Young Buddhist Association
June 15, 2025 at 03:07 PM
*Diskriminasi Umat Buddha pada Masa Orde Baru di Indonesia* oleh: *Tim Kurator Young Buddhist Association* *Latar Belakang Orde Baru dan Kebijakan Agama* Masa Orde Baru (1966–1998) di bawah Presiden Soeharto dikenal dengan kontrol ketat pemerintah terhadap kehidupan beragama dan kebijakan asimilasi yang berdampak pada minoritas. Pemerintah hanya mengakui lima agama resmi (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha) sesuai ketentuan Pancasila, yang mewajibkan setiap agama memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menimbulkan penyesuaian paksa dalam doktrin Buddha. Pasca 1965, demi memenuhi syarat adanya sosok Tuhan dalam agama menurut hukum Orde Baru, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita – pelopor kebangkitan Buddhisme Indonesia – memperkenalkan konsep Sang Hyang Adi Buddha sebagai “Tuhan” dalam agama Buddha . Langkah ini diambil karena tradisi Buddha sebenarnya tidak mengenal satu sosok Tuhan yang berpribadi layaknya agama Abrahamik, dan kebijakan ini memicu polemik di kalangan umat Buddha sendiri maupun kritik dari komunitas Buddhis internasional . Selain itu, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan asimilasi etnis Tionghoa dengan dalih “integrasi nasional”, yang berujung pada penghapusan identitas Tionghoa dalam berbagai aspek budaya dan agama  . Salah satu puncak kebijakan diskriminatif tersebut adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Inpres 14/1967 ini secara resmi mencabut pengakuan negara terhadap agama Khonghucu dan membatasi seluruh ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik . Upacara keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dilakukan dalam lingkungan keluarga dan ruang tertutup . Dengan kata lain, umat Khonghucu dilarang beribadah secara terang-terangan; perayaan seperti Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Peh Cun, Barongsai, Liong dan tradisi Tionghoa lainnya dilarang dirayakan secara terbuka  . Bahkan umat Khonghucu dipaksa menutup tempat ibadah mereka (klenteng) atau mengalihfungsikannya, kecuali yang dapat dikemas sebagai wihara Buddha . Pemerintah Orde Baru juga mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054 tahun 1978 yang mempertegas pembatasan tersebut. Surat edaran Mendagri 1978 ini menyatakan bahwa pemerintah menolak mencatat perkawinan bagi warga beragama Khonghucu, dan tidak mengizinkan pencantuman Khonghucu sebagai agama pada kolom KTP  . Akibat regulasi ini, secara administratif orang Tionghoa tidak diakui sebagai pemeluk Khonghucu. Mereka didorong (bahkan terpaksa) untuk beralih ke salah satu dari lima agama resmi, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, atau Buddha  . Tekanan ini menyebabkan terjadinya “eksodus” identitas di mana sebagian besar warga keturunan Tionghoa bermigrasi identitas ke agama Kristen, Buddha, bahkan Islam . Banyak yang berpindah atau setidaknya mencatatkan diri sebagai pemeluk Buddha demi diakui negara, meskipun keyakinan awalnya Khonghucu atau tradisi Tionghoa lain. Di sisi lain, meskipun agama Buddha diakui pemerintah, pengelolaan kehidupan beragama Buddha berada di bawah pengawasan ketat. Pemerintah melalui Departemen Agama mengatur organisasi keagamaan dengan membentuk wadah tunggal bagi umat Buddha, yakni Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), yang didirikan pada masa Orde Baru . WALUBI berfungsi sebagai payung resmi berbagai majelis dan aliran