SUNSHINE_IS_DERRICK
SUNSHINE_IS_DERRICK
February 21, 2025 at 06:54 AM
๐˜ฝ๐™–๐™— 9: ๐˜ฟ๐™ž ๐˜ฝ๐™–๐™ก๐™ž๐™  ๐™’๐™–๐™ง๐™ฃ๐™– ๐™ฎ๐™–๐™ฃ๐™œ ๐™๐™š๐™ง๐™จ๐™ž๐™ข๐™ฅ๐™–๐™ฃ Sejak hari di studio, aku tidak bisa berhenti memikirkan ucapannya. "Perasaan yang tidak terselesaikan adalah yang paling jujur." Apa maksudnya? Apakah dia berbicara tentang lukisan... atau tentang kami? Keesokan harinya, suasana kelas terasa canggung. Aku mencoba menghindari tatapannya, tapi dia malah berjalan mendekat saat aku sedang melukis. Kali ini, tidak ada kritik tajam atau komentar sinis. Dia hanya berdiri di sana, mengamati dalam diam. โ€œKau berubah,โ€ komentarnya tiba-tiba. โ€œWarnamu lebih berani.โ€ Aku menoleh dengan wajah memerah. Benarkah? Aku tidak menyadarinya. โ€œMungkin... karena saya mencoba untuk lebih jujur,โ€ jawabku pelan. Senyum tipis terukir di bibirnya, sebuah senyum yang terasa hangat dan anehnya... menenangkan. โ€œBagus. Tapi jujur itu tidak mudah, Elia.โ€ Dia kembali berjalan menjauh, tapi kali ini aku tidak merasakan dorongan untuk menghindar. Sebaliknya, aku merasa ingin mengejarnya, ingin memahami pria misterius yang terus-menerus membingungkanku. --- Beberapa hari kemudian, aku melihatnya di taman kampus saat senja. Dia duduk di bangku kayu, memandangi langit yang berwarna jingga keemasan. Tanpa berpikir panjang, aku menghampirinya. โ€œPak Derrick?โ€ panggilku ragu. Dia menoleh, terlihat sedikit terkejut tapi kemudian tersenyum samar. โ€œElia. Sedang apa di sini?โ€ โ€œAku bisa bertanya hal yang sama,โ€ balasku, mencoba tersenyum. โ€œBiasanya Bapak selalu di studio.โ€ Dia tertawa kecil. Suara tawanya terdengar hangat, berbeda dari sosok dingin yang kutemui di kelas. โ€œTerkadang senja adalah kanvas terbaik. Warnanya tidak pernah sama.โ€ Aku ikut duduk di sampingnya, merasa jantungku berdegup kencang. Kami terdiam beberapa saat, menikmati pemandangan yang indah tanpa kata-kata. Tapi hatiku penuh dengan pertanyaan yang tak tertahankan. โ€œPak Derrick... kenapa Bapak begitu keras pada saya di kelas?โ€ tanyaku akhirnya. Dia terdiam lama, ekspresinya berubah serius. โ€œKarena kau mengingatkanku pada diriku sendiri. Dulu, aku juga takut mengekspresikan diri. Selalu menyembunyikan perasaan di balik kanvas.โ€ Aku menatapnya tak percaya. โ€œBapak... takut?โ€ Dia mengangguk pelan. โ€œIbuku... dia satu-satunya orang yang bisa melihat semua warna dalam diriku. Ketika dia pergi, semua warnaku ikut hilang.โ€ Aku merasakan hatiku mencelos. Jadi, itulah alasan di balik tatapan sedihnya saat melihat lukisan ibunya. โ€œKau tidak perlu mengalami hal yang sama, Elia. Kau punya potensi besar, tapi kau harus berani jujur pada dirimu sendiri.โ€ Kata-katanya menggema dalam pikiranku. Apakah selama ini aku juga menyembunyikan perasaanku di balik kanvas? Apakah aku takut untuk jujur... pada perasaan yang muncul setiap kali melihatnya? Kami terdiam lama, membiarkan senja menghilang perlahan. Saat bayangan mulai memanjang, dia berdiri dan tersenyum padaku. โ€œAyo pulang. Udara mulai dingin.โ€ Aku mengangguk dan mengikutinya dalam diam. Tapi hatiku terasa lebih hangat dari sebelumnya. __________________

Comments