
Agus Mulyadi
February 27, 2025 at 07:13 AM
Dalam sebuah perjalanan pulang dari Semarang ke Magelang, saya sungguh beruntung bisa duduk di kursi paling belakang bis Ramayana yang sudah tampak tua dan ringkih namun masih tetap bergas dan bertenaga itu.
Duduk di kursi paling belakang artinya siap mendengarkan banyak cerita dari sang kernet dan para penumpang yang juga sama-sama duduk di belakang.
Selain saya, ada tiga orang lain yang duduk di barisan kursi belakang. Di sebelah saya persis, seorang lelaki tua dengan potongan rambut yang sangat Broery Marantika. Di sebelahnya, seorang penjual gelang tolak bala yang belakangan memang sedang ngehits di kalangan anak-anak desa. Sedangkan di ujung, seorang lelaki pencari ikan petho yang naik dengan membawa sewadah penuh hasil tangkapannya.
Si bapak dengan potongan Broery bercerita panjang lebar tentang perjuangan masa lalunya saat ia masih gagah.
“Biyen, golek duit gampang banget,” ujarnya mantap. “Aku biyen usaha adol sepatu, aku kulakan sepatu neng Mustika, sak kodi mung selawe ewu, tak dol ijen, larise ora umum.”
Ceritanya begitu mengalir. Ia membanggakan masa mudanya yang hampir tak pernah menyusahkan keluarganya karena selalu bisa mencari uang sendiri untuk biaya sekolah dan biaya hidupnya.
Si pencari petho tak kalah sangar, dengan bekal sewadah petho yang ia bawa, ia menceritakan bagaimana susahnya berjibaku bertarung melawan tantangan hidup yang semakin hari semakin tak masuk akal saja.
“Gaweanku ki mung sobo kalen, koyo cah cilik, kekeceh,” ujarnya sambil membetulkan topi bergambar logo Badan Pusat Statistik yang entah ia dapat dari mana.
“Nggolek petho saiki akeh ora mestine.”
“Lha opo biyen ki mesti?” sahut si lelaki berpotongan Broery.
“Yo podo-podo ora mestine, Pak, tapi nek biyen hasile akeh,”
“Lha genah saiki awakmu oleh sak kranjang kebak, kok.”
“Biyen iso ngasi rong kranjang, Pak.”
Saya kemudian menengok wadah yang penuh dengan ikan petho yang ditaruh di bawah kursi di samping depan. Ingatan saya kemudian terlempar ke masa lalu. Bagi saya, petho adalah ikan yang tak pernah asing.
Dulu keluarga saya pernah menjadi pembuat dan pemasok peyek petho. Merek peyek buatan kami adalah Sami Remen. Peyek tersebut kami pasok di warung-warung sekitar rumah.
Saya sering diajak bapak untuk berkeliling untuk mencari petho. Dari sungai satu ke sungai yang lain, dari persawahan yang satu ke persawahan yang lain.
Menjaring, mengirig, menyeser, atau apalah itu istilahnya pernah menjadi aktivitas yang begitu saya sukai. Pulang sekolah, menunggu sore, kemudian siap “berpetualang” mencari ikan petho. Saya suka aktivitas tersebut, sebab selalu terbit kejutan dalam setiap seseran jaring yang diarahkan ke sungai.
Terkadang, bukan hanya ikan petho yang ikut terjaring, tapi juga ikan wader atau ikan sepat. Tapi pernah juga ular lareangon.
Si lelaki penjual gelanglah yang paling menarik minat saya. Bukan semata produk gelang yang ia jajakan, namun juga cerita tentang bagaimana ia membuat gelang tersebut.
Gelang tolak bala atau gelang sambetan yang ia jual adalah gelang yang isinya berupa empon-empon seperti dlingo, bengle, padi, kayu angin, dll. Dulu orang-orang tua menggunakan empon-empon ini untuk melindungi bayi dari sawan atau bala.
“Dino iki aku nggowo 400, saiki mung gari 75,” katanya mantap sambil sumringah.
“Wah, mantep nek ngono,” balas Broery KW 2.
“Iki aku nggawe dhewe, direwangi bojoku. Aku nglembur ngasi jam telu, bar kuwi turu dilit, esuk langsung mangkat ider.”
Saya selalu takjub mendengar cerita-cerita tentang perjuangan menyambung hidup seperti ini. Selalu timbul harapan-harapan kecil, kebahagiaan, dan rasa syukur dari setiap kisah-kisah tersebut.
Saya kemudian merasa begitu kecil di hadapan lelaki-lelaki di samping saya ini. Perjuangan mereka nyata. Sedangkan perjuangan saya, terlalu kecil. Saya lelaki pemalas yang beruntung karena bisa mendapatkan uang dari menulis.
Mendengar cerita tiga lelaki tentang perjuangan hidup mereka, saya merasa betapa Tuhan sangat baik kepada saya.
Saya kemudian reflek membuka tas saya, saya intip isinya. Tampak di sana satu amplop kecil berwarna putih. Isinya honor saya mengisi kelas menulis. Nilainya lumayan. Padahal saya hanya ngomong tak sampai dua jam. Yang saya tahu, saya kerap dibayar terlalu tinggi untuk banyak pekerjaan-pekerjaan saya.
Saya tak perlu berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan gelang atau sepatu, juga tak perlu berjibaku menyusur sungai mencari ikan. Saya hanya beruntung karena bisa menulis dan sering diminta oleh institusi atau lembaga untuk mengajari menulis, lalu dibayar dengan honor yang baik.
“Urip ki pancen isine mung syukur,” kata kernet membuyarkan perenungan saya. “Aku ki wis sepuluh tahun kerjone mung nggandul terus, yo teko disyukuri wae,” ujarnya.
“Wah, mantep, teko ditlateni, dilit meneh ngungkuli tarzan!” timpal Broery.
Bis melaju dengan kecepatan yang menyenangkan. Angin yang menerpa tubuh saya melalui pintu belakang begitu menyejukkan saya yang sejak tadi kepanasan terbakar matahari Semarang.
“Nah, kuwi, Le, nek pengin njabutke untu, neng kono kuwi, cepet tur gratis” kata Kernet pada saya seraya menunjuk Markas Brimob Polda Jateng.
Saya tertawa terbahak-bahak. Tak berselang lama, saya kemudian tertidur.
❤️
😂
👍
😢
🫡
🫶
🏳️🌈
🔥
😄
😍
85