Buddha, namun praktis menjadi corong pemerintah untuk mengontrol aktivitas umat Buddha. Kebijakan monoloyalitas organisasi ini membatasi kemandirian komunitas Buddha dan memastikan aktivitas mereka sejalan dengan kepentingan rezim Orde Baru. *Tekanan dan Pembatasan Kebebasan Beragama* Selama Orde Baru, kebebasan beragama sangat dibatasi. Pemerintah mengawasi ketat segala aktivitas keagamaan, termasuk terhadap umat Buddha . Setiap penyelenggaraan peribadatan, perayaan hari besar, pendirian rumah ibadat, hingga kegiatan organisasi harus mendapatkan persetujuan dan berada dalam pengawasan aparat. Kontrol ini membuat perkembangan ajaran dan komunitas Buddha tidak leluasa – selalu berada di bawah bayang-bayang regulasi negara . Umat Buddha (terutama dari etnis Tionghoa) kerap menghadapi stigma politik pasca peristiwa 1965. Pada masa penindasan anti-PKI, banyak warga yang dicurigai terlibat komunisme menjadi target, tak terkecuali beberapa anggota komunitas Buddha . Mereka mengalami diskriminasi dan persekusi, dipaksa menyatakan penolakan terhadap PKI demi membuktikan kesetiaan pada pemerintah . Kecurigaan ini muncul karena komunitas Tionghoa – yang sebagian beragama Buddha – kerap dikaitkan dengan China dan komunisme . Akibatnya, terdapat atmosfer intimidasi di mana umat Buddha harus berhati-hati menunjukkan identitas agamanya, agar tidak diasosiasikan dengan gerakan subversif. Selain tekanan politis, pembatasan juga terasa dalam ekspresi ritual keagamaan sehari-hari. Di bawah aturan asimilasi, perayaan khas komunitas Buddha Tionghoa tidak boleh dilakukan secara publik. Misalnya, perayaan Imlek (Tahun Baru Lunar) yang bagi pemeluk Khonghucu dan banyak umat Buddha Tionghoa merupakan tradisi keagamaan penting, dianggap tabu dan “menyesatkan” oleh rezim Orde Baru . Selama 32 tahun, Imlek dilarang dirayakan secara terbuka; hanya boleh dirayakan tertutup di dalam rumah masing-masing . Gubernur DKI Jakarta saat itu (Surjadi Sudirdja) bahkan menegaskan pelarangan perayaan Imlek di ruang publik . Kebijakan ini diperkuat oleh Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama yang melalui surat No. H/BA.00/29/1/1993 secara tegas melarang perayaan Imlek di wihara-wihara dan cetya (rumah ibadat kecil)  . Ironisnya, WALUBI sebagai organisasi resmi Buddha ikut mengeluarkan Surat Edaran No. 07/DPP-WALUBI/KU/93 (11 Januari 1993) yang menyatakan Imlek bukan hari raya agama Buddha  . Surat edaran ini melarang wihara (khususnya wihara aliran Mahayana, yang umumnya didukung etnis Tionghoa) merayakan Tahun Baru Imlek dengan mengadakan arak-arakan patung dewa (gotong Toapekong) atau atraksi barongsai dan liong  . Artinya, ekspresi budaya dan keagamaan seperti penghormatan kepada Dewi Kwan Im atau dewa-dewa dalam tradisi Tionghoa tidak diizinkan di area wihara, demi memisahkan praktik tersebut dari agama Buddha yang “diakui”. Kebijakan ini menunjukkan tekanan asimilasi: unsur-unsur tradisi Tionghoa diupayakan dihapus dari praktik keagamaan publik, meskipun dalam komunitas Buddha Tionghoa keduanya sulit dipisahkan. Selain Imlek, berbagai ritual Tionghoa lain yang berkaitan dengan agama Buddha/Khonghucu (seperti sembahyang leluhur, perayaan Waisak ala Tionghoa, festival Cap Go Meh, dsb.) juga terpaksa diselenggarakan tertutup atau ditutup sama sekali  . Banyak klenteng (vihara tradisional bergaya Tionghoa) yang di masa Orde Baru berhenti menggelar perayaan publik, atau mengganti papan nama menjadi “Vihara” dengan ikonografi