Young Buddhist Association
June 21, 2025 at 04:34 PM
*Investigasi Tragedi Mei 1998 dan Kekerasan terhadap Perempuan Tionghoa* oleh Tim Kurator Young Buddhist Association *Latar Belakang Kerusuhan Mei 1998* Kerusuhan 13–15 Mei 1998 di Indonesia terjadi di tengah krisis ekonomi dan gejolak reformasi, menjelang lengsernya Presiden Soeharto. Aksi massa meluas di Jakarta, Medan, Solo, dan kota lain, disertai penjarahan, pembakaran, dan kekerasan bernuansa etnis . Diperkirakan sekitar 1.200–1.300 orang tewas dalam kerusuhan tersebut . Yang paling menyisakan trauma adalah terjadinya kekerasan seksual secara massal terhadap perempuan, terutama yang berasal dari etnis Tionghoa  . Laporan hak asasi manusia dan kesaksian korban belakangan mengungkap bahwa puluhan perempuan etnis Tionghoa mengalami pemerkosaan berkelompok maupun bentuk kekerasan seksual lainnya selama kerusuhan berlangsung  . Peristiwa kelam ini kemudian mendorong dibentuknya sejumlah tim investigasi dan komisi hak asasi untuk mengusut kebenaran dan pertanggungjawaban atas tragedi tersebut. Hasil Investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 Sebagai respon awal, pemerintah Presiden B.J. Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada Juli 1998, beranggotakan perwakilan pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan tokoh masyarakat . TGPF ditugasi mengungkap kronologi, pelaku, dan latar belakang kerusuhan Mei 1998, termasuk laporan tentang kekerasan terhadap perempuan . Setelah sekitar tiga bulan penyelidikan, TGPF menerbitkan laporan akhir pada 23 Oktober 1998 dengan temuan-temuan penting berikut: • Korban Jiwa dan Materi: TGPF mengonfirmasi skala kerusuhan yang masif dengan korban jiwa mendekati 1.300 orang tewas dan kerugian fisik yang luas . Ribuan bangunan, rumah toko, dan kendaraan rusak atau terbakar. Korban tewas terbesar adalah masyarakat sipil biasa (banyak yang terperangkap dalam kebakaran), dan kerugian materiil paling banyak menimpa warga keturunan Tionghoa  . • Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan: TGPF menemukan bukti bahwa kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, benar-benar terjadi selama kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota (termasuk Medan dan Surabaya) . Laporan TGPF membagi kasus kekerasan seksual ini dalam beberapa kategori: 52 kasus pemerkosaan, 14 kasus perkosaan disertai penganiayaan, 10 kasus pelecehan atau penyerangan seksual, dan 9 kasus pelecehan seksual ringan . Sebagian besar pemerkosaan berlangsung secara berkelompok (gang rape) dan kerap terjadi di depan saksi atau bahkan keluarga korban . Bukti TGPF didasarkan pada kesaksian korban dan keluarga, saksi mata, serta keterangan dokter, perawat, psikolog, pendamping, dan rohaniwan yang menangani korban  . Temuan TGPF juga mengindikasikan pola bahwa perempuan keturunan Tionghoa dijadikan sasaran utama serangan seksual tersebut . Salah satu kesaksian bahkan menceritakan seorang perempuan yang luput dari perkosaan karena ibunya yang pribumi berhasil meyakinkan pelaku bahwa putrinya bukan keturunan Tionghoa . Meskipun demikian, TGPF tidak dapat memastikan secara definitif apakah aksi pemerkosaan itu telah direncanakan secara terorganisir atau terjadi sebagai ekses spontan dari kerusuhan – laporan menyebut “belum dapat dipastikan” apakah kekerasan seksual itu merupakan tindakan terencana . TGPF juga mencatat ketiadaan perangkat hukum yang memadai saat itu untuk segera memproses kasus-kasus perkosaan yang ada . • Indikasi Pengorganisasian dan Aktor di Balik Kerusuhan: TGPF menekankan bahwa kerusuhan Mei 1998 tidak sepenuhnya spontan. Mereka menemukan pola umum kerusuhan yang menunjukkan unsur kesengajaan dan skenario