Reveriemist 💤
Reveriemist 💤
June 16, 2025 at 12:08 PM
*CERPEN* ______ _*Putriku Menghilang*_ ••••••• “Saya rasa cukup untuk hari ini, rapat selanjutnya akan saya infokan segera. Terima kasih atas kerja kerasnya semua ….” Setelah pimpinan redaksi meninggalkan ruang rapat, aku pun merapikan tumpukan dokumen yang berserakan di mejaku. Topik hangat yang dibicarakan akhir-akhir ini memang menjadi alasanku dan rekan tim lembur. Berita mengenai kasus penculikan anak di bawah usia sepuluh tahun masih belum terpecahkan siapa pelakunya dan artikel tersebut akan segera rilis dalam beberapa menit lagi. “Dwi, aku duluan ya. Hari ini tidak naik taksi dulu sama kamu, suamiku jemput soalnya.” “Ah, oke ….” ucapku sambil tersenyum menggodanya. Wanita berambut pendek yang baru saja berpamitan padaku adalah salah satu teman kelasku saat SMA dulu. Namanya Wulandari dan seperti katanya, dia akan dijemput oleh suaminya. Sebenarnya aku sedikit iri melihat betapa harmonisnya keluarga Wulan, berbanding terbalik dengan diriku yang harus membesarkan putri kecilku seorang diri tanpa sosok suami. Dan menjadi jurnalis adalah pilihanku untuk melanjutkan hidup, meski kutahu bahwa hal itu akan membuatku jarang bertemu putriku, Reya Atika. Jam hampir menunjukkan pukul tujuh malam, aku bergegas meninggalkan gedung tempatku bekerja sambil mencoba menelpon putriku. Sedikit rasa bersalah menghantuiku saat ini, mengingat tadi pagi, aku sempat memarahinya karena menumpahkan air minum ke dokumen yang akan dirampung pada rapat hari ini. Aku benar-benar naik pitam, padahal putriku tidak sengaja melakukan hal itu. Sebagai ibu, kini aku benar-benar merasa buruk sekali. Mungkin karena tekanan dari atasan dan faktor tidak bisa tidur semalaman, aku bahkan membiarkannya pergi sekolah tanpa mengantarnya. Oleh karena itu, kubelikan Reya boneka beruang besar sebagai permintaan maaf. Tidak lupa sekotak brownies rasa pandan kesukaannya yang sudah kugenggam di tangan kiriku ini. “Hm?” Aku mengernyit ketika panggilanku masih belum dijawab. “Apa Reya sudah tidur?” tanyaku sambil menatap layar ponselku yang terus menghubungi ponsel duplikat yang kutinggalkan khusus untuk Reya di rumah. ‘Polisi Masih Menunggu Waktu yang Pas untuk Menangkap Pelaku Penculikan Anak di Bawah Usia Sepuluh Tahun. Apakah Waktu itu akan Segera Tiba?’ Saat di perjalanan menuju rumah, artikel yang kubuat bersama timku pun rilis. Entah kenapa begitu membaca judul artikel tersebut, tiba-tiba perasaanku berubah tidak enak. Mataku memanas seketika dan jantungku berdebar takut dibuatnya. Rasa cemas mulai menggeliati pikiranku karena Reya belum juga menjawab panggilanku. Sekali pun tidak pernah terpikirkan olehku kalau bisa saja Reya menjadi korban penculikan tersebut. Apalagi ketika aku sadar bahwa kriteria anak yang diculik si pelaku hampir semuanya ada pada Reya. Mulai dari orang tua yang tidak lengkap, usia di bawah sepuluh tahun, dan saat ini tidak ada yang mengawasinya selain diriku. “Tidak-tidak. Reya anak yang pintar, dia tidak mungkin sembrono seperti itu dan keluyuran sepulang sekolah. Dia pasti ketiduran di depan televisi seperti biasanya.” Kutepis rasa khawatir yang hendak hinggap ke pikiranku, walau nyatanya tidak semudah itu untuk tetap berpikir positif. “Reya, Ibu pulang,” panggilku begitu masuk ke dalam rumah. Kuletakkan semua barang bawaanku ke sofa dan