
Catatan Santri
961 subscribers
About Catatan Santri
Saluran pribadi Abu Dzulkifli Jaka Ibnu Zulkifli Menulis apa saja kalau sempat, mudahan bermanfaat.... Domisili : Samarinda, Indonesia Blog assamarindy.wordpress.com
Similar Channels
Swipe to see more
Posts

*Apakah shalat ‘Ied menggantikan shalat Jumat dan cukup dengan shalat Zuhur di Rumah ?* Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baaz _Rahimahullahu_ *Pertanyaan:* Jika hari ‘Ied bertepatan dengan hari Jumat, apakah shalat ‘Ied mencukupi dari shalat Jumat? Dan jika tetap melaksanakan shalat Jumat, apakah shalat Jumat tersebut menjadi penghapus dosa sampai Jumat berikutnya? *Jawaban:* Jika ‘Ied bertepatan dengan hari Jumat, maka Nabi ﷺ telah menjelaskan bahwa siapa yang menunaikan shalat ‘Ied, maka shalat tersebut mencukupinya dari shalat Jumat, *dan ia cukup menunaikan shalat Zuhur di rumahnya.* Jika ia sudah shalat ‘Ied bersama kaum Muslimin, maka para imam masjid jami’ tetap wajib menegakkan shalat Jumat bagi mereka yang hadir. Bagi yang tidak hadir, dan telah shalat ‘Ied, maka ia cukup *shalat Zuhur di rumahnya, atau bersama sebagian saudaranya,* sebagaimana sabda Nabi ﷺ. Dan shalat Jumat dijadikan oleh Allah sebagai penghapus dosa bagi yang bersuci di rumahnya, lalu datang ke masjid, shalat semampunya, mendengarkan khutbah, diam, tidak memisahkan dua orang yang duduk berdampingan, tidak menyakiti siapapun. Maka Jumat tersebut menjadi penghapus dosa dari Jumat sebelumnya, dan tambahan tiga hari, karena setiap kebaikan dibalas sepuluh kali lipat. Namun ini bukan berarti bahwa shalat Jumat menghapus semua dosa, lalu ia menyepelekan shalat lainnya, dan menelantarkan hak-hak orang lain. Tidak! Ia tetap wajib menunaikan hak-hak yang menjadi kewajibannya, bertakwa kepada Allah, dan menjaga hak-hak baik dalam shalat maupun dalam perkara lainnya. Karena manusia pasti berada dalam tempatnya yang rawan kesalahan dan dosa, maka shalat Jumat menjadi penghapus dosa-dosa kecil yang mungkin terjadi. Adapun kewajiban yang harus ditunaikan, maka ia tetap wajib menunaikannya. Sebagian orang yang jahil mengatakan: “Cukuplah shalat Jumat bagiku,” lalu ia meninggalkan shalat lainnya. Ini adalah kemungkaran besar, kekafiran, dan kesesatan. Kita memohon perlindungan kepada Allah. Penghapus dosa ini sama seperti halnya taubat sebagai penghapus dosa, shalat lima waktu sebagai penghapus dosa, namun bukan berarti seseorang yang menunaikan shalat Jumat boleh menelantarkan shalat lainnya dengan alasan akan dihapuskan dosanya oleh Jumat berikutnya. Atau ia menelantarkan hak-hak lainnya, tidak mengajak kepada kebaikan, tidak mencegah kemungkaran, mendurhakai kedua orang tuanya, memutus silaturahim, bersaksi dusta, atau menuntut sesuatu yang batil, lalu ia menyangka bahwa semuanya akan dihapuskan oleh shalat Jumat. Tidak! Itu adalah kebodohan besar dan kesesatan yang jauh. Kita memohon perlindungan kepada Allah. Sumber : https://binbaz.org.sa/fatwas/2621/%D8%A7%D8%AC%D8%B2%D8%A7%D8%A1-%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%8A%D8%AF-%D8%B9%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%AC%D9%85%D8%B9%D8%A9-%D9%88%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%AA%D9%87%D8%A7-%D8%B8%D9%87%D8%B1%D8%A7#:~:text=%D8%A5%D8%B0%D8%A7%20%D9%88%D8%A7%D9%81%D9%82%20%D8%A7%D9%84%D8%B9%D9%8A%D8%AF%20%D9%8A%D9%88%D9%85%20%D8%A7%D9%84%D8%AC%D9%85%D8%B9%D8%A9,%D9%83%D9%85%D8%A7%20%D9%82%D8%A7%D9%84%20%D8%A7%D9%84%D9%86%D8%A8%D9%8A%20%2D%D8%B9%D9%84%D9%8A%D9%87%20%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9