yang dimanfaatkan oleh aktor-aktor tertentu . Dari temuan lapangan, TGPF menyimpulkan bahwa “banyak pihak berperan di semua tingkat” dalam kerusuhan ini – mulai dari preman-preman lokal, organisasi massa dan politik, hingga sejumlah oknum anggota aparatur keamanan (ABRI) yang “di luar kendali” . Kelompok-kelompok ini berperan sebagai provokator maupun pelaku lapangan, diduga untuk meraih keuntungan pribadi, kelompok, atau tujuan politik tertentu . Laporan tersebut menegaskan bahwa aparat keamanan turut bertanggung jawab karena tidak bertindak cukup untuk mencegah meluasnya kekerasan, padahal kerusuhan jelas sudah di luar kendali masyarakat sipil . TGPF bahkan menyebut kegagalan ABRI menjalankan fungsi pengamanan secara efektif – khususnya di Jakarta – dan menilai Panglima Komando Operasi Jakarta (Pangkoops Jaya) saat itu, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya dalam mencegah eskalasi kerusuhan . Kelemahan pengendalian keamanan di berbagai kota lain juga dikaitkan dengan pergulatan elit politik tingkat nasional menjelang transisi kekuasaan . • Dugaan Keterlibatan Pejabat Tinggi: Walau bersifat investigasi awal, laporan TGPF mengangkat kemungkinan adanya skenario politik di balik kerusuhan. TGPF mencatat adanya missing link (mata rantai yang hilang) yang menghubungkan pertarungan kekuasaan di tingkat elite dengan kerusuhan di tingkat massa . Mereka menduga kerusuhan tersebut “diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik elit” yang mungkin bertujuan menciptakan kondisi darurat (state of emergency) menjelang lengsernya Soeharto . Salah satu peristiwa krusial yang disorot TGPF adalah pertemuan di Markas Kostrad pada 14 Mei 1998, di mana sejumlah petinggi ABRI dan tokoh masyarakat berembuk saat kerusuhan memuncak . TGPF merekomendasikan penyelidikan tuntas terhadap pertemuan Makostrad 14 Mei 1998 tersebut untuk mengungkap peran para aktor intelektual di balik kerusuhan . Secara khusus, TGPF meminta pemerintah memastikan peran Letjen TNI Prabowo Subianto (eks Pangkostrad waktu itu) dan pihak-pihak lain yang hadir dalam pertemuan tersebut, karena disinyalir terkait dengan rangkaian peristiwa yang memicu kerusuhan . Dengan kata lain, nama Prabowo disebut dalam laporan TGPF sebagai figur yang patut dimintai keterangan lebih lanjut terkait kerusuhan. Selain itu, TGPF merekomendasikan langkah hukum terhadap oknum militer dan sipil lain yang terlibat. Misalnya, Pangkoops Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin diminta pertanggungjawabannya atas kegagalan pengamanan  . TGPF juga menyinggung kasus lain yang berkaitan, seperti penculikan aktivis 1997/1998 (yang melibatkan Tim Mawar Kopassus) dan penembakan mahasiswa Trisakti, agar diproses secara transparan – termasuk mendesak Letjen Prabowo dan semua pihak terkait penculikan diadili di peradilan militer  . Penting dicatat bahwa TGPF tidak menyimpulkan secara sepihak siapa dalang utama kerusuhan, namun temuan-temuannya membuka kemungkinan keterlibatan institusi militer dan elite politik, serta merekomendasikan investigasi lanjutan terhadap figur-figur kunci tanpa tuduhan langsung. *Temuan Komnas HAM dan Laporan Lembaga HAM Lainnya* Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat untuk peristiwa kerusuhan Mei 1998 pada tahun 2003. Penyelidikan pro justicia ini dilakukan setelah Indonesia memiliki landasan hukum Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000). Hasilnya, pada September 2003 Komnas HAM menyimpulkan bahwa Tragedi Mei 1998 memenuhi kualifikasi pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan . Menurut Ketua Komnas HAM, berbagai tindak kekerasan pada 13–15 Mei 1998 – termasuk pembunuhan, penganiayaan, perampasan kemerdekaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual – terjadi secara meluas dan sistematis sebagai serangan terhadap penduduk sipil . Artinya, kekerasan Mei 1998 bukan hanya rangkaian kriminal biasa, tetapi bagian dari pola serangan yang terorganisir terhadap kelompok masyarakat (terutama komunitas etnis Tionghoa dan aktivis pro-demokrasi)  . Temuan Komnas HAM ini sejalan dengan laporan TGPF bahwa ada pola penyerangan terencana, dan memperkuat bahwa pelanggaran dalam Tragedi 1998 tergolong kejahatan kemanusiaan. Komnas HAM menyerahkan berkas penyelidikan resmi tersebut kepada Kejaksaan Agung pada 19 September 2003 untuk ditindaklanjuti sesuai hukum . Pada lingkup nasional lain, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dibentuk pada Oktober 1998 sebagai respon langsung atas kekerasan seksual dalam Tragedi Mei. Lahirnya Komnas Perempuan melalui Kepres No. 181/1998 adalah salah satu langkah Presiden Habibie pasca kerusuhan, selain membentuk TGPF dan menyampaikan permintaan maaf kepada para korban . Sejak awal, Komnas Perempuan memusatkan perhatian pada pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual Mei 1998. Lembaga ini mendokumentasikan kesaksian korban dan berupaya mematahkan penyangkalan terhadap kejadian tersebut. Sebuah Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan (2008) mengenai Kekerasan Seksual Mei 1998 mencatat detail penderitaan korban: rentang usia korban pemerkosaan mulai 5 tahun hingga 50 tahun, dengan kekejaman yang mencakup pemaksaan oral dan penyiksaan seksual (misalnya penetrasi dengan benda asing), yang mana banyak bentuk tersebut bahkan tidak terakomodasi oleh definisi hukum perkosaan saat itu . Laporan Komnas Perempuan maupun advokasi berkelanjutan mereka menegaskan bahwa para korban menghadapi trauma mendalam, stigma sosial, dan hambatan hukum untuk mendapatkan keadilan. Komnas Perempuan juga menekankan bahwa perempuan etnis Tionghoa dijadikan kambing hitam kondisi krisis 1998, sehingga disasar dalam kerusuhan tersebut . Hal ini menunjukkan adanya unsur bias rasial dalam pola kekerasan tersebut. Bahkan, keberadaan Komnas Perempuan sendiri dianggap sebagai pengingat nyata bahwa kekerasan seksual massal 1998 benar-benar terjadi – lembaga ini sering disebut “anak kandung reformasi” yang lahir karena desakan publik agar negara tidak menutup-nutupi tragedi tersebut  . Di tingkat lembaga internasional, berbagai organisasi HAM dan PBB turut melakukan penyelidikan dan memberi penilaian. Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan, Radhika Coomaraswamy, melakukan misi investigasi ke Indonesia pada November 1998. Dalam laporannya (E/CN.4/1999/68/Add.3), ia mengonfirmasi adanya pola kekerasan seksual yang meluas terhadap perempuan etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 . Meski Coomaraswamy tidak dapat memastikan jumlah korban secara pasti, ia melaporkan bahwa “pola kekerasan yang digambarkan oleh para korban, saksi, dan pembela HAM jelas menunjukkan bahwa pemerkosaan tersebut terjadi secara meluas” . Pelapor Khusus PBB itu bahkan menemui sejumlah korban secara rahasia; terungkap bahwa tak satu pun korban yang ditemuinya bersedia atau berani melapor ke polisi . Ia juga mendokumentasikan surat-surat ancaman yang menebar terror kepada komunitas Tionghoa pasca-kerusuhan – berisi intimidasi berupa ancaman pemerkosaan, pembunuhan, hingga mutilasi – yang ditujukan untuk menakut-nakuti warga keturunan Tionghoa agar bungkam atau eksodus . Temuan PBB ini memperkuat laporan nasional: korban enggan melapor karena trauma, takut pembalasan, tidak percaya aparat, dan khawatir distigma. Selain PBB, Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International