidak suka melihatnya. Mina duduk di sebelah Irene, juga melihat ke arah yang sama. “Kau melihatnya juga, kan?” bisiknya pelan. Irene menoleh, menatap Mina yang tersenyum tipis. “Kau cemburu,” lanjut Mina dengan nada menggoda. Irene hanya tersenyum kecil, lalu menyesap wine-nya tanpa menjawab. Di sisi lain ruangan, Jennie dan Wendy tertawa bersama. Wendy tampak lebih santai dibanding biasanya. “Kita harus melakukan ini lebih sering,” kata Wendy sambil mengangkat gelasnya. “Sekali-sekali aku setuju denganmu,” Jennie terkekeh. Semua tampak baik-baik saja. Sampai tiba-tiba, lampu padam. Musik berhenti. Suasana berubah menjadi gelap gulita. Suara ombak di luar terasa lebih keras. “Apa-apaan ini?” suara Wendy terdengar. “Tenang, mungkin cuma pemadaman listrik,” sahut Jihyo. Tzuyu mengambil ponselnya dan menyalakan flashlight. “Aku akan periksa ke luar.” “Tunggu,” kata Mina. “Aku dengar sesuatu.” Hening. Lalu, suara itu terdengar. GEDUBUK! Suara berat dari lantai atas. Mereka semua menoleh ke arah tangga yang menuju kamar masing-masing. Irene merasa tangannya dicekam oleh Jihyo. Dingin. Tidak ada yang berani bergerak selama beberapa detik. Lalu, tiba-tiba lampu menyala kembali. “See? Cuma pemadaman,” kata Wendy, mencoba tertawa kecil. Tapi semua masih merasa waspada. “Kurasa aku mau tidur saja,” kata Mina akhirnya. Yang lain mengangguk setuju. Mereka kembali ke kamar masing-masing, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mengendap di udara. || Pagi hari tiba, suasana dingin menyelimuti. Saat Irene terbangun dan melangkah ke dapur untuk mengambil air, dia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti di tempat. Darah. Tetesan merah mengotori lantai dapur, membentuk jejak menuju lemari pendingin. Dan ketika dia membuka lemari itu— Wendy ada di dalamnya. Mata terbuka, wajah membiru, dan lehernya mengeluarkan bercak darah kering. Irene menjerit. Seketika seluruh vila bergetar oleh suara langkah kaki yang panik. Jennie, Tzuyu, Mina, dan Jihyo berlari masuk ke dapur, dan ketika mereka melihat Wendy— Jennie langsung muntah di tempat. Mina jatuh terduduk, tubuhnya gemetar. Tzuyu memegang mulutnya, wajahnya pucat pasi. Jihyo berdiri diam. menggenggam tangan Irene lebih erat dari sebelumnya, dia sangat ketakutan hingga tubuh nya bergetar. “Siapa… siapa yang melakukan ini?” suara Mina bergetar hebat. Mereka semua saling menatap. Tidak ada yang tahu. Tak ada yang berbicara selama beberapa detik. Hanya suara napas tercekat dan detak jantung yang terdengar begitu jelas di kepala masing-masing. Sampai akhirnya Jennie mengangkat kepalanya, wajahnya merah padam oleh emosi. “Siapa yang melakukan ini?” suaranya parau, matanya liar menatap mereka satu per satu. Tidak ada yang menjawab. “Jangan bilang tidak tahu! Kita semua ada di vila ini semalam! Tidak ada orang lain selain kita!” Jennie berteriak. Mina menelan ludah, suaranya pelan dan gemetar. “Apa mungkin… seseorang masuk ke vila ini?” “Jangan bodoh,” potong Tzuyu. “Pintu terkunci. Tidak ada tanda-tanda pembobolan. Ini… ini ulah salah satu dari kita.” Kata-kata itu menusuk mereka semua seperti belati. Hening lagi. Hanya suara angin dari luar jendela yang terdengar, menggoyangkan tirai tipis yang sudah kotor oleh debu. Irene merasa tubuhnya menegang. Tatapan mereka mulai mengarah satu sama lain, penuh kecurigaan yang berbahaya. “Aku tidur di kamarku sepanjang malam,” kata Mina cepat, mencoba membela diri. “Aku tidak mendengar apa pun.” “Aku