berlari dengan terburu-buru ke ruang keluarga karena tidak mendapat sahutan apa-apa. “Reya?” Dadaku sesak melihat ruangan itu kosong seperti belum tersentuh hawa keberadaan manusia, semuanya masih di tempatnya. Menyadari ada sesuatu yang salah, kakiku bergerak cepat ke dapur, namun hasilnya tetap nihil. “Reya, kamu di mana, Sayang!” teriakku tambah histeris, masih berlarian menyusuri setiap sudut rumah seperti orang kerasukan. Hingga langkahku berhenti tepat di depan pintu kamarku, berharap Reya tertidur lelap di sana. Tapi, itu hanya angan-angan semuku saja. Reya tak jua kutemukan. Bola mataku bergetar dan napasku tersengal. “Mungkin ke rumah temannya atau … aku telpon gurunya dulu,” ucapku dengan suara bergetar. Bahkan jariku pun ikut bergetar dengan perasaan yang benar-benar gamang ketika menekan tombol hijau di layar ponsel untuk menelpon wali kelas Reya. “H-halo, Bu Gina.” “Halo, Ibunya Reya. Kebetulan sekali Bu, saya baru akan menelpon Anda. Mau menanyakan tentang kehadiran Reya hari ini.” Mendengar pernyataan itu, kedua kakiku langsung melemah seperti tak bertulang. Tubuhku jatuh, terduduk ke lantai dengan tatapan kosong. Suaraku seperti tercekat di tenggorokan, namun kuberanikan diri untuk membuka mulut. “A-apa tadi Reya tidak datang ke sekolah, Bu?” tanyaku serak, menahan isak tangis. “Benar, Bu.” Sontak tangisku pecah tanpa bisa kubendung. Kalau Reya tidak ke sekolah, lantas dia pergi ke mana sementara hari sudah gelap begini. Di kota ini, hanya aku saja keluarga Reya yang tersisa. Sementara ayahnya masih mendekam di penjara karena kasus KDRT yang dia lakukan padaku satu tahun silam. “Bu Dwi, apa Anda baik-baik saja?” tanya bu Gina terdengar cemas dari balik sana. “Iya, Bu.” Aku memutuskan berbohong. “Reya tidak hadir karena sakit. Tadi pagi tidak sempat memberi tahu sebab saya sibuk, Bu.” “Oh, ternyata begitu. Baiklah, saya mengerti, Bu. Semoga Reya lekas sembuh ya.” Wali kelas Reya pun tidak bertanya yang aneh-aneh dan langsung percaya perkataanku. Kemudian dia menutup telpon, menyisakan diriku yang sudah menggigit bibir menahan jantungku yang kian berdetak tidak karuan. Tidak tau lagi harus bersyukur atau mengutuk diriku sendiri. Yang kutau saat ini, Reya menghilang. Putriku ada di mana sekarang? Lama aku berputus asa, duduk di depan televisi sambil memantau berita terkini. Mataku belum juga kering, air asin itu terus mengalir dari kelopak mataku seperti derasnya air keran. Gigiku pun bergemelatuk. Mungkin ini teguran dari Tuhan karena aku kurang memberikan perhatian pada Reya dan lebih mengutamakan pekerjaanku. Sebagai orang tua, aku sudah lalai dalam menjaga putriku. Kini aku hanya bisa menunggu hingga 24 jam ke depan agar bisa melaporkan orang hilang pada polisi. Sebab, tenagaku pun sudah terkuras setelah berlari ke sana kemari, menanyakan kepada tetangga satu per satu mengenai keberadaan Reya. “Setelah lama menjadi ancaman teror, akhirnya tersangka penculikan anak pun berhasil diringkus polisi sekitar pukul delapan malam di dekat gudang tua, jalan Adijaya. Tidak ada korban jiwa, namun anak-anak yang menjadi korban—” Mataku membelalak, menatap layar TV yang memperlihatkan seorang reporter wanita yang sedang membacakan berita terbaru. Belum sempat mendengarkan apa yang disampaikan reporter tersebut hingga akhir, praktis aku menuju kantor polisi dengan perasaan campur