
As-Salafiyyah 🇮🇩
June 12, 2025 at 02:16 PM
"Apakah orang yang menyepelekan membayar SPP termasuk orang yang berutang?"
Begitulah sebuah pertanyaan yang diajukan kepada al Ustadz Qomar Suaidi, Lc hafidzahullah dalam sebuah kajian.
"Ya, jelas. Ini utang. Iya, kan?" jawab gurunda Pengasuh Ponpes Daarul Atsar Temanggung itu.
Gurunda menjelaskan, dalam proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di negeri kita rata-rata ada kewajiban membayar SPP. Entah yang umum maupun berbasis agama semisal pondok-pondok pesantren. SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) menjadi salah satu motor (penggerak) dari berjalannya kegiatan belajar mengajar.
"Seseorang yang disekolahkan di sebuah tempat pendidikan termasuk di pesantren-pesantren, mereka diwajibkan untuk membayar SPP. Dan ini sudah menjadi kesepakatan tentunya antara pihak pengelola pendidikan dengan pihak para wali murid. Terkadang kesepakatannya pun sampai pada waktu pembayaran, kapan dibayar. Sehingga ketika tidak atau belum dibayar, ya itu artinya utang," papar gurunda.
Gurunda mengingatkan, murid telah mendapatkan pendidikan, fasilitas, dan lain-lain. Bahkan kalau di asrama ada makan, minum, dan macam-macam. Anak-anak sudah mendapatkan semuanya itu, sudah menjadi kewajiban wali santri untuk melunasi SPP.
Jika tidak mampu dibicarakan ke pengelola pendidikan, dicari solusinya. Kalau mampu harus dibayarkan. Bukankah sudah ada kesepakatan -tertulis- antara pengelola pendidikan dan wali santri tentang kewajiban membayar SPP?
Gurunda kemudian menyebutkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. "Kaum muslimin itu harus sesuai dengan persyaratan atau kesepakatan yang disepakati di antara mereka."
Sebuah kondisi yang menyedihkan jika masih ada wali santri yang menyepelekan dan enggan melunasi SPP anak-anak mereka di pondok pesantren. Apalagi bagi santri yang mondok, SPP ada variabel uang makan.
Jika wali santri tidak membayar SPP dan uang makan anaknya, bagaimana tanggung jawab mereka menafkahi (memberi makan) anak-anaknya?
"Yang mondok kan makan anaknya di ma'had. Kaif, di mana tanggung orang tuanya? Lha kalau anakmu nggak mondok, anakmu di rumah, nggak makan? Pasti makan, kan? Kamu nggak tahu bagaimana caranya, banting keringat peras tulang agar anakmu makan di rumah. Nggak peduli apa caranya walaupun itu nasi sama garam. Pokoknya harus makan anakmu. Artinya, kenapa logika itu nggak antum gunakan ketika dia di ma'had? Mondok di ma'had," tutur al Ustadz Usamah Mahri, Lc hafidzahullah dalam salah satu kajiannya.
Sudah menjadi rahasia umum tingkat partisipasi wali santri untuk membayar SPP di ponpes atau ma'had ahlussunnah terbilang sangat rendah. Rata-rata mentok di angka 60%.
Permasalahan yang klasik. Pihak pengelola ma'had hendak membuat peraturan tegas -terkait SPP- tapi tidak tega. Namun dibiarkan, semakin merajalela. Percaya atau tidak, di sebuah ponpes ada wali santri yang menunggak SPP anaknya hingga 10 juta rupiah!
Jika ma'had diam, bukan berarti masalah biaya operasional sudah ada yang menalangi. Pernahkah wali santri memikirkan bagaimana ma'had menutupi kekurangan biaya operasional setiap bulannya? Biaya pendidikan, menginap, makan, dan minum anak-anak mereka di ponpes.
Al Ustadz Usamah Mahri juga menceritakan, tidak jarang pelanggaran dan kenakalan anak di ma'had dipicu karena kelalaian wali santri menafkahi anaknya. Lumayan besar prosentasenya.
Anak tidak diberikan uang jajan. Ketika teman-temannya jajan, karena pengin jajan tak ada uang, akhirnya meminta-minta jajan yang dimakan temannya.
"Biasa minta-minta. Itu hina. Siapa yang mendidik itu? Kamu, orang tuanya. Kamu didik dia jadi pengemis," ujar gurunda Pengasuh Ma'had As Sunnah Junrejo Batu itu.
Lebih buruk lagi, anak memilih jalan pintas mencuri jajanan yang diinginkan di maqshof (warung). "Siapa yang membuat dia mencuri? Kamu, orang tuanya. Mungkin kamu nggak sadari, mungkin nggak sejauh itu pikiranmu. Sadarlah. Ya bukan yang berlebihan, semampumu," papar gurunda.
Menjadi pertanyaan besar jika wali santri mampu memberi uang jajan namun tidak melunasi SPP dan uang makan. Semoga ini tidak terjadi.
Tapi, bisa saja terjadi. Hal yang tak seharusnya terjadi ternyata terjadi. Ya, itu tadi. Menitipkan anak ke ma'had tapi urusan SPP dan uang makan anak tak peduli.
Ketika anak pulang liburan, wali santri merasa terbebani. Ada tambahan mulut yang harus dinafkahi. Bukankah seharusnya ini tidak boleh terjadi?
(Abu Zakariyya Thobroni, Kamis 16 Zulhijah 1446H/12 Juni 2025)
https://t.me/geraifathimah