turut berperan mengungkap fakta dan mendesak pertanggungjawaban. HRW pada September 1998 merilis laporan “The Damaging Debate on Rapes of Ethnic Chinese Women” yang mengecam pejabat Indonesia yang menyangkal terjadinya perkosaan . HRW menegaskan bahwa perdebatan tentang “ada-tidaknya” pemerkosaan hanya mengaburkan isu pokok: bahwa kekerasan tersebut nyata terjadi dan kemungkinan terorganisir, serta menimbulkan ketakutan mendalam di komunitas Tionghoa  . HRW mencatat berbagai alasan korban enggan melapor – mulai dari trauma berat hingga keyakinan bahwa aparat keamanan sendiri diduga terlibat dalam kerusuhan . Laporan HRW juga mendokumentasikan indikasi keterlibatan oknum militer dalam kerusuhan Mei dan sejarah pemerasan polisi terhadap warga Tionghoa, sehingga wajar jika korban tidak percaya pada penegak hukum . Sementara itu, Amnesty International dalam berbagai pernyataannya menegaskan bahwa fakta-fakta hasil pencarian TGPF dan penyelidikan pro justicia Komnas HAM sudah jelas menggolongkan Tragedi Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM berat . Amnesty mengecam setiap upaya pejabat yang menyangkal tragedi tersebut, karena hal itu berarti mengabaikan temuan investigasi resmi dan melukai para korban  . *Perkembangan Penegakan Hukum dan Akuntabilitas* Dalam hal penegakan hukum, perkembangan pasca-1998 menunjukkan jurang antara temuan investigasi dan tindakan yudisial. TGPF 1998 sebenarnya telah memberikan rekomendasi jelas: pemerintah diminta menindaklanjuti kasus kerusuhan Mei secara tegas, baik terhadap pelaku sipil maupun militer . Rekomendasi tersebut mencakup penyelidikan lanjutan aktor intelektual kerusuhan (termasuk investigasi peran Letjen Prabowo), penuntutan para pelaku kekerasan yang cukup bukti, pembentukan program perlindungan saksi/korban, hingga reformasi kelembagaan agar tragedi serupa tak terulang  . Namun, realisasinya menemui hambatan. Pada akhir 1990-an, upaya proses hukum terhadap pelaku kerusuhan dan perkosaan massal hampir tidak berjalan. Tidak ada satu pun kasus perkosaan Mei 1998 yang berhasil dibawa ke pengadilan pidana umum saat itu, karena korban enggan melapor dan aparat kesulitan mengumpulkan bukti di tengah situasi kacau dan intimidasi  . Beberapa anggota militer memang sempat diperiksa terkait kasus penculikan aktivis 1997/98 (Tim Mawar) dan insiden penembakan Trisakti, yang berujung pada dipecatnya Prabowo Subianto dan dihukumnya beberapa perwira Kopassus di mahkamah militer. Namun, untuk perkara kerusuhan Mei 1998 secara keseluruhan (termasuk pembunuhan massal dan kekerasan seksual), tak satu pun aktor intelektual ataupun pelaku lapangan utama yang diadili pada waktu itu. Harapan penegakan hukum sempat muncul ketika UU Pengadilan HAM disahkan tahun 2000, membuka peluang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc bagi pelanggaran berat masa lalu. Komnas HAM pada 2003 telah menyerahkan berkas penyelidikan resmi tragedi Mei 1998 ke Kejaksaan Agung . Akan tetapi, Kejaksaan Agung tidak pernah menindaklanjuti berkas tersebut ke tahap penyidikan dan penuntutan. Dalam sistem Indonesia, pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus sebelum tahun 2000 mensyaratkan persetujuan DPR dan Keputusan Presiden. Kendala politik mengakibatkan tidak dibentuknya tribunal ad hoc untuk Tragedi Mei 1998 – situasi serupa menimpa kasus pelanggaran HAM berat lain seperti Trisakti dan Semanggi (DPR periode itu bahkan sempat menyatakan kasus-kasus tersebut “bukan pelanggaran berat”, yang melemahkan upaya hukum). Akibatnya, proses peradilan pidana tidak pernah berjalan bagi para pelaku kerusuhan Mei 1998 hingga lebih dari dua dekade setelah kejadian . Komnas HAM berulang kali menyatakan frustrasi