juga,” sambung Jennie. “Kalau aku pelakunya, untuk apa aku muntah melihat mayat Wendy?” “Itu bisa jadi akting,” gumam Tzuyu, nyaris tak terdengar. Jennie menatap Tzuyu dengan tatapan membunuh. “Kau menuduhku?” Tzuyu melipat tangan di dada. “Aku hanya mengatakan kemungkinan. Kita tidak bisa percaya siapa pun sekarang.” “Aku percaya Irene,” tiba-tiba suara Jihyo terdengar, tenang namun tegas. Semua menoleh ke arahnya. Irene terkejut, tidak menyangka Jihyo akan langsung membelanya seperti itu. Dan benar saja. Jennie langsung menyipitkan mata. “Kau terlalu cepat membela Irene. Kenapa? kau tahu sesuatu tentang nya?” Irene tak terima, ia langsung menyahut, “Kenapa jadi menuduhku?” Jihyo tetap tenang. “Aku hanya percaya padanya. Lagipula, Irene tidak akan mungkin tega” Mina mengangguk pelan, matanya menatap Irene. “Iya… tidak mungkin Irene, aku juga percaya itu.” Kata Mina tak mau kalah membela Irene. Jennie langsung menyela, “justru karena kau membelanya begitu cepat Jihyo, itu malah terlihat aneh. Seolah-olah kau takut Irene disalahkan…” Irene membuka mulutnya, tapi tidak tahu harus membela diri seperti apa lagi. Tzuyu menyilangkan tangan. “Bisa jadi Irene memang ada hubungannya dengan ini. Dia orang terakhir yang berbicara dengan Wendy sebelum kita tidur semalam, kan?” Irene tersentak. “Apa? Aku cuma bicara sebentar dengannya!” “Tapi tetap saja, kau yang terakhir melihatnya hidup,” Jennie menekankan. “Atau mungkin,” suara Tzuyu terdengar dingin, “Jennie yang melakukannya?” Jennie menoleh cepat. “Apa?!” Tzuyu menatapnya tajam. “Kau punya banyak musuh, Jennie. Mulutmu itu tidak bisa diam. Siapa tahu ini semua rencanamu karena kau tidak suka pada kita?” Mina mengangguk ragu. “Iya… dan kau terlalu cepat muntah, seolah ingin memastikan kalau kami semua melihat reaksimu yang ‘terkejut’…” Jennie menatap mereka dengan marah. “Sialan, jadi sekarang kalian menuduhku?! Kalau begitu, kenapa tidak sekalian saja kita mencurigai Tzuyu?!” Tzuyu menegang. “Kenapa aku?” “Karena kau terlalu tenang!” Jennie menudingnya dengan tatapan tajam. “Dari tadi kau hampir tidak bereaksi! Kau bahkan tidak menangis! Psikopat kan memang tidak punya emosi!” Hening. Tzuyu mengeraskan rahangnya, tidak menjawab. Mereka semua mulai saling pandang dengan penuh kecurigaan. Rasa takut kini berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya—ketidakpercayaan. “Cukup,” suara Jihyo memecah ketegangan. Semua menoleh padanya. Jihyo menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Kalian bisa saling tuduh nanti, tapi sekarang kita harus melakukan sesuatu tentang Wendy.” Mereka semua terdiam. Mina menggigit bibirnya. “Apa kita harus melapor ke polisi?” “Tidak bisa,” Jennie langsung menolak. “Apa kalian lupa? Kita ada di negeri orang. Kalau kita melapor, kita bisa ditahan sebagai tersangka. Polisi akan menginterogasi kita satu per satu, dan kalau mereka tahu kita menyembunyikan sesuatu…” Mina menelan ludah, memahami maksud Jennie. Tzuyu menatap lemari pendingin tempat jasad Wendy berada, lalu menarik napas pelan. “Kalau begitu, kita sembunyikan dulu jasadnya.” Mina terlihat tidak setuju. “Kau serius?! Ini jasad Wendy, Tzuyu! Kita tidak bisa memperlakukannya seperti barang yang bisa disembunyikan!” “Lalu apa yang kau usulkan?” Tzuyu menatapnya tajam. Mina terdiam. Irene akhirnya berbicara. “Kita… kita bisa menyembunyikan jasadnya sementara. Sampai kita tahu harus berbuat apa. Kalau kita tiba-tiba pergi dari vila ini, itu juga bisa