
Christianity Today dalam Bahasa Indonesia
62 subscribers
About Christianity Today dalam Bahasa Indonesia
Kanal WhatsApp resmi Christianity Today dalam Bahasa Indonesia. Bijaksana. Kristen. Jurnalisme. Didirikan oleh Billy Graham. Baca artikel kami: https://www.christianitytoday.com/ct/languages/indonesian/
Similar Channels
Swipe to see more
Posts

“Dalam pengalaman saya, banyak orang Kristen seumuran saya yang diajarkan bahwa agama sudah hampir tidak ada dalam kehidupan Gen Z. Tampaknya ada pola pikir bahwa sebelumnya orang-orang pernah menjadi religius tetapi sekarang tidak lagi. Namun kenyataannya tidaklah demikian,” kata NextGen Accelerator Fellow di Christianity Today, Jenna Mindel. Menurut Mindel, di atas kertas, Gen Z menjadi semakin tidak religius karena banyak yang mengidentifikasi diri sebagai “tidak terikat apa pun” dalam survei tentang afiliasi agama. Dengan setengah dari Gen Z mengidentifikasi diri sebagai tidak beragama, tampaknya wajar jika diasumsikan bahwa mereka tidak tertarik pada hal-hal spiritual. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa sebenarnya pencarian spiritual Gen Z hanya memakai istilah yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Sementara itu, profesor filsafat di Talbot School of Theology, Timothy Pickavance, lebih melihat pertumbuhan dalam kategori “tidak terikat apa pun” sebagai indikator keterbukaan Generasi Z terhadap spiritualitas, dan bukannya sikap ateis yang sinis. “Data ini menunjukkan kepekaan Gen Z terhadap hal-hal spiritual dan kerinduan mereka akan kehidupan rohani yang mendalam.” Baca selengkapnya artikel CT tentang bagaimana gereja dapat menjadi komunitas iman yang penuh kasih dan berwujud dalam kehidupan nyata bagi kaum muda: https://id.christianitytoday.com/2025/05/gen-z-beralih-daring-bimbingan-spiritual-id/

Sebuah studi dari Barna tahun 2023 mengungkapkan bahwa “hampir satu dari lima pendeta senior Protestan di AS (18%)[mengatakan] bahwa mereka pernah mempertimbangkan untuk melukai diri sendiri atau bunuh diri dalam setahun terakhir. Beberapa tahun lalu, pemimpin eksekutif dan pendeta di Perimeter Church, Atlanta, Chip Sweney, mendapati dirinya dalam suatu tempat yang tidak pernah ia duga—diliputi oleh kecemasan, terkubur dalam depresi, dan hancur diam-diam karena semua beban itu. “Sebagai seorang pendeta, saya merasakan tekanan terus-menerus untuk memimpin dengan baik, berkhotbah dengan jelas, membuat keputusan yang tepat, dan mempedulikan pada orang lain, sambil tetap tampil kuat dan mantap secara rohani.” Namun di bawah permukaan, saya sedang hancur, kata Sweney, yang telah menjadi pendeta di gerejanya selama hampir tiga dekade. “Untuk waktu yang lama, saya yakin saya sendirian dalam hal ini. Namun kini saya tahu bahwa saya tidak sendirian.” Baca selengkapnya artikel CT tentang bagaimana pendeta yang tengah bergumul dengan depresi dan kecemasan dapat menemukan keberanian untuk mencari penyembuhan dan dukungan: https://id.christianitytoday.com/2025/05/pendeta-depresi-cemas-menderita-sendirian-komunitas-id/

Sebagai pendeta, kita mungkin sering memberikan nasihat di mimbar untuk tidak berbuat dosa dan membuat pilihan-pilihan yang buruk, dengan tujuan menolong para pendengar untuk memupuk hikmat. Namun terkadang kita lupa bahwa mereka yang ada di bangku jemaat sebenarnya sudah mengambil keputusan yang buruk dan mereka merasakan penderitaan sebagai akibatnya. Bagaimana para pengkhotbah dapat menantang sekaligus menghibur para pendengarnya pada saat yang sama? Baca selengkapnya wawancara CT dengan penulis buku _Preaching to People in Pain_ , Matthew D. Kim, tentang pentingnya para pengkhotbah memasukkan pembahasan mengenai penderitaan ketika berkhotbah di mimbar. https://id.christianitytoday.com/2024/08/khotbah-kesengsaraan-penderitaan-karya-tuhan-mimbar-id/

Alkitab bukanlah buku petunjuk yang sangat rinci—Anda tidak bisa begitu saja membuka indeks, mencari “sekolah umum” atau “vaksinasi” dan mencari tahu dengan pasti apa yang telah Tuhan tetapkan pada setiap isu tertentu. Jika itu yang ingin kita temukan, secara tidak sadar kita memandang pengasuhan anak sebagai serangkaian tugas yang terinstrumentalisasi dan melupakan visi yang lebih besar, yakni panggilan sejati untuk tujuan yang jauh lebih besar daripada daftar tugas apa pun. Akan tetapi, penulis buku _Mothers, Children, and the Body Politic_ , Nadya Williams menjelaskan bahwa Alkitab menawarkan visi seperti itu: Orang tua dipanggil untuk menjadi penatalayan anak-anak kita. “Baik kita yang melahirkan anak-anak ini sendiri atau mengadopsi atau mengasuh mereka, kita menerima mereka sebagai pemberian hanya untuk waktu yang singkat. Selama waktu ini, kita hanyalah penatalayan yang ditunjuk oleh Tuhan untuk memegang amanah harta yang telah diberikan kepada kita: Penyandang gambar Allah dengan jiwa yang kekal!” Baca selengkapnya artikel CT tentang panggilan kita sebagai orang tua Kristen, yang mengajar anak-anak kita melalui perkataan dan teladan agar mereka menjadi orang percaya yang bijaksana: https://id.christianitytoday.com/2024/10/fungsi-orang-tua-penatalayan-anak-pengasuhan-id/