Buddha yang dapat diterima negara, sementara unsur Konfusianisme/Taoisme di dalamnya disamarkan. Kontrol negara bahkan merambah ranah pendidikan dan administrasi. Dalam kurikulum sekolah, pelajaran agama hanya disediakan untuk lima agama resmi. Umat Buddha Tionghoa yang sebenarnya beragama Khonghucu tidak bisa mendapatkan pendidikan agama sesuai keyakinannya, sehingga dipaksa memilih salah satu dari lima agama yang diakui (termasuk Buddha) sebagai formalitas . Demikian pula, pada dokumen kependudukan, kolom agama tidak mengakomodasi Khonghucu. Banyak orang terpaksa mencantumkan “Buddha” di KTP mereka meskipun praktiknya tetap menjalankan ajaran Khonghucu atau kepercayaan leluhur, karena pilihan lain (tidak mengisi agama) bisa menimbulkan kecurigaan politik di era itu. Secara umum, praktik beragama Buddha di masa Orde Baru berlangsung di bawah bayang-bayang intervensi pemerintah. Kebebasan mendirikan vihara baru dibatasi oleh syarat-syarat ketat, termasuk persetujuan lingkungan dan izin dari aparat, yang kadang dipersulit oleh sentimen mayoritas setempat. Umat Buddha yang hanya sekitar 1% dari populasi nasional kala itu tidak memiliki kekuatan politik, sehingga rawan menjadi sasaran kebijakan uniformity Orde Baru. Semua ini membatasi perkembangan lembaga Buddha, pendidikan agama Buddha, dan ekspresi keyakinan sehari-hari. *Dampak terhadap Komunitas Buddha* Dampak sosial dan spiritual dari kebijakan diskriminatif Orde Baru sangat dirasakan komunitas Buddha, terutama yang berlatar belakang Tionghoa. Pertama, terjadi disrupsi identitas dan praktik keagamaan. Umat Buddha Tionghoa kehilangan ruang untuk menjalankan tradisi leluhur secara bebas. Perayaan Imlek dan ritual klenteng yang biasanya menjadi bagian penting dari kehidupan spiritual mereka, perlahan memudar selama tiga dekade ditekan . Tradisi keagamaan Tionghoa di Indonesia “surut dan pudar” karena hanya boleh dilakukan sembunyi-sembunyi . Generasi muda keturunan Tionghoa yang tumbuh di era Orde Baru banyak yang tidak lagi akrab dengan bahasa, aksara, atau upacara keagamaan tradisional nenek moyang mereka, akibat kebijakan pelarangan tersebut. Kedua, terjadi pemaksaan konversi agama secara struktural. Karena Khonghucu tak diakui, banyak penganutnya beralih agama secara administratif demi mendapatkan hak sipil. Seperti diuraikan di atas, sebagian besar memilih masuk ke agama mayoritas atau ke Buddha dan Kristen . Langkah ini seringkali bukan karena perubahan iman secara sukarela, melainkan demi memperoleh kemudahan dalam hal pendidikan, pencatatan pernikahan, pekerjaan, dan status hukum  . Imbasnya, statistik jumlah umat Buddha pada masa itu mencerminkan “asimilasi paksa” – terdapat orang-orang yang tercatat sebagai Buddhist namun praktiknya menjalankan ajaran lain. Bagi komunitas Buddha sendiri, hal ini menimbulkan dinamika internal: misalnya, munculnya jemaat Buddha yang juga mempraktikkan tradisi Konghucu/Tao (sinkretisme) di satu sisi, dan di sisi lain ada yang benar-benar meninggalkan keyakinan lamanya demi berbaur. Umat Buddha pribumi (non-Tionghoa) yang jumlahnya kecil pun merasakan dampaknya, karena agama Buddha kerap diidentikkan dengan etnis Tionghoa sehingga terkena imbas stigma anti-Tionghoa. Ketiga, diskriminasi birokratis menyebabkan kerugian nyata bagi kehidupan umat. Penolakan pencatatan pernikahan bagi yang beragama Khonghucu berarti banyak pasangan Tionghoa di era Orde Baru tidak mendapatkan akta nikah resmi apabila mereka bersikukuh