mencurigakan.” Jihyo mengangguk setuju. “Benar. Kita tetap harus bersikap seperti biasa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.” Mereka semua akhirnya setuju meskipun tidak ada yang nyaman dengan keputusan itu. Jihyo dan Tzuyu yang paling kuat, jadi mereka yang mengangkat jasad Wendy. Tubuh Wendy terasa berat, dingin, dan kaku. Aroma kematian mulai menyebar di ruangan, membuat Jennie menutup hidungnya dengan tangan gemetar. Mina membantu membersihkan bekas darah yang menetes ke lantai, meski tangannya bergetar hebat. “Kita sembunyikan di gudang belakang,” kata Jennie akhirnya. “Setidaknya untuk sementara.” Irene merinding melihat bagaimana tubuh Wendy dipindahkan seperti barang yang tidak diinginkan. Mereka berjalan pelan, memastikan tidak ada tetangga atau penjaga vila yang melihat mereka. Matahari sudah mulai naik, tetapi hawa dingin dari jasad Wendy seolah tetap melekat di kulit mereka. Setelah memastikan jasad Wendy tersembunyi dengan baik, mereka kembali ke vila dengan wajah pucat dan tubuh lemas. Tzuyu menatap mereka semua. “Sekarang apa?” Tak ada yang menjawab. Karena kenyataan yang mengerikan mulai benar-benar meresap ke dalam pikiran mereka— Apa mungkin salah satu dari mereka adalah pembunuhnya? || Mereka semua terduduk di lantai ruang tengah vila. Tubuh mereka masih bergetar hebat, napas tersengal, dan keringat dingin membasahi dahi masing-masing. Gila. Mereka baru saja menyembunyikan jasad sahabat mereka sendiri. Fakta itu terus berputar dalam kepala mereka, membuat pikiran mereka ingin meledak. Ini bukan mimpi buruk. Ini nyata. Jihyo memeluk lututnya, matanya kosong. Tangannya yang dingin mencengkeram erat tangan Irene, seolah-olah hanya Irene yang bisa menahannya agar tidak jatuh lebih dalam ke dalam ketakutannya sendiri. Irene menoleh dan menatap wajah Jihyo yang pucat. “Hei… aku di sini.” Suaranya lembut, menenangkan, meskipun jantungnya sendiri masih berdegup kencang. Jihyo mengangguk kecil, tapi genggamannya tak mengendur sedikit pun. Mina yang duduk di sebelahnya tampak gelisah. Matanya beralih dari Irene ke Jihyo, lalu kembali ke Irene. Perlahan, ia bergerak lebih dekat, seolah ingin bersandar pada Irene karena ketakutan yang semakin menghantuinya. Tzuyu, yang sejak tadi diam di sudut ruangan, akhirnya berbicara. “Jihyo… kau baik-baik saja?” Jihyo tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, tapi genggamannya di tangan Irene semakin kuat. Jennie, yang duduk agak jauh dari mereka, memutar bola matanya dan mendengus sinis. “Seolah-olah aku tidak ada di sini.” Semua mata langsung beralih kepadanya. Tzuyu mengernyit. “Apa maksudmu?” Jennie memamerkan seringai tipis, matanya berkilat tajam. “Jangan bodoh. Kalian pikir aku tidak tahu apa-apa tentang sirkel kita ini?” Tidak ada yang menjawab, tapi atmosfer di dalam ruangan berubah semakin tegang. Jennie tertawa pelan, dingin. “Kita memang sahabat, tapi jangan berpura-pura seperti kita ini benar-benar polos. Mana ada sahabat yang saling suka? Hah?” Irene dan Jihyo saling berpandangan dengan waspada. Jennie menatap mereka tajam, lalu menunjuk dengan dagunya. “Irene dan Jihyo? Itu jelas banget. Kalian pikir aku bodoh? Kalian saling suka, aku sudah lama tahu.” Jihyo menegang, tapi Irene dengan cepat meremas tangannya, memberi isyarat untuk tetap tenang. “Dan Mina…” Jennie menoleh ke Mina, membuat gadis itu refleks menegang. “Dia penuh ambisi untuk memiliki Irene. Itu juga sudah jelas.” Mina membuka