karena rekomendasinya diabaikan; laporan mereka bolak-balik dinyatakan “kurang bukti” oleh Kejaksaan, sementara korban menua tanpa kepastian hukum. Memasuki era pemerintahan Presiden Joko Widodo, fokus pemerintah bergeser ke penyelesaian non-yudisial. Tahun 2022, Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) yang mengkaji 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk Kerusuhan Mei 1998 . Laporan tim ini diserahkan awal Januari 2023, dan Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 mengeluarkan pernyataan resmi mengakui bahwa Tragedi Mei 1998 (bersama 11 kasus lainnya) merupakan pelanggaran HAM yang berat  . Jokowi menyampaikan penyesalan mendalam atas peristiwa tersebut dan berjanji akan memulihkan hak-hak korban “secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial”  . Sebagai tindak lanjut, diterbitkan Inpres No. 2 Tahun 2023 untuk pelaksanaan rekomendasi non-yudisial, yang berorientasi pada reparasi dan rehabilitasi korban. Pada akhir 2023, pemerintah pusat dan Pemprov DKI mulai menyalurkan bantuan layanan (antara lain bantuan medis, beasiswa, atau kompensasi) kepada sebagian keluarga korban kerusuhan 13–15 Mei 1998 . Langkah ini merupakan bentuk pengakuan negara atas penderitaan korban. Kendati demikian, kalangan pegiat HAM menilai upaya non-yudisial belum cukup. Pengakuan dan permintaan maaf tanpa penegakan hukum dianggap tidak memenuhi rasa keadilan korban  . Komnas HAM sendiri mengingatkan bahwa pengakuan pemerintah tidak menghapus kewajiban untuk menuntaskan kasus melalui pengadilan . Hingga tahun 2025, tak satu pun pelaku kekerasan seksual Mei 1998 yang berhasil diadili secara pidana  . Budaya impunity (bebas dari hukuman) masih menyelimuti tragedi ini, yang dikhawatirkan dapat berulang jika kebenaran tidak diungkap tuntas. Amnesty International dan Human Rights Watch terus mendesak pemerintah Indonesia agar membawa para tersangka pelaku ke meja hijau dan mengakhiri praktik saling lempar antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung  . Seorang ibu korban tragedi (Sumarsih) dan banyak keluarga korban lainnya menegaskan bahwa keadilan baru tegak jika pelaku diadili – pengakuan saja dinilai belum menjamin peristiwa serupa tak terulang . Dengan kata lain, perkembangan penyelesaian hukum kasus Mei 1998 masih stagnan di tahap pengakuan moral, belum mencapai akuntabilitas hukum yang sesungguhnya. *Tanggapan Masyarakat Sipil dan Media* Masyarakat sipil Indonesia berperan besar dalam mengungkap kebenaran Tragedi Mei 1998 dan menjaga ingatan kolektif atasnya. Segera setelah kerusuhan, kelompok pegiat HAM membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan, terdiri dari aktivis-aktivis LSM, untuk mendata korban dan saksi . Tim Relawan inilah yang pertama kali melaporkan bahwa sedikitnya 168 kasus kekerasan seksual terjadi selama kerusuhan (angka lebih tinggi dari data TGPF, karena mencakup laporan yang belum diverifikasi penuh) . Laporan relawan tersebut serta desakan organisasi perempuan mendorong pemerintah tidak menyangkal kejadian, bahkan pada 15 Juli 1998 perwakilan aktivis berhasil bertemu Presiden Habibie. Hasilnya, Habibie menyatakan permintaan maaf, mengutuk kekerasan yang terjadi, dan berkomitmen mengambil langkah (antara lain membentuk TGPF dan Komnas Perempuan)  . Ini menunjukkan kekuatan dorongan masyarakat sipil dalam memaksa penguasa mengakui pelanggaran HAM. Dalam dua dasawarsa lebih sejak 1998, komunitas masyarakat sipil tak henti mengawal isu ini. Berbagai LSM seperti KontraS, Ikatan Keluarga Korban (Ikohi), Yayasan Pulih, dll, mendampingi korban dan keluarga korban, sembari mengadvokasi penuntasan kasus. Setiap tahun, peringatan Tragedi Mei 1998 diadakan, baik