Agus Mulyadi WhatsApp Channel

Agus Mulyadi

60.3K subscribers

Verified Channel

About Agus Mulyadi

Blogger, penulis, dan netizen pada umumnya. Suka menulis tentang apa saja, dari istri, politik, sampai Manchester United.

Similar Channels

Swipe to see more

Posts

Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
5/31/2025, 6:29:45 AM

Sukses ora kudu pas enom, nek ndilalah ancen jatahe suksesโ€™e kudu nunggu tuwo yo ra popo. Ora kabeh-kabeh kudu sesuai karep. Kadang luput yo wajar.

๐Ÿ‘ ๐Ÿ˜‚ โค๏ธ ๐Ÿ‡ต๐Ÿ‡ธ ๐Ÿ™ ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฑ ๐Ÿ˜ข ๐Ÿ˜ฎ ๐Ÿ˜ˆ ๐Ÿค 114
Video
Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
5/28/2025, 4:56:39 PM

Adam Malik, Tun Abdul Razak, Narciso Ramos, S. Rajaratnam, dan Thanat Khoman kompak tersenyum dari atas sana.

๐Ÿ˜‚ ๐Ÿ‘ โค๏ธ ๐Ÿ‡ต๐Ÿ‡ธ ๐Ÿคฃ ๐Ÿช€ ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฑ ๐Ÿ† ๐Ÿ’™ 61
Image
Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
5/21/2025, 9:49:47 PM

Manusia berkehendak, Tuhan yang menentukan, Onana yang menjalankan. Musim ini, MU full menerapkan filosofi total football, alias nek remuk yo sing total sisan. Rasah setengah-setengah. Gatheeeeeel, Sonteeeee.

๐Ÿ˜‚ ๐Ÿ‘ ๐Ÿ˜ข ๐Ÿคฃ โค๏ธ ๐Ÿ‡ต๐Ÿ‡ธ ๐Ÿคธ โค ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฑ ๐Ÿ‘ฟ 103
Image
Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
5/18/2025, 12:48:33 AM

Andai Mas Sar Kasman ini tahu, setelah tren Festivalist ditulis FSTVLST dan Netral ganti nama jadi NTRL, dulu salah satu pegawai di Electronic City Artos pernah menyebut MLTR sebagai Militer. โ€œMbok tulung setelke lagune Militer sing judule Paint My Love.โ€

๐Ÿ˜‚ ๐Ÿ‡ต๐Ÿ‡ธ ๐Ÿ‘ ๐Ÿคฃ ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฑ ๐Ÿ–• โค๏ธ ๐Ÿ˜† โค ๐Ÿ‡จ๐Ÿ‡ฉ 87
Image
Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
2/27/2025, 7:13:07 AM
Post image
โค๏ธ ๐Ÿ’™ 4
Image
Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
2/27/2025, 7:13:13 AM

