SUNSHINE_IS_DERRICK
SUNSHINE_IS_DERRICK
February 21, 2025 at 07:27 AM
Bab 11: Saat Warna Memudar Setelah malam di pameran seni, interaksi kami mulai berubah. Tidak lagi sekadar tentang lukisan atau teknik melukis, tapi hal-hal kecil yang terasa lebih... personal. El Derrick mulai menanyakan hal-hal sederhana, seperti makanan favoritku atau tempat yang sering kukunjungi saat merasa suntuk. Anehnya, aku tidak merasa canggung menjawabnya. Suatu hari, dia menghampiriku saat aku sedang duduk di taman kampus, mencoba menyelesaikan esai tugas. “Elia,” panggilnya tanpa peringatan, membuatku hampir menjatuhkan pulpen. “Ada kafe kecil di ujung jalan ini. Kopinya enak. Mau ikut?” tanyanya santai, seolah-olah ini hal yang biasa. Aku terdiam, jantungku berdetak kencang. Ini... ajakan minum kopi? Tanpa banyak berpikir, aku mengangguk. “Boleh.” --- Kafe itu ternyata nyaman dan sederhana, dengan aroma kopi yang kuat dan musik akustik yang lembut. Kami duduk di sudut, menghadap jendela besar yang memperlihatkan jalanan yang sibuk. Untuk beberapa saat, kami hanya diam, menikmati kopi masing-masing. “Jadi... kenapa kau memilih jurusan ini?” tanyanya tiba-tiba. Aku terkejut dengan pertanyaan personalnya, tapi kemudian tersenyum tipis. “Ibuku dulu senang menggambar. Sejak kecil, aku sering menirunya. Sepertinya kebiasaanku jadi keterusan.” Dia mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dariku. “Dan sekarang... kau ingin melanjutkannya untuk ibumu?” Aku menggeleng. “Tidak. Aku ingin melanjutkannya untuk diriku sendiri.” Senyum hangat terukir di wajahnya. “Bagus. Kau sudah mulai menemukan suaramu.” Aku tidak tahu kenapa, tapi pujiannya terasa sangat berarti. “Lalu, Pak Derrick... kenapa memilih jadi dosen?” Wajahnya sedikit mengeras, tapi dia tidak menghindar. “Awalnya, aku tidak mau. Tapi... aku ingin tetap dekat dengan seni. Itu satu-satunya cara agar aku tidak kehilangan semuanya.” Suasana tiba-tiba hening. Aku bisa merasakan luka yang tersembunyi dalam kata-katanya. “Kehilangan... ibumu?” tanyaku pelan. Dia terdiam lama sebelum mengangguk. “Sejak kepergiannya, aku tidak pernah bisa menyelesaikan satu lukisan pun.” Aku terhenyak. Itulah alasan di balik lukisan-lukisan yang tak pernah selesai di studionya. Selama ini, dia juga terjebak dalam perasaan yang tidak terselesaikan. “Aku ingin membantu,” ucapku tanpa sadar. Dia menatapku kaget, tapi kemudian tersenyum tipis. “Sudah kau lakukan, Elia. Sejak awal kau masuk ke kelas itu.” Kami terdiam lagi, tapi keheningan itu terasa hangat. Seolah tidak ada lagi jarak di antara kami.

Comments