
Darul Hikmah
February 14, 2025 at 01:55 PM
*KONSTANTINOPEL AKAN DITAKLUKKAN MIN DUA KALI*
Ada dua hal yang ‘diserang’ terkait dengan pembebasan Konstantinopel tersebut. *Pertama*, bahwa pembebasan Konstantinopel sebagaimana yang diisyaratkan Nabi saw belumlah terlaksana. *Kedua*, bahwa apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fatih terhadap Konstantinopel adalah keliru dan lebih tepat disebut aib sejarah. Tuduhan seperti ini sebenarnya sekedar mengulang tuduhan Imron Husein beberapa tahun lalu.
Terkait hal pertama, yakni sabda Rasulullah saw:
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ
“Sungguh Kostantinopel akan dibebaskan, sebaik–baik amir adalah amirnya dan sebaik–baik pasukan adalah pasukan tersebut.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad[1], Al Hakim dalam Al Mustadrak menyatakan hadits ini shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim dan disepakati oleh adz-Dzahabi,[2] juga dikeluarkan oleh Al Haitsami, Abu Nu’aim, Ibnu Abi Syaibah, Al Bazzar dan At Thabrani.
Hadits ini telah mendorong umat Islam untuk merealisir sabda Nabi tersebut. Maslamah bin Abdul Malik memanggil Ubaidillah dan menanyakan tentang hadits ini, setelah diberitahu kebenarannya maka Maslamah kemudian menyerang Kostantinopel.[3] Pasca Maslamah, upaya itu dilanjutkan oleh Abu Ayyub al-Anshari (44 H), Sulaiman bin Abdul Malik (98 H), Harun al-Rasyid (190 H), Beyazid I (796 H), dan baru berhasil pada masa Sultan Muhammad Al Fatih (824 H).
Adalah hal yang wajar, jika seorang muslim menyambut dan menyongsong kabar gembira dari Rasulullah, bahkan semestinya memang begitu. Wajar pula jika semua yang berupaya membuka Konstantinopel berharap dan berprasangka baik bahwa merekalah yang dimaksud dalam sabda Nabi saw tersebut, sebagaimana pidato Sultan Muhammad Al Fatih didepan prajuritnya: “Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah saw telah menjadi kenyataan, dan salah satu dari mukjizatnya telah terbukti. Maka kita akan mendapatkan bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadits tersebut, yaitu berupa kemuliaan dan penghargaan.”[4]
Adapun hadits yang diriwayatkan Abu Daud:
عُمْرَانُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَرَابُ يَثْرِبَ، وَخَرَابُ يَثْرِبَ خُرُوجُ الْمَلْحَمَةِ، وَخُرُوجُ الْمَلْحَمَةِ فَتْحُ قُسْطَنْطِينِيَّةَ، وَفَتْحُ الْقُسْطَنْطِينِيَّةِ خُرُوجُ الدَّجَّالِ
“Makmurnya Baitul Maqdis (yakni dengan banyak penduduk, bangunan dan harta[5]) adalah tanda keruntuhan kota Madinah, runtuhnya kota Madinah adalah tanda terjadinya peperangan besar, terjadinya peperangan besar adalah tanda dari pembukaan kota Konstantinopel, dan pembukaan kota Konstantinopel adalah tanda keluarnya Dajjal.”[6]
Hadits ini, dan hadits riwayat Imam Muslim tentang pembukaan kota tanpa senjata, cukup dengan pekikan takbir dan tahlil saja, bukanlah dalil untuk mengingkari atau mengerdilkan prestasi yang sudah diukir oleh Sultan Muhammad Al Fatih. Bagaimana mungkin diingkari sesuatu yang faktanya ada?. Oleh karena itulah Syaikh Ahmad Syakir menyatakan bahwa pembukaan kota Konstantinopel akan terjadi dua kali, yang pertama dengan amir Sultan Muhammad al-Fatih, merupakan pembuka untuk penaklukan yang lebih besar ini (tamhîdan lil fathil ‘a’dzam), dan yang kedua akan terjadi di akhir zaman, sebelum keluarnya Dajjal sebagaimana dalam hadits di atas. Pembukaan yang kedua ini berbentuk kembalinya kaum muslimin kepada agamanya setelah sebelumnya mereka berpaling dari agamanya (dengan mengadopsi sekularisme).[7]
Kedua, apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fatih terhadap Konstantinopel bukanlah kekeliruan apalagi aib sejarah umat Islam. Tuduhan ini bermuara pada setidaknya dua hal: pertama, Sultan Muhammad Al Fatih mengubah Gereja Hagia Sophia menjadi masjid, ini dianggap dosa yang memalukan. Kedua, pasukan Islam yang membongkar masuk kemudian memperkosa, merampas, dan membunuh bahkan sampai ke dalam gereja. Sultan mengijinkan hal ini terus berlanjut.
Terkait mengubah gereja menjadi masjid, tidak ada masalah dengan hal tersebut karena hukumnya memang boleh, baik gereja itu dibeli oleh umat Islam lalu dialihfungsikan, atau dihibahkan sebagaimana dalam kasus Sultan Muhammad Al Fatih, atau jamaat gerejanya berubah keyakinan menjadi muslim sebagaimana pada zaman Umar bin Khattab, dimana saat itu banyak orang-orang Romawi berbondong-bondong masuk Islam sehingga banyak gereja yang tidak berfungsi lagi, lalu Umar r.a. menyerukan mengubah fungsi gereja menjadi masjid.