aduk. Tungkaiku yang awalnya tidak bertenaga, entah mendapatkan kekuatan dari mana hingga mampu untuk berlari kembali. Bahkan aku tidak ingat apakah pintu rumah atau gudang yang berada di dekat pagar sudah kututup dengan rapat atau belum saking gegernya mendengar berita tersebut. Dengan berkantongkan sebuah harapan, aku mendatangi kantor polisi yang dimaksud. Berniat menemui penculik tersebut, tentunya untuk membawa Reya dan memeluknya penuh kasih kembali. “Dasar penjahat!” pekikku, mengabaikan tatapan terkejut orang-orang yang berada di dalam kantor polisi karena kedatanganku yang membuat kegaduhan. “Di mana kamu sembunyikan putriku?! Kembalikan dia padaku!” “Maaf, Bu. Anda tidak boleh masuk ke sini!” Salah satu polisi yang berdiri di sisi penjahat itu mengangkat tangan untuk menghalangiku, tapi itu belum cukup mengalahkan sikap keras kepalaku. Tidak bisa lagi kukendalikan diri ini, tanganku menarik kerah baju pria bertubuh tinggi yang sudah diborgol itu dan menatapnya seakan siap membunuhnya kapan saja. “Jika putriku sampai terluka, lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu!” Lalu, beberapa tangan kekar akhirnya berhasil menarikku mundur dan membuatku tidak bisa berkutik dengan raut yang masih dipenuhi kemarahan. “Bu, mari ikut saya. Semua anak yang menjadi korban penculikan sudah diamankan oleh polisi,” ucap polisi tersebut berusaha menenangkan keteganganku. “Jika anak Anda diculik, maka dia pasti ada di antara mereka.” “Lepas!” Aku mendengkus kasar. Darahku masih mendidih saat bertukar tatapan dengan pelaku penculikan yang sudah diborgol kedua tangannya itu. “Mari,” kata polisi itu dan menuntunku ke tempat mereka mengamankan para korban penculikan. Namun, aku kehilangan harapan saat tiba di sana. Reya tidak ada di antara para korban tersebut. Tangisku pecah lagi, aku pun terpaksa pulang dengan tangan kosong. ... Polisi tiba-tiba menerobos kediamanku dan langsung memasang borgol di kedua tanganku begitu aku membuka mata. Aroma busuk pun berhasil menerobos hingga menusuk indra penciumanku, memaksaku untuk membuka mata dengan pertanyaan besar yang timbul di benakku. Apa yang terjadi? “Bu Dwi, Anda ditahan karena telah membunuh Reya Atika, putri Anda.” Tatapanku menjadi kosong begitu mendengar pernyataan polisi. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Tanpa melawan, polisi menyeretku keluar dari kamar. Kudapati ruang tamu hingga dapur dipenuhi bercak merah yang sudah mengering. Sampah makanan ada di mana-mana, lalat pun tidak luput dari penglihatanku. Lalu, mataku terpaku pada kantong orange yang tergeletak tidak berdaya di depan pintu gudang. Para polisi sudah siap mengangkutnya ke dalam ambulans. Dan di saat itulah aku menyadari sesuatu. Tiba-tiba aku tertawa. Perutku tergelitik saja melihatnya, mengabaikan tatapan ngeri para tetangga yang melihatku dari luar pagar. Bukankah ini lucu? Keluarga kecilku bersama Reya ternyata hanyalah halusinasi yang kubuat setelah membunuhnya. “Dwi, tunggu!” Sebelum masuk ke dalam mobil tahanan, aku menoleh pada Wulan yang menghampiriku dengan raut sendu. Dia terisak, sementara aku bergeming dengan ekspresi yang tidak berubah. “Maafkan aku, Dwi. Harusnya aku sadar lebih awal kalau kamu butuh perawatan setelah mendapatkan siksaan itu dari suamimu. Sekarang Reya sudah pergi dan aku merasa sangat bersalah padamu.” END.

Comments