
HyoRene
February 17, 2025 at 01:04 PM
⬇️ Lanjutan sedikit ⬇️
Lampu akhirnya menyala kembali, menerangi ruangan yang sejak tadi hanya dihiasi kegelapan dan suara kaset tua yang menyayat suasana. Sekarang suara kaset itu sirna seiring lampu menyala kembali. Entah darimana asal kaset tua itu berada.
Nafas mereka masih berat, jantung berdebar kencang. Mereka semua sudah kembali ke ruang tengah. Semua… kecuali satu orang.
Irene mengusap wajahnya, berusaha mengendalikan diri. “Sumpah… vila ini makin hari makin horror!” keluhnya, suaranya sedikit bergetar.
“Benar….” sahut Mina cepat, merapatkan tubuhnya ke sandaran sofa.
“Rasanya kayak ada yang ngawasin kita,” tambah Jihyo lirih. Ia menggenggam tangannya erat, seolah mencoba menenangkan diri sendiri.
Tzuyu yang duduk tak jauh dari mereka hanya memandang dengan ekspresi datarnya.
Mina mendesah panjang, lalu matanya tertumbuk pada sesuatu di baju Tzuyu. Kerut di keningnya semakin dalam.
“Tzuyu… kenapa baju kamu ada banyak serpihan-serpihan gitu?” tanyanya curiga.
Tzuyu hanya menaikkan alisnya, lalu menunduk, melihat baju putihnya yang memang dipenuhi serbuk kayu. Ia dengan tenang menepuknya.
“Aku tadi mengumpat di lemari kayu,” jawabnya santai. “Mungkin dari situ.”
Mina tetap menatapnya, matanya menyipit sedikit. “Mengumpat?” ulangnya, masih terdengar ragu.
“Iya. Waktu lampu mati dan kaset itu mulai berputar, aku lari masuk ke lemari,” Tzuyu mengulang pernyataannya, kali ini dengan nada lebih meyakinkan.
Mina diam, tetapi tatapan curiganya tidak surut.
Jihyo, yang sejak tadi tidak banyak bicara, justru memperhatikan Tzuyu lebih lama. Tubuhnya masih sedikit gemetar, napasnya tersengal akibat ketakutan yang belum sepenuhnya sirna.
Irene, yang sejak tadi ikut larut dalam percakapan, mendadak tersadar akan sesuatu.
Matanya menyapu ruangan. Wajah mereka berempat—dirinya, Mina, Tzuyu, dan Jihyo—masih terpampang di sana, meski dengan ekspresi berbeda-beda.
Tapi…
“Apa ada yang sadar sesuatu?” Irene tiba-tiba berbicara, suaranya tegas.
Semua mata tertuju padanya.
“Apa maksudmu?” tanya Jihyo.
Irene berdiri perlahan, jantungnya mulai berdetak lebih cepat. “Dimana Jennie?”
Ruangan mendadak sunyi.
Mata Mina membelalak. Ia ikut berdiri, melihat ke sekeliling dengan ekspresi khawatir. “Jennie…?”
Tzuyu masih duduk di tempatnya, ekspresinya tetap tenang, tapi kali ini dia juga mulai melihat ke sekeliling.
Jihyo menggigit bibirnya, tubuhnya sedikit tegang. “Dia tadi… dia nggak ada di ruang tengah?”
“Tidak,” Irene menggeleng. “Sejak lampu mati, kita semua berhamburan. Tapi sekarang kita di sini, dan dia tidak ada.”
Jennie tidak ada.
Tidak ada jejaknya. Tidak ada suara. Tidak ada tanda-tanda ke mana dia pergi.
Hanya mereka berempat yang tersisa di ruangan ini.
Ruangan terasa semakin sempit, meski luasnya tetap sama. Udara terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak terlihat mengawasi mereka.
Mina menelan ludah, lalu memecah keheningan, “Apa ini ulah salah satu di antara kita?”
Semua langsung saling memandang satu sama lain. Mata mereka bergerak cepat, mencoba membaca ekspresi masing-masing.
Tzuyu menghela napas, ekspresinya tetap datar seperti biasa. “Kita di sini ketakutan. Mana mungkin?” katanya dengan suara rendah tapi cukup tajam. “Lagi pula, kau lihat sendiri teror-teror itu terjadi bahkan saat kita berkumpul berempat. Mungkin ini ulah orang lain.”
Jihyo mengangguk cepat. “Mina benar. Kita nggak tahu apa-apa, karena tadi gelap.” Suaranya sedikit bergetar. “Kita nggak bisa melihat siapa pun, baik salah satu dari kita… atau orang lain.”
Irene, yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya bersuara. “Tapi…”
Semua mata kini beralih padanya.
“Mungkin Tzuyu benar juga, kan?” lanjutnya perlahan. “Orang lain… terdengar lebih make sense.”
Nada suaranya aneh.
Jihyo memperhatikan Irene lebih lama. “Kamu bilang… ‘terdengar lebih make sense’?” ulangnya, seolah mencari celah dalam ucapan Irene.