melalui diskusi publik, pameran, doa bersama, maupun ziarah ke Monumen 1998. Penting dicatat, sebuah Monumen Tragedi Mei 1998 didirikan di pemakaman Pondok Ranggon, Jakarta, untuk mengenang para korban; monumen ini diresmikan tahun 2015 oleh Komnas Perempuan dan Gubernur DKI saat itu . Kehadiran monumen dan upacara peringatan menandakan bahwa masyarakat sipil berupaya merawat ingatan dan menolak sejarah kelam ini dilupakan atau dihapus. Selain itu, aksi kamisan (unjuk rasa damai setiap Kamis di depan Istana Merdeka) yang digagas keluarga korban pelanggaran HAM sejak 2007 kerap mengangkat tuntutan penyelesaian Tragedi 1998. Tokoh-tokoh korban seperti ibu dari korban penembakan 1998 (Sumarsih, ibu dari Wawan) konsisten bersuara menagih janji negara . Tanggapan masyarakat sipil ini menunjukkan solidaritas lintas komunitas: organisasi perempuan, kelompok Tionghoa, mahasiswa Reformasi, hingga aktivis lintas agama bersatu menuntut kebenaran dan keadilan bagi korban Mei 1998. Media massa nasional juga memainkan peran penting dalam mengungkap dan mengawal isu ini, meski awalnya ada sensitivitas dan tekanan politik. Pasca kejatuhan Soeharto, kebebasan pers mulai tumbuh dan media memberitakan tragedi Mei secara lebih terbuka. Majalah Tempo, misalnya, pada edisi 18 Mei 1998 (segera setelah kerusuhan) telah memuat kesaksian korban pemerkosaan  – langkah berani untuk mengkonfirmasi kejadian yang sempat diragukan pejabat. Laporan jurnalistik tentang korban terus bermunculan di media arus utama dan media komunitas, meski tak jarang mendapatkan sanggahan dari pejabat orde lama. Sepanjang era Reformasi, media seperti Kompas, The Jakarta Post, Detik, Metro TV, dan lainnya rutin mengulas perkembangan kasus 1998, mewawancarai korban, serta memberitakan upaya advokasi. Media juga menjadi wadah mengkritisi pernyataan kontroversial dari pejabat yang terkesan mengaburkan fakta sejarah. Misalnya, ketika seorang pejabat tinggi menyebut pemerkosaan massal 1998 sebagai “rumor tak tercatat sejarah” pada tahun 2025, berbagai media dengan cepat menyorot dan mengutip kecaman publik terhadap pernyataan tersebut  . Komnas HAM dan Komnas Perempuan segera menggelar konferensi pers yang diliput luas media, menegaskan bahwa pemerkosaan massal Mei 1998 adalah fakta sejarah yang sudah diakui negara dan dibuktikan penyelidikan resmi  . Pemberitaan media yang kritis ini berkontribusi menangkal upaya disinformasi atau distorsi sejarah. Dalam konteks yang lebih luas, media internasional juga membantu memberi tekanan; contohnya media Tiongkok, Hong Kong dan Taiwan pada 1998 ramai memberitakan tragedi ini sehingga menambah tekanan diplomatik pada Jakarta . Secara keseluruhan, reaksi masyarakat sipil dan media di dalam negeri cenderung pro-aktif menjaga ingatan dan mendukung korban. Mereka menolak penyangkalan dan mendorong diskusi publik agar pemerintah bertanggung jawab. Berkat dorongan ini pula, pemerintah akhirnya mengakui tragedi tersebut dan mengambil beberapa langkah rehabilitasi meski belum menyentuh ranah hukum. Kebebasan pers dan geliat LSM pasca-1998 bisa dikatakan lahir dari rahim Reformasi yang dipicu peristiwa ini – sehingga ada semangat kolektif untuk tidak mengkhianati perjuangan korban dan reformasi dengan cara melupakan kasusnya. *Respons Komunitas Internasional* Tragedi Mei 1998 dan khususnya isu kekerasan terhadap perempuan Tionghoa mendapat sorotan luas dari komunitas internasional. Dalam hitungan minggu setelah kerusuhan, berbagai negara dan organisasi menyuarakan kecaman. Legislator di Taiwan dan Hong Kong bereaksi keras dengan mengancam penghentian bantuan serta deportasi pekerja migran Indonesia sebagai protes atas kabar pemerkosaan massal . Pejabat Pemerintah Tiongkok yang biasanya enggan mencampuri urusan internal negara lain, kali ini secara terbuka dan berulang kali mengecam terjadinya kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia . Amerika Serikat melalui Menlu Madeleine Albright juga menekan Indonesia dengan menanyakan isu pemerkosaan ini kepada pejabat Indonesia pada Juli 1998 . Gelombang solidaritas pun muncul: sejumlah situs web dan komunitas diaspora Tionghoa di berbagai negara bermunculan mengampanyekan keadilan bagi korban dan mendesak aksi internasional . Demonstrasi komunitas Indonesia di luar negeri dan petisi global turut menuntut penyelidikan independen. Tekanan diplomatik ini berkontribusi pada keputusan pemerintah Habibie waktu itu untuk menampung masukan tim pencari fakta internasional (walau akhirnya investigasi ditangani TGPF domestik dengan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber termasuk relawan dan laporan NGO asing). Organisasi HAM internasional juga konsisten mengawal isu ini. Human Rights Watch dan Amnesty International tak henti mengeluarkan pernyataan sejak 1998 sampai sekarang. Pada 8 September 1998, HRW mengeluarkan news release berjudul “Official Denials of Indonesian Rapes Hinder Investigation” yang mengkritik upaya pejabat Indonesia yang menyangkal adanya perkosaan  . HRW memperingatkan bahwa retorika penyangkalan tersebut hanya akan menghalangi proses pengungkapan kebenaran dan membuat korban makin takut bersuara . Mereka juga mendesak pemerintah Indonesia agar mengundang PBB (Pelapor Khusus) untuk turut menyelidiki  – saran yang kemudian terealisasi dengan kedatangan Radhika Coomaraswamy akhir 1998. Amnesty International di sisi lain secara rutin memasukkan kasus Mei 1998 dalam laporan tahunannya dan advokasi global. Bahkan hingga 2024-2025, Amnesty mengecam pernyataan pejabat Indonesia yang meremehkan tragedi tersebut, dengan menegaskan bahwa laporan-laporan resmi baik TGPF maupun Komnas HAM telah menyimpulkan terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan di Mei 1998 . Amnesty mendesak pemerintah Indonesia yang baru agar serius menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM melalui penegakan hukum, bukan malah mengaburkan fakta demi kepentingan politik sesaat  . Dukungan komunitas internasional terhadap korban juga terwujud dalam bentuk bantuan psikososial dan advokasi. Beberapa lembaga asing dan PBB mendanai program pemulihan trauma untuk korban perkosaan, bekerja sama dengan LSM lokal. Isu kekerasan Mei 1998 juga kerap diangkat dalam Sidang-sidang PBB, misalnya dalam Universal Periodic Review (UPR) Indonesia, negara-negara lain menanyakan tindak lanjut kasus ini sebagai salah satu rekomendasi HAM. Pada UPR 2017 dan 2022, perwakilan negara seperti Jerman, Kanada, dan lainnya mendorong Indonesia menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu termasuk Mei 1998. Setelah Presiden Jokowi mengakui resmi pelanggaran HAM berat masa lalu (Januari 2023), reaksi internasional umumnya mengapresiasi langkah pengakuan namun juga mengingatkan agar dilanjutkan dengan tindakan konkret. Misalnya, Human Rights Watch melalui penelitinya Andreas Harsono menyambut baik pengakuan Jokowi tapi menekankan pentingnya investigasi lanjutan, pendokumentasian kuburan massal, dan pembentukan komisi kebenaran untuk menentukan langkah hukum berikutnya . Amnesty International (Usman Hamid) juga menyatakan korban berhak atas reparasi dan proses peradilan, sehingga pemerintah perlu membawa pelaku ke pengadilan sebagai jaminan ketidakberulangan . Kelompok masyarakat internasional memahami bahwa tanpa akuntabilitas hukum, permintaan maaf saja berisiko menjadi simbolis. Oleh karena itu, tekanan kepada