
Ma'had Khadimus Sunnah Bandung
May 18, 2025 at 10:25 AM
📝 *Perbedaan Kriteria Penerimaan Hadits Antara Ahli Hadits dan Ahli Fiqih*
*Perspektif Ahli Hadits (Muhadditsin)*
Ahli hadits memiliki tujuan khusus dalam mengkaji hadits, yaitu menentukan keshahihan dan kelemahan hadits berdasarkan metodologi para huffazh (penghafal) dan nuqqad (kritikus) hadits.
Al-Hafizh As-Suyuthi dalam Alfiyah-nya berkata:
_"Ilmu hadits memiliki kaidah-kaidah tertentu yang dengannya diketahui keadaan matan dan sanad. Itulah objek kajiannya, dan tujuannya adalah untuk mengenal hadits yang diterima dan yang ditolak."_
Jadi tujuan ahli hadits adalah membedakan antara hadits yang diterima (shahih) dan yang ditolak (dha'if) berdasarkan metodologi mereka.
*Perspektif Ahli Fiqih (Fuqaha khususnya Ahli Atsar)*
Ahli fiqih memiliki pandangan yang lebih luas terhadap hadits, yaitu mencakup "hadits yang layak dijadikan hujjah".
Al-Hafizh Abu Dawud As-Sijistani (penulis Sunan Abu Dawud) dalam suratnya ke penduduk Mekah mengatakan:
_"Aku menyebutkan hadits shahih, yang menyerupainya, yang mendekatinya, dan yang memiliki kelemahan parah yang telah kujelaskan. Adapun yang tidak aku komentari, maka ia adalah hadits yang 'shalih' (layak)."_
Maksud imam Abu Dawud, hadits yang tidak ia komentari statusnya adalah "shalih" (layak dijadikan hujjah), yang terbagi menjadi 4 jenis:
a. *Shahih*
b. *Menyerupai shahih* (tidak sepenuhnya memenuhi kriteria shahih, tapi masih bisa diterima) - setara dengan hasan atau tingkat shahih terendah.
c. *Mendekati shahih* (mendekati tingkat hasan tapi tidak sepenuhnya memenuhi syarat) - setara dengan hadits yang dipertentangkan status hasan-nya.
d. *Hadits dha'if yang tidak parah* (memiliki kelemahan ringan menurut penilaian imam Abu Dawud).
Keempat jenis ini termasuk dalam kategori "shalih" menurut imam Abu Dawud.
*Pendekatan Ahli Fiqih*
Ahli fiqih berpegang pada hadits yang layak dijadikan hujjah sesuai metodologi mereka sendiri.
Oleh karena itu, kita dapati para imam mazhab seperti imam Malik, imam al-Syafi'i, imam al-Thabari, imam al-Thahawi, dan ahli fiqih Ahlul Bait menggunakan:
- Hadits mursal
- Hadits munqathi'
- Hadits dha'if yang memiliki penguat
- Bahkan hadits dha'if tanpa penguat
Tidak ada satu pun imam mazhab di 3-4 abad pertama yang meninggalkan pendekatan ini, dengan tetap mempertimbangkan hierarki dalil.
*Pandangan tentang Syadz (Menyelisihi yang Lebih Tsiqah)*
Dalam analisis mendalam, syadz yang masih dalam lingkaran perbedaan pendapat para perawi tsiqah tidak dianggap syadz oleh banyak mujtahid. Mereka menganggapnya sebagai variasi riwayat.
Banyak ahli fiqih seperti imam Ibnu Hazm dan imam Taqiyuddin Ibnu Daqiq al-'Id dalam *Al-Iqtirah* menegaskan hal ini.
*Pesan Penting*
Para pengajar ilmu hadits (khususnya musthalah hadits dan ilmu ilal) perlu mempelajari metodologi ahli fiqih agar tidak terjadi kontradiksi dan pertentangan antara pelajar hadits dan ahli fiqih di kemudian hari. Ini adalah metodologi para mujtahid yang tidak boleh diabaikan.
*Contoh Kasus: Syaikh Al-Albani*
Karena fokusnya hanya pada ilmu hadits dengan minim pemahaman ushul fiqih, serta kurang bergaul dengan ulama lain (yang ia anggap ahli bid'ah), Al-Albani membagi kitab Sunan menjadi:
- Shahih (bisa diamalkan)
- Dha'if (harus ditolak)
Ini adalah kesalahan, karena ia tidak memahami:
- Pendekatan ahli fiqih
- Tujuan penyusun kitab Sunan yang sengaja mencantumkan hadits shahih, hasan, dan dha'if sebagai bahan ijtihad fiqih.
*Kesimpulan*
Terdapat perbedaan epistemologis antara ahli hadits yang fokus pada validitas transmisi, dan ahli fiqih yang pada validitas pengamalan. Juga dalam hierarki Hadits Dha'if, bahwa tidak semua hadits dha'if sama - ada yang bisa diamalkan dengan syarat tertentu dalam fiqih.
_[Tulisan ini adalah ringkasan dari pandangan guru kami, Syaikh Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh Hafizhahullahu Ta'ala]_
Syawwal 1446 H
Yuana Ryan Tresna
❤️
🙏
❤
😂
9