mulutnya, ingin membantah, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Jennie melanjutkan, “Tzuyu… wajahmu memang polos, tapi justru itu yang membuatmu mencurigakan. Kau terlalu tenang. Seperti psikopat yang menginginkan Jihyo.” Tzuyu mengangkat alisnya, tidak terganggu sedikit pun dengan tuduhan itu. Jennie menyeringai lebih lebar. “Kalian semua menyeramkan. Aku curiga salah satu dari kalian adalah pembunuhnya. Mungkin ini semua sudah diatur sejak awal.” Tzuyu tiba-tiba tersenyum kecil, tapi senyuman itu terasa begitu dingin dan tidak berperasaan. “Atau jangan-jangan kau, Jennie?” Jennie membeku. Tzuyu melanjutkan dengan nada santai. “Kau selalu mengatakan kalau kau tidak suka berada di antara kita. Kau yang paling sering mengeluh. Kau yang paling banyak bicara. Siapa tahu kau membunuh Wendy karena kau tidak suka pada kami?” Jennie membuka mulutnya, ingin membalas, tapi tidak tahu harus berkata apa. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Sial. Kenapa sekarang dia yang dituduh? “ARGHHH!” Jennie tiba-tiba berteriak, menarik rambutnya sendiri dengan frustrasi. Semua orang tersentak kaget. “Lama-lama aku bisa gila di sini!” Jennie berteriak lagi, suaranya nyaring dan bergetar. Dia memegang kepalanya erat-erat, tubuhnya gemetar hebat. Napasnya tersengal seperti orang yang baru saja berlari jauh. “Aku tidak ingin mati! Aku tidak ingin seperti Wendy! Aku tidak ingin menjadi korban berikutnya!” Frustrasi yang selama ini ia tekan akhirnya meledak. Dia bangkit berdiri dengan kasar, hampir kehilangan keseimbangan. “Aku harus pergi dari sini. Aku harus lapor polisi. Aku tidak mau mati.” Jennie berbalik menuju pintu, tapi Irene dengan cepat menarik tangannya. “Jennie, tunggu!” Jennie meronta. “Lepaskan aku, Irene! Aku tidak mau mati di vila terkutuk ini!” Irene menggigit bibirnya, menatap Jihyo dengan panik. “Jihyo, tolong aku!” Jihyo dengan cepat bangkit, menarik Jennie dari sisi lainnya, mencoba menahannya. “Lepaskan aku! Aku tidak mau—” BRAK! Jennie menendang kursi di dekatnya dengan keras. Nafasnya masih memburu, matanya liar. Dia ketakutan. Panik. Dan lebih buruknya lagi… Dia mulai terlihat tidak stabil. Jarum jam terus berdetak kencang seolah menghitung detik detik genting, membiarkan mereka tak bisa bernafas dengan tenang. Malam semakin larut, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang bisa tidur. Udara di dalam vila terasa berat, menyesakkan dada. Pikiran mereka masih berantakan setelah pertengkaran barusan. Jennie duduk di sofa, tangannya masih mengepal di pangkuannya. Nafasnya mulai stabil, tapi tubuhnya masih sedikit gemetar. Sejak tadi, ia tidak mengatakan apa pun. Tzuyu bersandar di dinding, menatap kosong ke arah jendela. Cahaya bulan menyorot wajahnya yang tetap datar, tanpa emosi. Mina duduk di sudut, memeluk lututnya sendiri, sementara Irene dan Jihyo masih berdekatan, tangan mereka saling menggenggam erat. “Kita harus tetap di sini sampai pagi,” Irene akhirnya berbicara, suaranya terdengar lelah. “Tidak ada yang keluar sendiri. Kita harus tetap bersama.” “Seolah itu bisa membuat kita lebih aman,” gumam Jennie dingin, matanya masih kosong menatap lantai. Jihyo menoleh padanya. “Lalu kau ingin apa, Jennie? Keluar dan mencari bantuan di tengah malam? Dengan kemungkinan ada seseorang di luar sana yang bisa saja membunuh kita satu per satu?” Jennie mendesis kesal, tapi tidak menjawab. Hening kembali menyelimuti mereka. Di luar, angin malam berembus kencang, membuat