Indonesia agar menggelar pengadilan ad hoc bagi Tragedi Mei 1998 masih terdengar di forum-forum global. Di kawasan, tragedi ini sempat menimbulkan ketegangan diplomatik (misal, hubungan Indonesia-Tiongkok merenggang sebentar tahun 1998 akibat reaksi publik Tiongkok). Namun, respons pemerintah Indonesia yang akhirnya mengakui dan berjanji memperbaiki keadaan korban membantu meredakan tekanan. Komunitas internasional – baik negara maupun NGO – terus memonitor hingga kini, mengingat kasus ini menjadi tolak ukur komitmen Indonesia terhadap reformasi hukum dan HAM pasca-Orde Baru. Singkatnya, dunia internasional bersimpati pada penderitaan korban dan mendukung perjuangan masyarakat sipil Indonesia dalam menuntut kebenaran. Mereka menyambut baik langkah-langkah penyelesaian non-yudisial seperti pengakuan dan reparasi, tetapi tetap mendorong agar Indonesia memenuhi standar keadilan universal dengan mengadili para pelaku yang bertanggung jawab  . Dukungan dan sorotan global ini memberi tekanan moral bagi pemerintah Indonesia untuk tidak menyapu tragedi 1998 ke bawah karpet sejarah. Kesimpulannya, investigasi resmi dari TGPF, Komnas HAM, dan berbagai lembaga HAM kredibel (nasional maupun internasional) sepakat bahwa kerusuhan Mei 1998 disertai kekerasan terhadap perempuan etnis Tionghoa benar terjadi dan merupakan pelanggaran HAM serius. Laporan-laporan tersebut menyebut sejumlah aktor dan institusi mulai dari preman, organisasi massa, hingga unsur aparat keamanan yang diduga terlibat, sembari merekomendasikan penegakan hukum tanpa menyimpulkan secara sepihak sebelum proses peradilan  . Sayangnya, perkembangan penegakan hukum berjalan lamban – tidak ada pelaku yang dihukum melalui proses peradilan hingga kini, meski upaya non-yudisial sudah mulai dilakukan  . Tekanan masyarakat sipil dan sorotan media terus berlanjut agar kasus ini tidak dilupakan, sementara komunitas internasional turut mendukung upaya penyelesaian yang berkeadilan. Tragedi Mei 1998 kini diakui sebagai bagian kelam sejarah Indonesia; tantangan tersisa adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan bagi para korban, sehingga rekonsiliasi sejati dapat tercapai tanpa mengorbankan prinsip penegakan hukum  . Referensi: 1. Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 – Seri Dokumen Kunci Komnas Perempuan, 1998  . 2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia – Penyelidikan Pro Justitia Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, 2003 (disampaikan ke Kejaksaan Agung)  . 3. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan – Laporan Pelapor Khusus tentang Kekerasan Seksual dalam Kerusuhan 1998, 2008  . 4. Human Rights Watch – Indonesia: The Damaging Debate on Rapes of Ethnic Chinese Women, Report, 1 Sep 1998 ; dan New Report Says Official Denials of Indonesian Rapes Hinder Investigation, News Release, 8 Sep 1998  . 5. Amnesty International – Pernyataan Pers “May 1998 sexual violence real, fight effort to whitewash New Order’s sins” (Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Impunity), 13 Juni 2025  ; dan Komentar Amnesty atas pernyataan pejabat soal Tragedi 1998, 21 Oktober 2024  . 6. Media Coverage & International Responses: People’s Daily Online – Indonesia’s Human Rights Body Welcomes May Riots Probe, 26 Juli 2000 ; Reuters – “Jokowi regrets… victims want accountability”, 11 Jan 2023  ; The Diplomat – “20 Years Later, Victims… Still Waiting for Justice”, 15 Mei 2018  ; Tempo – “Buat Apa Fadli Zon Menyebut Pemerkosaan Mei 1998 Sebagai Rumor”, 2023 ; DetikNews/Antara – “Komnas HAM: Pemerkosaan Terjadi saat Kerusuhan Mei 1998”, 16 Juni 2025  ; MetroTV News – “Tragedi 1998 Pelanggaran HAM Berat”, 22 Okt 2024  .
❤️ 1

Comments