
SUNSHINE_IS_DERRICK
February 21, 2025 at 07:29 AM
Bab 15: Batas yang Mulai Memudar
Sejak percakapan di studio, hubungan kami tidak lagi sama. Tidak ada lagi komentar pedas atau sikap menyebalkan yang ditunjukkan El Derrick. Setiap kali kami bertemu di kelas, aku bisa merasakan tatapan hangat yang dulu selalu dia sembunyikan. Dan setiap kali aku mencuri pandang ke arahnya, dia tersenyum tipis – sebuah senyum yang begitu jujur dan menenangkan.
Namun, meski perasaan kami akhirnya terungkap, garis di antara kami tetap jelas. Dia masih dosenku, dan aku masih muridnya. Kami tidak bisa menunjukkan apa pun di depan umum. Tidak ada yang berubah... setidaknya di mata orang lain.
Suatu hari, setelah kelas selesai, dia menghampiriku saat aku sedang merapikan peralatan melukis. “Elia, ada yang ingin kubicarakan. Temui aku di studio nanti.”
Jantungku berdetak kencang, tapi aku hanya mengangguk patuh. “Baik, Pak.”
---
Saat aku tiba di studio, suasananya terasa berbeda. Jendela besar terbuka lebar, membiarkan angin sejuk sore masuk, membawa aroma bunga dari taman kampus. El Derrick berdiri di depan kanvas besar yang masih kosong, memandangnya dalam diam.
“Aku selalu takut memulai,” gumamnya tanpa menoleh. “Setiap kali berdiri di depan kanvas kosong, aku selalu merasa... takut akan hasil akhirnya.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Dia akhirnya menoleh, tatapannya lembut. “Seperti perasaanku padamu. Aku takut... apa yang akan terjadi jika aku mengakui ini.”
Wajahku memanas, tapi aku tidak mengalihkan pandangan. “Kenapa?”
Dia menghela napas, berjalan mendekat hingga jarak di antara kami begitu dekat. “Karena aku tahu posisiku. Aku tahu batasan yang harus kujaga. Dan... karena aku takut kau terluka.”
Aku bisa melihat rasa sakit di matanya, ketakutan yang begitu dalam. “Tapi... semakin aku mencoba menjauh, semakin aku ingin mendekat. Kau... selalu ada di pikiranku, Elia.”
Kata-katanya membuat dadaku terasa hangat. Aku mencoba menahan senyum, tapi gagal. “Kau tidak sendirian. Aku juga merasakannya.”
Dia tertawa pelan, terdengar getir namun penuh kelegaan. “Lalu... apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Aku menggigit bibir, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Aku tidak tahu... tapi aku tidak ingin menjauh.”
Tatapannya melembut, dan untuk pertama kalinya, dia menyentuh rambutku dengan lembut, menyelipkan helai yang terjatuh ke belakang telinga. “Aku juga tidak ingin menjauh. Tapi... kita harus hati-hati.”
Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti. Kita tidak perlu terburu-buru.”
Dia tersenyum, sebuah senyum hangat yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. “Terima kasih, Elia... untuk keberanianmu. Kau membuatku ingin mencoba lagi. Untuk jujur, dan untuk... mencintai lagi.”
Dadaku terasa hangat, seakan-akan seluruh dunia berhenti berputar. Dan saat itu, aku tahu, apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah menyesali perasaan ini.
Kami berdiri di sana dalam diam, menikmati kehangatan yang tak lagi terhalang kebohongan atau ketakutan. Garis yang dulu terasa begitu tegas mulai memudar perlahan.
Dan saat angin sore membelai wajahku, aku tahu bahwa warna-warna dalam hidupku akhirnya mulai menyatu dengan warna-warna dalam hidupnya.