Dalam sebuah perjalanan pulang dari Semarang ke Magelang, saya sungguh beruntung bisa duduk di kursi paling belakang bis Ramayana yang sudah tampak tua dan ringkih namun masih tetap bergas dan bertenaga itu. Duduk di kursi paling belakang artinya siap mendengarkan banyak cerita dari sang kernet dan para penumpang yang juga sama-sama duduk di belakang. Selain saya, ada tiga orang lain yang duduk di barisan kursi belakang. Di sebelah saya persis, seorang lelaki tua dengan potongan rambut yang sangat Broery Marantika. Di sebelahnya, seorang penjual gelang tolak bala yang belakangan memang sedang ngehits di kalangan anak-anak desa. Sedangkan di ujung, seorang lelaki pencari ikan petho yang naik dengan membawa sewadah penuh hasil tangkapannya. Si bapak dengan potongan Broery bercerita panjang lebar tentang perjuangan masa lalunya saat ia masih gagah. โ€œBiyen, golek duit gampang banget,โ€ ujarnya mantap. โ€œAku biyen usaha adol sepatu, aku kulakan sepatu neng Mustika, sak kodi mung selawe ewu, tak dol ijen, larise ora umum.โ€ Ceritanya begitu mengalir. Ia membanggakan masa mudanya yang hampir tak pernah menyusahkan keluarganya karena selalu bisa mencari uang sendiri untuk biaya sekolah dan biaya hidupnya. Si pencari petho tak kalah sangar, dengan bekal sewadah petho yang ia bawa, ia menceritakan bagaimana susahnya berjibaku bertarung melawan tantangan hidup yang semakin hari semakin tak masuk akal saja. โ€œGaweanku ki mung sobo kalen, koyo cah cilik, kekeceh,โ€ ujarnya sambil membetulkan topi bergambar logo Badan Pusat Statistik yang entah ia dapat dari mana. โ€œNggolek petho saiki akeh ora mestine.โ€ โ€œLha opo biyen ki mesti?โ€ sahut si lelaki berpotongan Broery. โ€œYo podo-podo ora mestine, Pak, tapi nek biyen hasile akeh,โ€ โ€œLha genah saiki awakmu oleh sak kranjang kebak, kok.โ€ โ€œBiyen iso ngasi rong kranjang, Pak.โ€ Saya kemudian menengok wadah yang penuh dengan ikan petho yang ditaruh di bawah kursi di samping depan. Ingatan saya kemudian terlempar ke masa lalu. Bagi saya, petho adalah ikan yang tak pernah asing. Dulu keluarga saya pernah menjadi pembuat dan pemasok peyek petho. Merek peyek buatan kami adalah Sami Remen. Peyek tersebut kami pasok di warung-warung sekitar rumah. Saya sering diajak bapak untuk berkeliling untuk mencari petho. Dari sungai satu ke sungai yang lain, dari persawahan yang satu ke persawahan yang lain. Menjaring, mengirig, menyeser, atau apalah itu istilahnya pernah menjadi aktivitas yang begitu saya sukai. Pulang sekolah, menunggu sore, kemudian siap โ€œberpetualangโ€ mencari ikan petho. Saya suka aktivitas tersebut, sebab selalu terbit kejutan dalam setiap seseran jaring yang diarahkan ke sungai. Terkadang, bukan hanya ikan petho yang ikut terjaring, tapi juga ikan wader atau ikan sepat. Tapi pernah juga ular lareangon. Si lelaki penjual gelanglah yang paling menarik minat saya. Bukan semata produk gelang yang ia jajakan, namun juga cerita tentang bagaimana ia membuat gelang tersebut. Gelang tolak bala atau gelang sambetan yang ia jual adalah gelang yang isinya berupa empon-empon seperti dlingo, bengle, padi, kayu angin, dll. Dulu orang-orang tua menggunakan empon-empon ini untuk melindungi bayi dari sawan atau bala. โ€œDino iki aku nggowo 400, saiki mung gari 75,โ€ katanya mantap sambil sumringah. โ€œWah, mantep nek ngono,โ€ balas Broery KW 2. โ€œIki aku nggawe dhewe, direwangi bojoku. Aku nglembur ngasi jam telu, bar kuwi turu dilit, esuk langsung mangkat ider.โ€ Saya selalu takjub mendengar cerita-cerita tentang perjuangan menyambung hidup seperti ini. Selalu timbul harapan-harapan kecil, kebahagiaan, dan rasa syukur dari setiap kisah-kisah tersebut. Saya kemudian merasa begitu kecil di hadapan lelaki-lelaki di samping saya ini. Perjuangan mereka nyata. Sedangkan perjuangan saya, terlalu kecil. Saya lelaki pemalas yang beruntung karena bisa mendapatkan uang dari menulis. Mendengar cerita tiga lelaki tentang perjuangan hidup mereka, saya merasa betapa Tuhan sangat baik kepada saya. Saya kemudian reflek membuka tas saya, saya intip isinya. Tampak di sana satu amplop kecil berwarna putih. Isinya honor saya mengisi kelas menulis. Nilainya lumayan. Padahal saya hanya ngomong tak sampai dua jam. Yang saya tahu, saya kerap dibayar terlalu tinggi untuk banyak pekerjaan-pekerjaan saya. Saya tak perlu berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan gelang atau sepatu, juga tak perlu berjibaku menyusur sungai mencari ikan. Saya hanya beruntung karena bisa menulis dan sering diminta oleh institusi atau lembaga untuk mengajari menulis, lalu dibayar dengan honor yang baik. โ€œUrip ki pancen isine mung syukur,โ€ kata kernet membuyarkan perenungan saya. โ€œAku ki wis sepuluh tahun kerjone mung nggandul terus, yo teko disyukuri wae,โ€ ujarnya. โ€œWah, mantep, teko ditlateni, dilit meneh ngungkuli tarzan!โ€ timpal Broery. Bis melaju dengan kecepatan yang menyenangkan. Angin yang menerpa tubuh saya melalui pintu belakang begitu menyejukkan saya yang sejak tadi kepanasan terbakar matahari Semarang. โ€œNah, kuwi, Le, nek pengin njabutke untu, neng kono kuwi, cepet tur gratisโ€ kata Kernet pada saya seraya menunjuk Markas Brimob Polda Jateng. Saya tertawa terbahak-bahak. Tak berselang lama, saya kemudian tertidur.

โค๏ธ ๐Ÿ˜‚ ๐Ÿ‘ ๐Ÿ˜ข ๐Ÿซก ๐Ÿซถ ๐Ÿณ๏ธโ€๐ŸŒˆ ๐Ÿ”ฅ ๐Ÿ˜„ ๐Ÿ˜ 85
Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
2/21/2025, 2:18:39 PM

Bahagiane wong lanang kuwi kadang ancen simpel, Bolo. Modal kopi sak cangkir karo Facebook Marketplace, wis wani prengas-prenges sedino.