Irene tersenyum tipis, tapi senyumnya terasa aneh. “Ya… Maksudku, siapa yang cukup gila untuk melakukan semua ini?”
Tidak ada yang menjawab.
Tzuyu tersenyum kecil, nyaris tak terlihat di bawah cahaya redup vila. Dia menatap Irene sebentar sebelum menarik tangan Jihyo dengan gerakan halus tapi tegas.
“Bagaimana kalau kita berpencar untuk mencari Jennie?” usulnya. “Mungkin dia disekap di salah satu ruangan, atau dia sedang bersembunyi di suatu tempat karena ketakutan.”
Jihyo menoleh ke arah Irene, seolah mencari persetujuan atau mungkin… perlindungan. Namun, Irene hanya diam, ekspresinya sulit dibaca.
“Aku dan Jihyo akan mencari di lantai atas,” lanjut Tzuyu, masih menggenggam tangan Jihyo. “Irene, kau dan Mina cari di seluruh lantai ini.”
Jihyo langsung membuka mulut untuk protes, tetapi sebelum dia sempat berbicara, Tzuyu sudah menariknya menjauh. Irene menatap mereka dengan tatapan yang sulit dijelaskan—sesuatu antara ketidaksukaan dan kecurigaan.
“Sebentar—” Jihyo menoleh ke belakang, ingin memastikan Irene baik-baik saja, tetapi Tzuyu semakin mempererat genggamannya.
“Kita harus cepat sebelum sesuatu terjadi lagi,” bisik Tzuyu di dekat telinga Jihyo.
Sementara itu, Mina yang sejak tadi diam langsung bergerak mendekat ke Irene, lalu dengan wajah ketakutan, dia melingkarkan tangannya pada lengan Irene.
“Irene, aku pegangan kamu ya…” katanya dengan suara sedikit bergetar. “Aku takut.”
Irene hanya melirik sekilas, tetapi tidak menepis Mina. Entah karena dia juga butuh pegangan atau karena pikirannya sedang tidak fokus.
Jihyo, yang baru saja menaiki anak tangga pertama bersama Tzuyu, memandang ke bawah dengan ekspresi tidak suka. Mata bulatnya menatap tangan Mina yang melingkar di lengan Irene, tetapi ia tidak mengatakan apa pun.
Lalu, mereka berpisah.
Jihyo dan Tzuyu ke lantai atas.
Irene dan Mina tetap di lantai bawah.
Semua dengan satu tujuan—mencari Jennie.
Namun, apakah mereka tahu bahwa seseorang di antara mereka hanya berpura-pura? Bermain mengikuti alur, padahal dialah dalangnya. Jennie sudah terjatuh dalam perangkapnya… lalu, siapa yang akan menjadi korban selanjutnya?
Mina?
Irene?
Jihyo?
atau
Tzuyu?
🥀🥀
Spoiler :
“Kenapa buku diary Wendy ada disini? di kamar mu dan Irene?”tanya Tzuyu menatap mata jihyo.
Jihyo bingung, ia menggeleng. “Aku tidak tahu, apakah seseorang sengaja menaruh nya di dekat sini??”ucap Jihyo heran
Tiba-tiba Tzuyu tersenyum penuh arti. “….atau jangan jangan Irene lah yang menyembunyikan buku diary wendy di kamar kalian?”
“Dia tau sesuatu dan dia mengambil ini dari Wendy, karna mungkin saja isinya rahasia”lanjut Tzuyu
Jihyo tak terima dia langsung menyahut, “Maksud mu kau menuduh Irene yang melakukan ini semua??!”
Tzuyu tertawa kecil, “Bisa saja kan? Dia membunuh Wendy karna dia tahu Wendy banyak tahu tentang rahasia nya dan bukan kah dia orang terakhir yang bersama Wendy malam itu?”
Jihyo mengepalkan tangan, menatap Tzuyu dengan marah. “Irene tidak akan melakukan itu! Irene orang baik! Jangan asal menuduh!”
Jari lentik Tzuyu menyentuh dagu Jihyo, “Kita tidak pernah tahu kepribadian asli seseorang, sayang.”
“Jangan kurang ajar Tzuyu!”tegas Jihyo
“Kau tahu aku menyukai mu kan Jihyo? Aku seringkali mengutarakan perasaan ku, aku sering memberi mu hadiah walau beberapa kali kau tolak, apa hebat nya Irene sih?? Kau begitu menyukai nya ya?? Bagaimana kalau dia seorang pembunuh?”ujar Tzuyu dengan seringai di bibirnya
“Irene bukan pembunuh nya! Aku percaya dia!”tegas Jihyo lagi
Tzuyu mengangguk pelan, “Baiklah, tapi lihat ekspresi nya nanti saat aku konfrontasi tentang buku diary Wendy ini, kau cukup melihat perubahan mimik wajah nya, cantik. Jika dia ketakutan, maka ucapan ku ini benar”
“Kau lihat saja nanti, Jihyo. Sekarang ayo turun”ajak Tzuyu langsung mengenggam tangan Jihyo.
Sementara Jihyo hanya diam tapi pikiran nya terus mencerna kata kata Tzuyu.
❤️
💗
2