daun-daun palem bergesekan satu sama lain. Lalu… sesuatu terdengar. CRIK. Suara lantai kayu yang berderit. Semuanya langsung menoleh. Jantung mereka mencelos. Suara itu… berasal dari dalam vila. Mina menelan ludahnya, wajahnya mulai memucat. “Itu apa?” bisiknya. Tzuyu menegakkan tubuhnya, matanya tajam menatap ke arah lorong yang menuju kamar-kamar mereka. “Seperti ada yang berjalan… di dalam vila.” Mereka semua membeku di tempat masing-masing. Tak ada satu pun yang bergerak. Jennie mengerutkan kening, mencoba berpikir rasional. “Mungkin itu hanya suara vila tua ini, kayunya memuai karena udara malam.” Tetapi tepat setelah ia mengatakannya— CRIK. CRIK. CRIK. Suara langkah itu semakin dekat. Pelan… namun pasti. Mereka saling berpandangan, ketakutan semakin mencengkram erat tubuh mereka. Jihyo merapat ke Irene, menggenggam tangannya semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih. Mina menggigit bibirnya, wajahnya semakin pucat. Tzuyu tetap diam, tetapi matanya kini penuh kewaspadaan. Lalu, tiba-tiba lampu vila berkedip-kedip. BZZT. BZZT. Seketika, ruangan menjadi gelap gulita. “SIAL!” Jennie hampir berteriak, tangannya meraba-raba udara dengan panik. “Tenang! Jangan panik!” Irene berseru, tetapi suaranya juga terdengar goyah. Dalam kegelapan, mereka hanya bisa mendengar suara nafas masing-masing yang semakin memburu. Dan lalu— TOK. TOK. TOK. Seseorang mengetuk pintu depan vila mereka. Mereka semua membeku. TOK. TOK. TOK. Ketukan itu terdengar lagi. Perlahan, Irene meremas tangan Jihyo semakin erat, napasnya tercekat. “Ada orang di luar…” Mina berbisik nyaris tanpa suara. Tzuyu melirik ke arah pintu, matanya menyipit curiga. “Tidak ada yang keluar.” Jennie menggigit bibirnya, tubuhnya menegang. “Siapa yang akan mengetuk pintu jam segini?” suaranya hampir bergetar. Hening. Mereka menunggu, berharap ketukan itu berhenti. Tapi— TOK. TOK. TOK. Lebih keras kali ini. Jennie menatap mereka semua, lalu dengan suara gemetar ia berkata, “Kita tidak bisa terus diam. Kalau itu penjaga vila, kita harus buka pintu.” Mina menggeleng cepat. “Gila?! Kalau bukan penjaga vila, lalu siapa? Pembunuh Wendy?” “Lalu bagaimana kalau dia hanya tamu lain yang butuh bantuan?” balas Jennie. Hening sejenak. Tidak ada yang berani menjawab. Jihyo menelan ludahnya, tubuhnya merapat ke Irene. “Kita tidak bisa ambil risiko.” Ketukan berhenti. Keheningan yang menyusul terasa lebih mengerikan daripada suara apa pun. Lalu, sesuatu menyelusup dari bawah pintu. Sepucuk kertas. Jennie menegang. Dengan tangan gemetar, ia merangkak mendekati pintu, menarik kertas itu perlahan. Semuanya menunggu, menahan napas. Lalu Jennie membukanya. Tulisan di kertas itu hanya satu kalimat, ditulis dengan tinta merah: “SEMUANYA AKAN MATI.” Jennie membeku. Mina menutup mulutnya, menahan jeritan. Irene merasakan tubuh Jihyo bergetar di sisinya. Tzuyu mendekat, mengambil kertas itu dari Jennie dan menatapnya lekat-lekat. Matanya yang biasanya datar kini menggelap. “Ini bukan permainan biasa.” BZZT. Lampu tiba-tiba menyala kembali, menerangi wajah-wajah pucat mereka. Jennie menoleh ke yang lain, matanya berkaca-kaca karena ketakutan. “Kita harus keluar dari sini.” Irene menggeleng. “Tidak. Kita di negeri orang, kalau kita pergi tanpa rencana, kita bisa ditangkap karena sesuatu yang bukan kita lakukan.” Mina memejamkan matanya. “Jadi kita harus bertahan di sini?” Tidak ada yang menjawab. Tiba-tiba— “CRKKKK… CRKKKK…” Suara berisik dari kaset