menikah menurut agama leluhur. Beberapa akhirnya menikah di bawah agama lain (misal salah satu pihak “berpindah” ke Buddha atau Kristen agar pernikahan diresmikan negara). Bagi yang tidak mau berpindah, mereka terpaksa hidup tanpa status pernikahan yang diakui hukum, dengan segala konsekuensi hukum terhadap hak waris, status anak, dll. Hal ini tentu menimbulkan keresahan dan ketidakpastian di kalangan minoritas beragama. Bahkan hingga usia tua, ada yang tidak memiliki akta nikah akibat diskriminasi tersebut, sebagaimana diakui sejumlah warga Tionghoa korban kebijakan Orde Baru (mereka baru mengurus legalitas setelah reformasi)  . Keempat, psikologis dan kultural: Umat Buddha yang mengalami masa itu menanggung trauma sosial. Mereka tumbuh dengan pesan bahwa identitas mereka “tidak diinginkan” oleh negara, yang dapat berdampak pada rasa percaya diri dan sense of belonging. Selama 32 tahun, warga Tionghoa-Buddhis merasa seperti warga kelas dua di negeri sendiri  . Stigma negatif terhadap komunitas mereka, ditambah insiden-insiden kekerasan berbau SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan), menciptakan rasa ketakutan. Puncaknya pada Kerusuhan Mei 1998, amarah massa yang diprovokasi sentimen anti-Tionghoa berakhir dengan penjarahan, pembakaran, dan kekerasan masal. Ratusan toko, rumah, hingga sejumlah tempat ibadah (kelenteng dan vihara) turut menjadi sasaran amuk massa  . Tragedi 1998 ini meninggalkan luka mendalam: banyak korban jiwa, perempuan Tionghoa mengalami kekerasan seksual, dan komunitas Buddha/Tionghoa semakin trauma  . Hingga kini, banyak dari pelaku kekerasan itu tidak diadili tuntas, menyisakan perasaan ketidakadilan di kalangan korban . Di tengah tekanan Orde Baru, sebenarnya ada sedikit sisi ironi: pemerintah mempromosikan situs-situs Buddha sebagai warisan budaya nasional (seperti Candi Borobudur) demi pariwisata . Akan tetapi, pemanfaatan warisan Buddha untuk kepentingan pariwisata itu berlangsung hanya dalam konteks budaya, bukan sebagai dukungan pada ekspresi keagamaan Buddha sehari-hari . Umat Buddha di Indonesia waktu itu bisa melihat Borobudur diagungkan di brosur wisata, namun pada saat yang sama merasakan hak beragama mereka dikekang. Kontras ini mempertegas bahwa penghormatan pemerintah terhadap “agama Buddha” lebih bersifat simbolik dan sejarah, bukan pada pemeluknya secara nyata. Singkatnya, masa Orde Baru bagi umat Buddha (khususnya keturunan Tionghoa) dipenuhi pengalaman pahit: dipinggirkan secara hukum, dibungkam secara budaya, dan diawasi secara politik. Walau demikian, komunitas Buddha berusaha bertahan secara internal. Misalnya, ibadah-ibadah rutin tetap dijalankan di wihara meski sederhana; sebagian tradisi dilebur dengan upacara rumah tangga; dan tokoh-tokoh seperti Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, Bhikkhu Khemadhammavansa, serta organisasi seperti Majelis Budhayana Indonesia berupaya menjaga nyala Dharma di tengah pembatasan. Dukungan moral datang pula dari tokoh lintas agama pro-pluralisme seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diam-diam sering hadir di acara komunitas Tionghoa/Buddha sebelum akhirnya mencabut sendiri Inpres 14/1967 saat menjadi Presiden di era Reformasi  . *Risiko Penulisan Ulang atau Penghapusan Sejarah Kelam* Menghapus, menutup-nutupi, atau mengubah narasi sejarah kelam diskriminasi Orde Baru akan membawa dampak negatif serius, terutama bagi komunitas Buddha yang pernah mengalaminya. Sejarah kelam tersebut