๐Ÿ˜‚ ๐Ÿ‘ โค๏ธ ๐Ÿ‡ต๐Ÿ‡ธ ๐Ÿคฃ โ˜ช๏ธ โœ… ๐Ÿ‡ฏ๐Ÿ‡ด ๐Ÿณ๏ธโ€๐ŸŒˆ ๐Ÿข 73
Video
Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
2/1/2025, 4:12:54 PM

ebook โ€œMak Plasโ€ bisa dibeli seharga Rp 18 ribu. Pembelian bisa dilakukan melalui link berikut ini: โžก๏ธ bit.ly/makplas

โค๏ธ ๐Ÿ‘ ๐Ÿ‡ต๐Ÿ‡ธ โ˜ช๏ธ ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฑ ๐ŸŽ‰ ๐Ÿณ๏ธโ€๐ŸŒˆ ๐Ÿ’‹ ๐Ÿ’จ ๐Ÿ”ญ 36
Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
2/1/2025, 4:11:51 PM

*ebook terbaru Agus Mulyadi* Selama bertahun-tahun, Agus Mulyadi dikenal sebagai penulis yang sering membahas hal-hal sederhana dengan nuansa humor dan guyonan sehari-hari. Hal tersebut turut menjadi ciri khasnya sebagai seorang penulis. Nah, dalam ebook berjudul โ€œMak Plasโ€ ini, Agus Mulyadi justru menunjukkan sisi lain yang sangat "tidak Agus Mulyadi". Agus menulis tentang perenungan-perenungan hidup yang berhubungan dengan rasa iba yang selama ini memang erat dalam kehidupannya sebagai seorang anak miskin yang kemudian "naik derajat" menjadi tidak terlalu miskin, bahkan cenderung makmur. Melalui tulisan-tulisannya di ebook ini, Agus ingin mengajak para pembacanya untuk mencoba menghaluskan hati, memaknai rasa syukur, dan tentu saja, menumbuhkan sensitivitas hidup yang lebih peka.

๐Ÿ‘ โค๏ธ โ˜ช๏ธ ๐Ÿ‡ต๐Ÿ‡ธ ๐Ÿ˜‚ ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฑ ๐ŸŽ‰ ๐Ÿ๏ธ ๐Ÿณ๏ธโ€๐ŸŒˆ ๐Ÿ‘† 51
Agus Mulyadi
Agus Mulyadi
1/21/2025, 5:28:54 PM

*Kenangan yang sederhana* Agenda rutin saya nyaris setiap sore adalah membawa Raras anak saya berkeliling kampung naik sepeda, menjelajahi jalanan di pinggir sawah, lalu mencari spot yang sekiranya bisa dicibloni. Raras suka โ€œkekecehโ€ dan ia sangat senang tiap kali saya bawa ke sungai kecil atau jalur aliran air di samping pematang sawah yang airnya tampak jernih. Dulu saat masih kecil, saya jarang sekali diajak berwisata ke luar kota seperti teman-teman saya sebaya. Orang tua saya miskin, lumrah belaka jika urusan wisata menjadi tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Namun, saya akan selalu mengingat bapak saya yang sering membawa saya ke taman Panca Arga di tengah kompleks perumahan akademi militer di seberang kampung, dengan berjalan kaki. Bapak sering memunji atau menggendong saya di leher. Kalau lehernya sudah mulai lelah, ia akan menurunkan saya, lalu menggandeng tangan saya dengan jenis gandengan yang khas: ia sodorkan jari telunjuknya, lalu saya akan menggenggamnya dengan lima jari saya. Di taman Panca Arga itu, bapak selalu antusias menunjukkan kepada saya cara memutar moncong tank Amphibi PT-76 bekas buatan Soviet yang dipajang di sana. Bapak saya melakukannya nyaris setiap minggu, sebab itulah aktivitas โ€œberwisataโ€ yang murah dan masuk akal bagi kondisi keuangannya. Itu menjadi pengalaman yang sederhana dan monoton, tapi saya mengenangnya sebagai pengalaman masa kecil yang indah dan sentimentil. Mungkin perasaan sentimentil jenis itu yang sedang ingin saya bangun untuk Raras. Puji Tuhan, saya dan Kalis saat ini diberi keberuntungan lebih sehingga tidak menjadi orang tua yang melarat seperti bapak dan ibu saya dulu. Saya dan Kalis punya cukup uang untuk mengajak Raras pergi ke tempat-tempat wisata yang bagus, setidaknya yang masih berada di Jogja. Namun, sejujurnya, saya lebih ingin Raras mengenang saya sebagai bapak yang sering mengajaknya berkeliling naik sepeda, lalu mengampirkannya ke sungai-sungai kecil berair jernih, dan membiarkannya bermain air sampai separuh pakaiannya kuyup. Saya ingin Raras mengenang saya sebagai bapak yang selalu ingin bisa membahagiakan anaknya dengan cara yang sederhana, penuh kasih, serta dibalut oleh romantisme negeri agraris.

โค๏ธ ๐Ÿ‘ ๐Ÿ˜ข ๐Ÿ‡ต๐Ÿ‡ธ ๐Ÿ™ ๐Ÿฅน ๐Ÿซถ โ˜ช๏ธ ๐Ÿ˜ฎ ๐Ÿฅฐ 212
Link copied to clipboard!