Thalq bin ‘Ali ketika menemui Rasulullah, lalu masuk Islam, beliau menanyakan bagaimana dengan tempat ibadah yang dia miliki. Maka Beliau saw bersabda,
اخْرُجُوا فَإِذَا أَتَيْتُمْ أَرْضَكُمْ فَاكْسِرُوا بِيعَتَكُمْ وَانْضَحُوا مَكَانَهَا بِهَذَا الْمَاءِ وَاتَّخِذُوهَا مَسْجِدًا
“Pulanglah kalian, bila telah sampai ke negeri kalian, maka hancurkan kuil itu dan siramlah Puing-puingnya dengan air ini, lalu jadikanlah (bangunlah diatasnya) masjid.” (HR. an-Nasai)[8]
Pasca takluknya Konstantinopel, Sultan Muhammad Al Fatih menuju Gereja Hagia Sophia, didalamnya berkumpul orang-orang Nashrani Ortodox, mereka dulunya pernah diserang dan dikuasai dengan dzalim oleh pasukan salib pada masa Perang Salib Keempat. Pasukan Salib menduduki Konstantinopel dan mendirikan Kekaisaran Latin (Romawi Timur Katolik) pada 1204. Pasukan Salib menghancurkan berbagai hal di kota yang sebelumnya menjadi pusat agama Ortodoks ini. Hagia Sophia menjadi tempat mabuk-mabukan, berbagai bangunan sekuler dan keagamaan (gereja dan biara) tidak luput dari pengrusakan, para biarawati diperkosa di biara mereka, dan orang-orang yang sekarat terbaring sampai mati di jalan-jalan.[9] Ketika Sultan Muhammad Al Fatih menemui mereka, beliau memberikan amnesti umum dan menjamin keamanan dan kebebasan beribadah mereka, melihat sikap yang mulia ini dan membandingkan dengan sikap pasukan salib sebelumnya, banyak para pendeta yang kemudian masuk Islam.[10] Paus Genadius, sebagai pemimpin tertinggi gereja saat itu, memberikan kunci Hagia Sofia dan simbol penyerahan kota. Lalu apa salahnya mengalihfungsikan sesuatu yang sudah diberikan? Terlebih lagi Hagia Sofia adalah ‘icon’ kota tersebut, bukankah aneh jika pusat Khilafah ‘icon’nya adalah gereja? Kan Khalifah Umar tidak mengubah gereja di Palestina menjadi masjid? iya, memang di Palestina tidak, namun di negeri lain beliau mengubahnya, sesuai situasi dan kondisinya.
Terkait tuduhan bahwa pasukan Islam yang membongkar masuk kemudian memperkosa, merampas, dan membunuh bahkan sampai ke dalam gereja dan Sultan mengijinkan hal ini terus berlanjut, ini adalah kedustaan. Sebelum menyerangpun Sultan sudah mewanti-wanti, bahkan dibantu para ‘ulama yang berkeliling kepada para prajurit:
ويجب على كل جندي أن يجعل تعاليم شريعتنا الغراء نصبَ عينيه، فلا يصدر عن أي واحد منهم ما يجافي هذه التعاليم، وليتجنبوا الكنائس والمعابد، ولا يمسوها بأذى، وليَدَعوا القَسَاوَسَ والضعفاء والعَجَزَة الذين لا يقاتلون
“Wajib bagi setiap pasukan, menjadikan ajaran syariat kita selalu di depan matanya dan jangan sampai ada di antara mereka melanggar ajaran syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka menjauhi tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja, jangan mengotorinya. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran.”[11]
Memang mungkin ada saja satu dua tempat ibadah yang hancur karena peluru meriam kan tidak memiliki mata, namun itu bukanlah hal yang patut dibesar-besarkan. Lagi pula, jika tuduhan keji tersebut benar, yakinkah masih ada non muslim yang tersisa di Konstantinopel?. Allâhu A’lam. [MTaufikNT]
https://tsaqofi.wordpress.com/2020/01/16/konstantinopel-akan-ditaklukkan-dua-kali/
[1] Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), Juz 31, h. 287.
[2] Al-Hakim, Al-Mustadrak ’ala al-Shahihain (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), Juz 4, h. 468.
[3] Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani, Al-Mu’jam al-Kabir, Cet. II. (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1994), Juz 2, h. 38.
[4] Ali Muhammad al-Shallabi, Fâtih Al-Qusthantîniyyah al-Sulthân Muhammad al-Fâtih, Cet. I. (Kairo: Maktabah al-Sayyidah, 2006), h. 107.
[5] Nûr al-Dîn al-Mulla al-Harawi al-Qâri, Mirqâtu Al-Mafâtîh Syarh Misykâtu al-Mashâbîh, Cet. 1. (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002), Juz 8, h. 3417.
[6] Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abu Daud (Beirut: Maktabah al-’Ashriyyah, tt), Juz 4, h. 110.
[7] Abu Khallad Nashir bin Sa’id bin Saif as-Saif, Al-Fawâid al-Mukhtârah ‘Ala Asyrâti as-Sâ’Ah (Dâr Ibnu Khuzaimah, n.d.), h. 43: الفتح الصحيح لها حين يعود المسلمون إلى دينهم الذين أعرضوا عنه وأما فتح الترك الذي كان قبل عصرنا هذا كان تمهيداً للفتح الأعظم.
[8] Ahmad bin Syu’aib bin ’Ali al-Nasa-i, Sunan Al-Nasa-i, Cet. II. (Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islamiyyah, 1986), Juz 2, h. 38.
[9] Steven Runciman, A History of the Crusades, Cambridge 1966 [1954], vol 3, p.123
[10] al-Shallabi, Fâtih Al-Qusthantîniyyah al-Sulthân Muhammad al-Fâtih, h. 111.
[11] Ibid., h. 107.
❤️
👍
🙏
6