mencakup pelanggaran hak beragama dan diskriminasi struktural. Jika pengalaman pahit ini ditulis ulang seolah-olah tidak pernah terjadi atau direduksi signifikansinya, maka: • Penderitaan Korban Menjadi Tidak Diakui: Bagi umat Buddha keturunan Tionghoa yang mengalami pengekangan dan diskriminasi, penulisan ulang sejarah sama saja dengan pengingkaran atas pengalaman mereka. Luka batin yang ada justru dapat semakin dalam karena negara atau masyarakat seakan menolak mengakui bahwa mereka pernah ditindas. Validasi atas penderitaan masa lalu adalah bagian penting dari proses penyembuhan; jika narasi resmi justru menyangkalnya, para korban dapat merasa terasing dan tidak dihargai jerit perjuangannya. Ini berisiko memicu resentimen antargolongan yang baru, karena satu kelompok merasa kebenaran sejarahnya dihapus oleh kelompok yang lebih dominan. • Hilangnya Pelajaran Berharga bagi Generasi Penerus: Pepatah mengatakan “bangsa yang melupakan sejarah yang kelam berpotensi mengulanginya”. Apabila represi Orde Baru terhadap minoritas (termasuk umat Buddha) dihapus dari buku-buku sejarah atau diubah narasinya menjadi lebih “ringan”, generasi muda tidak akan memahami betapa rentannya kebebasan beragama bila pemerintah otoriter berkuasa. Menulis ulang sejarah secara manipulatif dapat melemahkan kesadaran akan pentingnya pluralisme dan toleransi. Pengalaman Orde Baru seharusnya menjadi peringatan (warning) agar diskriminasi semacam itu tidak terulang. Tanpa pemahaman sejarah yang jujur, dikhawatirkan masyarakat mudah terjebak propaganda serupa di masa depan yang menyudutkan minoritas. • Keadilan dan Rekonsiliasi Terkendala: Pasca Reformasi 1998, ada upaya rekonsiliasi dan pemulihan hak-hak bagi kelompok yang dulu tertindas. Misalnya, di era Presiden Gus Dur, pemerintah meminta maaf secara simbolis dan mengembalikan hak resmi agama Khonghucu, menjadikan Imlek hari libur nasional, serta menghapus kebijakan asimilasi  . Langkah ini diambil dengan dasar pengakuan bahwa kebijakan Orde Baru dahulu keliru dan menyakitkan. Jika sejarah tersebut dihapus atau diromantisir, upaya rekonsiliasi akan kehilangan landasan. Korban diskriminasi tidak mendapat keadilan moral karena kesalahan seolah-olah tidak pernah terjadi. Padahal, pengakuan kesalahan adalah tahap penting dalam menegakkan keadilan transisional. Penghapusan sejarah kelam justru bisa dianggap impunitas kultural, di mana pelaku atau pendukung kebijakan diskriminatif tak pernah dicatat kesalahannya dan korban tak pernah diakui penderitaannya. • Merosotnya Kepercayaan Terhadap Narasi Resmi: Umat Buddha dan komunitas Tionghoa umumnya telah mengetahui dari pengalaman keluarga atau komunitas tentang represi Orde Baru. Bila kurikulum sejarah, media, atau pejabat publik menyajikan versi berbeda yang menafikan fakta-fakta tersebut, maka kredibilitas narasi resmi akan diragukan. Masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan pada institusi pendidikan atau pemerintah yang dianggap memanipulasi fakta sejarah. Dampaknya, bisa timbul sikap sinis dan apatis terhadap pemerintah, atau sebaliknya mendorong komunitas korban membuat narasi tandingan sendiri. Diskursus sejarah yang terpecah dapat menghambat integrasi nasional jangka panjang. Alih-alih mencapai kesatuan, versi sejarah yang “dihaluskan” hanya akan menyapu problem ke bawah karpet tanpa benar-benar menyelesaikannya. • Pengalaman Minoritas Terpinggirkan dalam Memori Kolektif: Penulisan ulang sejarah cenderung memusatkan