*Jangan meremehkan saudaramu sesama Muslim* Jangan meremehkannya, • tidak karena bentuk fisiknya • tidak karena pakaiannya, • tidak karena ucapannya, • tidak karena Ahlaknya, • dan tidak pula karena hal lainnya. *Syaikh Ibnu Utsaimin, _Syarh Riyadhus Shalihin_ (260/6)*


📌 Dari Abdullah bin Abbas _radhiyallahu ‘anhuma_, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: *_"Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang"_* 📚 _Shahih al-Bukhari_ (6412) 📌 *Imam Ibnu Qudamah _rahimahullah_ berkata:* “Maka janganlah engkau sia-siakan permata umurmu yang berharga tanpa amal, dan jangan habiskan waktumu tanpa hasil. Berusahalah agar setiap hembusan nafasmu tidak lepas dari amal ketaatan atau mendekatkan diri kepada Allah, karena jika engkau memiliki permata dunia yang hilang darimu, engkau akan bersedih karenanya. Bahkan jika hilang satu dinar darimu, engkau akan merasa kecewa. Lalu, bagaimana mungkin engkau menyia-nyiakan waktumu dan tidak merasa sedih karena umurmu yang berlalu tanpa pahala ?” 📚 *_Al-Washiyyah al-Mubarakah_*

*Seorang Wanita Berkurban untuk Keluarganya* Syaikh Ibnu Baz _rahimahullah_ pernah ditanya: “Apakah kurban itu untuk seluruh keluarga atau untuk setiap individu yang baligh? Kapan waktu penyembelihannya? Apakah disyaratkan bagi yang berkurban untuk tidak memotong kuku dan rambut sebelum penyembelihan? Jika yang berkurban adalah seorang wanita yang sedang haid, bagaimana ketentuannya? Apa perbedaan antara kurban dan sedekah dalam masalah ini?” *Beliau menjawab:* “Kurban adalah sunnah muakkadah, disyariatkan bagi laki-laki maupun perempuan. Kurban mencukupi untuk laki-laki dan keluarganya, *serta perempuan dan keluarganya*, karena Nabi ﷺ setiap tahun berkurban dengan dua ekor kambing jantan yang bertanduk dan gemuk: satu untuk beliau dan keluarga beliau, dan yang kedua untuk umatnya yang bertauhid. Waktu penyembelihan adalah pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq setiap tahunnya. Sunnah bagi yang berkurban untuk memakan sebagian dagingnya, menghadiahkan kepada kerabat dan tetangga, dan bersedekah kepada fakir miskin. Tidak boleh bagi orang yang berniat berkurban untuk memotong rambut, kuku, atau kulitnya sedikit pun setelah masuk bulan Dzulhijjah hingga kurban disembelih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ: ‘Jika masuk bulan Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah dia memotong rambut, kuku, atau kulitnya sedikit pun hingga dia berkurban.’ (HR. Imam Muslim dari Ummu Salamah *radhiyallahu ‘anha*). Adapun orang yang diwakilkan untuk menyembelih kurban, atau pengurus wakaf yang di dalamnya ada kurban, maka dia tidak wajib menahan diri dari memotong rambut, kuku, atau kulit, karena dia bukanlah orang yang berkurban, tetapi hanyalah wakil dari yang berkurban. Demikian pula wakif (orang yang mewakafkan), dialah yang disebut mudhahi (orang yang berkurban), sedangkan pengurus wakaf hanya sebagai pelaksana, bukan orang yang berkurban. Wallahu waliyyut taufiq.” (Selesai dari *Majmu’ Fatawa Ibnu Baz* 18/38)

Syaikh Ibnu Utsaimin _rahimahullah_ berkata: “Duhai, Seandainya jika orang yang akan berhaji mempelajari hukum-hukum haji sebelum dia berhaji, agar dia beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh pengetahuan dan merealisasikan keteladanan kepada Nabi ﷺ. Jika seseorang ingin bepergian ke suatu negeri, tentu dia akan bertanya tentang jalannya hingga dia sampai ke tujuan dengan panduan. Maka, bagaimana dengan orang yang ingin menempuh jalan yang mengantarkan kepada Allah Ta’ala dan surga-Nya, bukankah dia lebih layak untuk bertanya dan mempelajarinya terlebih dahulu sebelum menempuhnya, agar sampai ke tujuan yang diinginkan?” (*_Akhtho' Yartakibuha Ba‘dul Hujjaj_*, hlm. 25)