tua terdengar dari dalam vila. Mereka semua tersentak. Lalu, sebuah lagu mulai berputar. Suara melodi tua dan serak memenuhi ruangan, nadanya aneh, seperti rekaman dari tahun-tahun yang sudah lama berlalu. “A…ku… da…tang…” Suaranya kecil, mendayu-dayu, tetapi justru karena itulah semakin mengerikan. Terdengar seperti suara seorang perempuan bernyanyi yang terputar di kaset, nada suaranya bergetar dengan menyeramkan. “Kau… tidak… bisa… lari…” “Aku… melihatmu…” “Aku… akan… menangkapmu…” Suara dari kaset tua itu terus berputar, nyaring dan bergetar, seperti berasal dari dunia lain. Mereka semua menjerit. Panik. Ketakutan. Tanpa sadar, mereka berpencar. Di antara suara langkah kaki yang kacau dan napas yang tersengal-sengal, seseorang merosot ke bawah meja, tubuhnya gemetar hebat, tangan menutupi telinga seakan berharap suara itu bisa lenyap. Nafasnya tersengal, jantungnya berdetak begitu cepat hingga terasa menyakitkan. Seseorang lainnya berlari ke dapur. Tangannya gemetar saat meraba kompor gas, memutar knop dengan panik. Api menyala dengan suara whoosh, cahayanya berpendar ke seluruh ruangan. Ia berharap cahaya bisa menyingkirkan rasa takut yang kini mencengkeram tubuhnya, tapi suara lagu itu masih terus berputar—seolah menghantui setiap sudut vila. Di tengah kepanikan, seseorang berlari ke lemari kayu besar di salah satu kamar. Dengan tangan gemetar, ia menarik gagang pintunya dan merosot masuk ke dalam. Klek. Pintu lemari tertutup, meninggalkan kegelapan total di dalamnya. Nafasnya memburu, tubuhnya mengecil di sudut lemari, mencoba tidak bergerak. Tetapi suara napasnya sendiri terasa terlalu keras, dadanya naik turun begitu cepat. Di luar lemari, suara lagu menyeramkan itu masih terdengar, semakin keras. “Aku… ada… di… sini…” Ia membekap mulutnya, berusaha tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Kemudian— Langkah kaki. Tepat di depan lemari. Jantungnya hampir berhenti. Langkah kaki itu bergerak perlahan, mondar-mandir. Seakan mencari sesuatu. Atau… seseorang. Ia menggigit bibirnya sampai nyaris berdarah. Klek. Gagang lemari digoyangkan. Seseorang di luar sana sedang mencoba membuka lemari. Matanya membesar. Air mata hampir jatuh. Tetapi pintu itu tidak terbuka. Sosok di luar lemari terdiam sejenak, lalu… Langkah kakinya menjauh. Ia masih tidak berani bernapas lega. Lalu— “BRAKKK!!” Seseorang menendang lemari dengan sangat keras dari luar. Ia tersentak. Hampir berteriak, tetapi buru-buru menutup mulutnya. Lalu hening. Tidak ada suara. Hanya suara detak jantungnya yang menggema di kepalanya sendiri. Suara langkah seseorang itu terdengar menjauh, suasana langsung hening, hanya terdengar gesekan kaset tua lama yang terputar || Sementara itu, Jennie—— Jennie keluar dari vila tergesa-gesa. Tangannya meraih gagang pintu dengan kasar, mendorongnya hingga terbuka lebar. Udara malam yang dingin langsung menerpa wajahnya, membuat bulu kuduknya meremang. Namun, ia tidak punya waktu untuk memikirkan itu. Ia harus pergi. Sekarang juga. Tanpa ragu, Jennie berlari. Kakinya menghantam tanah berbatu, suara langkahnya menggema di keheningan malam. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan cepat. Namun, tepat ketika ia mencapai jalan setapak menuju luar vila— “Jennie.” Suara itu menghentikannya seketika. Suara yang familiar. Jennie menegang. Jantungnya berdetak kencang. Perlahan, ia menoleh ke belakang. Dan di sana, di bawah cahaya bulan yang pucat, berdirilah salah satu dari mereka. Memegang sebatang kayu tebal. Tatapan Jennie membelalak. Tangan yang memegang kayu itu begitu erat, seakan siap untuk menghantamnya kapan saja. Suara berat keluar dari mulut Jennie, ia shock dan tak menyangka. “Kau yang jahat!!” Ia tak membalas, hanya tersenyum mengerikan ke arah Jennie “Kita teman!!”marah Jennie, ia merasa di khianati, teman sirkel nya tega berbuat seperti ini?? “Mungkin”jawab nya pelan Jennie tersentak. Ia mundur selangkah, mencoba mencerna kata-kata itu. “…A-apa?” suaranya bergetar. Namun ia tidak sempat berpikir lebih lama. Orang itu melangkah maju. Jennie langsung berlari. “Mau ke mana, Jennie?” Suara itu kini terdengar lebih menyeramkan, bergema di telinganya. Jennie tidak menjawab. Ia hanya fokus pada satu hal— Lari. Kakinya melangkah lebih cepat, menabrak ranting-ranting yang berserakan di tanah. Tapi suara langkah kaki di belakangnya semakin dekat. “Brengsek! Kau menghianati kita!” Jennie berteriak di tengah napasnya yang tersengal. Namun orang itu hanya tertawa kecil, suaranya melengking seperti nada gila. “Kau harus mati, Jennie! Kau selanjutnya! Hahaha!” Jennie menggigit bibirnya. Tidak! Ia tidak boleh mati! Ia melihat sebuah bangunan kecil di depan— Pos penjaga vila. Tanpa pikir panjang, Jennie mengarahkan langkahnya ke sana. Seorang pria tua duduk di dalam, mengenakan seragam penjaga vila. Wajahnya terlihat serius namun tenang, seperti seseorang yang telah lama bekerja di tempat ini. Jennie hampir menangis lega. Ia bergegas ke arahnya, hampir tersungkur karena kakinya lemah akibat ketakutan. “Tolong aku! Tolong aku, Pak!” Jennie memohon, tangannya mencengkeram lengan baju pria tua itu. “Seseorang mencoba membunuhku! Kita harus lari, kita harus hubungi polisi!” Namun, pria tua itu tidak bereaksi seperti yang ia harapkan. Ia tidak terkejut. Tidak khawatir. Sebaliknya— Ia tersenyum. Senyum yang menyeramkan. Senyum yang membuat Jennie membeku di tempat. “Pak…?” suaranya melemah. Namun sebelum ia bisa bergerak, pria itu mencengkeram lengannya dengan kuat. “Lepaskan aku!” Jennie berteriak, mencoba menarik tangannya, namun genggaman pria tua itu seperti besi. Ia mulai histeris. Dan saat itulah— “KRAKKK!!” Sesuatu menghantam kepalanya. Keras. Matanya melebar seketika. Rasa nyeri luar biasa menjalar dari belakang kepalanya, diikuti oleh sesuatu yang hangat mengalir turun ke lehernya. Darah. Tangannya yang bebas terangkat, menyentuh belakang kepalanya yang kini basah dan lengket. Pandangannya mulai kabur. Lututnya melemas. Tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah. Di hadapannya, berdiri orang itu. Salah satu dari mereka. Masih memegang kayu berlumuran darah. “Kau telah mengacaukan ambisi ku, Jennie.” Suara itu terdengar seperti bisikan iblis. Jennie mencoba berbicara, tapi hanya darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Orang itu berjongkok, mendekatkan wajahnya ke telinga Jennie, lalu berbisik pelan, “Kau pantas mati… pengacau.” Jennie hanya bisa menatap kosong ke depan. Darah mengalir membentuk genangan di bawah kepalanya. Perlahan, tubuhnya kehilangan kekuatan. Gelap. “Bagus! Setelah kau… mereka yang akan mati, hahaha!” Orang itu berdiri, menoleh ke penjaga vila yang masih diam di tempatnya. Lalu, dengan suara datar, ia berkata, “Aku akan kembali ke vila. Urus Jennie.” Penjaga vila itu mengangguk pelan. || Siapakah dia❓❓❓ Note : Pelaku akan terungkap di wattpad! (author akan uploud minggu depan, stay tune everyone🤡)
❤️ 💗 3

Comments