cerita pada kelompok mayoritas atau narasi penguasa, dan menghilangkan suara minoritas. Bagi umat Buddha, ini berarti kontribusi dan perjuangan mereka di masa sulit tidak mendapat tempat dalam ingatan kolektif bangsa. Misalnya, peran para biksu, tokoh awam Buddha, atau ormas Buddha yang gigih mempertahankan ibadah secara damai di era Orde Baru akan lenyap dari catatan. Ketiadaan cerita mereka dalam narasi sejarah resmi mengakibatkan erasure budaya – generasi mendatang mungkin tak pernah tahu bahwa komunitas Buddha pernah ada dan berjuang di tengah represi. Hal ini melukai kebanggaan dan identitas komunitas tersebut, seolah-olah keberadaan mereka tidak penting dalam sejarah Indonesia. Sebaliknya, mempertahankan kejujuran sejarah adalah hal krusial. Bangsa Indonesia perlu mengakui secara jujur dan terbuka bahwa rezim Orde Baru pernah sangat diskriminatif terhadap kelompok minoritas . Dengan pengakuan jujur, di satu sisi umat Buddha yang pernah terdiskriminasi mendapatkan legitimasi historis – penderitaan mereka diakui dan dicatat. Di sisi lain, masyarakat luas mendapat pelajaran berharga tentang pentingnya melindungi hak-hak warga tanpa pandang suku atau agama. Sikap “menolak lupa” atas sejarah kelam ini menjadi modal sosial agar toleransi beragama semakin kokoh di Indonesia pasca-Orde Baru. *Kesimpulan* Pengalaman umat Buddha pada masa Orde Baru merupakan bab kelam sejarah kebebasan beragama di Indonesia. Berbagai kebijakan resmi – dari Inpres 14/1967, surat edaran 1978, hingga pelarangan ritual budaya – menunjukkan adanya diskriminasi terstruktur terhadap komunitas Buddha (terutama yang berlatar Tionghoa)  . Tekanan politik dan sosial memaksa mereka menyesuaikan diri, bahkan mengorbankan identitas spiritual dan budaya demi bertahan. Dampaknya terasa panjang: dari pergeseran identitas agama, memudarnya tradisi leluhur, hingga trauma akibat kekerasan SARA. Walau demikian, komunitas Buddha Indonesia mampu bertahan melalui solidaritas internal dan akhirnya mendapatkan kembali ruang kebebasan setelah Reformasi. Menuliskan ulang atau menghapus narasi kelam tersebut jelas kontraproduktif. Sejarah diskriminasi Orde Baru perlu diceritakan apa adanya, dengan bersandar pada sumber-sumber kredibel seperti arsip kebijakan dan kesaksian komunitas Buddha, agar bangsa ini dapat belajar dan memastikan kesalahan serupa tak terulang. Bagi umat Buddha yang menjadi korban, pengungkapan sejarah secara jujur adalah bagian dari pemulihan martabat. Pada akhirnya, mengingat sejarah kelam secara kritis bukan untuk membuka luka lama, melainkan untuk menghormati para korban dan mengambil hikmah demi terwujudnya Indonesia yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika: beragam dalam kepercayaan, namun satu dalam penghormatan hak asasi setiap warga negara. Sumber Referensi: • Kompas.com – Diskriminasi Terhadap Umat Khonghucu pada Masa Orde Baru    • NU Online – Restorasi Spirit Persaudaraan Antar Golongan   • GoRiau/Liputan6 – Sejarah Perayaan Imlek di Indonesia    • YBA.or.id (Young Buddhist Association) – G30S/PKI: Dampak pada Agama Buddha, Indonesia   • Medium.com – Pasca 1965, penyesuaian ajaran Buddha terhadap hukum Orde Baru  • Omong-omong.com – Dewi Kwan Im dalam Cengkeraman Orde Baru  (menggambarkan diskriminasi etnis Tionghoa pada Orde Baru secara puitis) • Sumber sejarah lainnya dari arsip kebijakan Orde Baru (Inpres No.14/1967, SE Mendagri 1978) dan pandangan komunitas (WALUBI, Matakin, dsb)  .
❤️ 😢 2

Comments