SUNSHINE_IS_DERRICK
SUNSHINE_IS_DERRICK
February 21, 2025 at 07:50 AM
Bab 16: Warna yang Menyatu Seiring waktu berlalu, kami mulai terbiasa dengan keadaan ini. Tidak ada yang berubah di permukaan – dia tetap dosen yang tegas dan aku tetap murid yang diam-diam mengaguminya. Tapi di balik semua itu, ada kehangatan yang tidak bisa lagi kami sembunyikan. Setiap kali kelas selesai, dia akan memberi isyarat halus agar aku menemuinya di studio. Tidak pernah ada kata-kata yang diucapkan, tapi kami sama-sama tahu. Studio itu menjadi tempat kami berbagi cerita, tawa, dan kadang-kadang keheningan yang menenangkan. Suatu sore, saat senja mulai menguningkan langit, kami duduk di lantai studio, bersandar pada dinding dengan kanvas kosong di depan kami. “Aku tidak pernah mengira... kita bisa sampai sejauh ini,” gumamku sambil memainkan kuas di jariku. Dia tersenyum tipis, tatapannya hangat. “Aku juga tidak. Kupikir... perasaanku akan berhenti saat aku mencoba menjauh. Tapi... nyatanya semakin kuat.” Aku menoleh, terkejut dengan kejujurannya. “Benarkah?” Dia mengangguk pelan, menatap lurus ke mataku. “Kau tahu... aku selalu mengagumimu, Elia. Cara kau melihat dunia, caramu melukis dengan jujur... membuatku ingin melihat duniamu lebih dalam.” Wajahku memanas, tapi aku tidak bisa mengalihkan pandangan. “Kau menyembunyikannya dengan sangat baik. Sampai-sampai aku tidak pernah menyadarinya.” Dia tertawa kecil, suaranya dalam dan menenangkan. “Itu karena aku pengecut. Aku takut kau melihat betapa lemah dan rapuhnya aku.” Aku menggeleng pelan. “Kau tidak lemah. Kau hanya takut terluka lagi... sama seperti aku.” Dia terdiam, ekspresinya berubah lembut. “Elia... terima kasih. Karena sudah melihatku... lebih dari apa yang terlihat.” Hening menyelimuti kami, tapi itu bukan keheningan yang canggung. Hanya kehangatan yang mengalir di antara kami, menghubungkan dua hati yang sebelumnya terjebak dalam ketakutan dan kebohongan. --- Hari demi hari berlalu, dan kehangatan itu semakin sulit disembunyikan. Kadang-kadang, aku menangkap tatapannya yang terlalu lama berhenti di wajahku saat mengajar. Sesekali, dia tersenyum tipis saat aku tanpa sadar memainkan rambut saat berpikir keras. Isyarat-isyarat kecil yang membuat jantungku berdebar. Tapi kami tetap menjaga batas. Tidak pernah ada sentuhan yang terlalu lama, tidak pernah ada kata-kata cinta yang terucap. Kami tahu bahwa kami tidak bisa melewati garis itu... belum saatnya. Namun, semakin lama, semakin sulit untuk berpura-pura. Suatu hari, saat aku terlambat masuk kelas karena hujan deras, dia berdiri di depan pintu dengan ekspresi khawatir yang jelas terlihat. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya pelan tapi penuh kekhawatiran. Aku mengangguk sambil tersenyum, mencoba mengatur napas. “Hanya kehujanan... tidak apa-apa.” Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mengulurkan sapu tangan, ekspresinya melunak. “Keringkan rambutmu... nanti kau sakit.” Aku terdiam sejenak, terkejut dengan perhatian kecilnya yang terasa begitu hangat. Saat itulah aku melihat tatapan lembut di matanya, tatapan yang tidak bisa dia sembunyikan. Aku menerima sapu tangan itu dengan wajah memanas, menyadari bahwa perasaan ini semakin sulit dikendalikan. Saat kelas selesai, aku sengaja menunggu di luar studio, berharap bisa mengembalikan sapu tangan itu. Tapi saat dia keluar dan melihatku berdiri di sana, ekspresinya berubah kaget. “Elia?” Aku berjalan mendekat, mengulurkan sapu tangan yang sudah kucuci dan kulipat rapi. “Terima kasih... untuk tadi.” Dia menatap sapu tangan itu sejenak sebelum akhirnya mengambilnya. “Kau... tidak perlu repot-repot mengembalikannya.” Aku tersenyum tipis. “Aku hanya tidak ingin punya alasan untuk menyimpan barang milik dosen.” Dia tersenyum kecil, tapi senyuman itu terasa pahit. “Ya... kau benar.” Hening menyelimuti kami, tapi kali ini terasa lebih berat. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak terucap, menggantung di antara kami. “Elia...” panggilnya pelan. Saat aku mengangkat wajah, matanya terlihat begitu dalam dan rapuh. “Kalau saja keadaannya berbeda... mungkin aku tidak perlu bersikap seperti ini.” Aku menahan napas, jantungku berdetak kencang. “Bersikap seperti apa?” Dia tidak menjawab. Hanya menatapku dengan tatapan yang menyimpan begitu banyak perasaan yang tidak terucap. “Lupakan saja. Sudah larut, kau harus pulang.” Sebelum aku bisa menjawab, dia sudah berjalan pergi, meninggalkanku sendirian dengan perasaan yang semakin sulit dipahami. Dan saat itu, aku menyadari bahwa semakin kami mencoba menjaga batas, semakin tipis garis itu menjadi. Kami berdiri di ambang perubahan besar, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Comments