*Masalah dengan ayah bukanlah hal baru* . Masalah ini sudah ada sejak awal. Kitab Kejadian saja merupakan katalog yang luas tentang dosa-dosa para ayah, baik itu dosa Adam, Nuh, dan Lot, maupun nenek moyang orang Israel. Namun, daripada berfokus pada ayah secara umum, lektor kepala bidang teologi di Abilene Christian University, Brad East mengajak kita membicarakan ayah-ayah tertentu. “Tidak ada satu pun di antara kita yang memiliki ayah yang abstrak. Para ayah yang ada di sekitar kita adalah ayah yang berwujud tiga dimensi. Benar, beberapa di antara mereka bersalah atas banyak kejahatan paternal yang sering kita alami. Namun tidak semuanya. Ketika saya memikirkan ayah saya, tiga kebajikan langsung terlintas dalam benak saya.” East, yang juga adalah seorang ayah dan penulis buku, berbagi tentang kebajikan ayahnya. “Yang pertama berkaitan dengan berkat. Ayah adalah agen berkat. Anak-anak akan layu tanpanya; dengan berkat dari ayah, anak-anak menjelajah dunia seakan-akan dilindungi oleh perisai yang tak dapat ditembus. Yang kedua adalah keinginan untuk memutus siklus yang merusak dan tekad untuk melindungi siklus yang memberi kehidupan. Yang ketiga dan yang terakhir, seorang ayah adalah seorang guru.” Baca artikel CT tentang bagaimana bagaimana kebajikan seorang ayah memiliki makna yang sangat besar bagi anak-anaknya. https://id.christianitytoday.com/2025/05/hari-ayah-kebapaan-setia-berkat-id/

Orang tua cenderung mengalami tingkat depresi lebih tinggi dibandingkan orang dewasa tanpa anak, sebagian karena tekanan besar untuk menjadi orang tua yang “sukses.” Buku _Perfect Madness_ dan artikel _The Child Trap_ mengungkap budaya pengasuhan yang dipenuhi kecemasan dan obsesi terhadap kesuksesan anak. Selain itu, meski laporan eksodus mereka dari gereja Injili di AS bisa jadi dibesar-besarkan, data dari Barna dan LifeWay menunjukkan tren yang jelas: mayoritas remaja yang dulu rajin ke gereja berhenti terlibat dalam kehidupan rohani ketika memasuki usia dewasa muda. Banyak orang tua Kristen pun terjebak dalam tekanan ini, merasa cemas apakah iman dan nilai-nilai mereka berhasil diturunkan, dan apakah anak-anak mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang setia kepada Tuhan. Baca selengkapnya artikel CT tentang bagaimana kita dapat mematahkan mitos orang tua Kristen yang sempurna, serta tidak jatuh dalam pandangan yang salah tentang determinisme spiritual dan pembentukan rohani dalam mengasuh anak. https://id.christianitytoday.com/2024/11/mitos-orang-tua-sempurna-teladan-sukses-id/


Sebagai pemimpin jemaat, kadang kita terhanyut melihat pelayanan sebagai hal yang mendefinisikan identitas kita, menetapkan nilai kita, sarana untuk mencapai tujuan kita sendiri, atau sekedar menyampaikan pengetahuan kita tentang Tuhan kepada orang lain. Padahal, menurut gembala jemaat di Bright City Church, Durham, Carolina Utara, Ike Miller, pelayanan seharusnya dipahami sebagai “pengulangan kehidupan Kristus sendiri di dalam kita…sebagai pendeta, kita akan paling merasa tenang, paling damai, dan paling puas ketika kita melakukan pelayanan dengan kesadaran penuh akan kehadiran-Nya. Dengan cara demikian, pelayanan menjadi konteks di mana kita mengambil bagian dalam hubungan Yesus sendiri dengan Bapa.” Miller, yang juga adalah penulis buku "Seeing by the Light," mengatakan bahwa ketika pelayanan adalah pengulangan dari hubungan Kristus sendiri dengan Bapa di dalam kita, kesetiaan perjanjian-Nya itulah yang mendefinisikan identitas kita, bukan penampilan kita di mimbar. Baca artikel CT tentang bagaimana kita dapat menemukan kedamaian sejati dalam pelayanan dengan mengosongkan diri dan memberi ruang bagi Tuhan untuk menjadi segala-galanya: https://id.christianitytoday.com/2021/08/pelayanan-performa-partisipasi-kristus-hadirat-ilahi-id/

Sejak tahun 1980-an, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa pelecehan seksual terhadap anak berdampak sangat merusak—menghancurkan harga diri dan rasa kemandirian para penyintas. Tanpa pemulihan yang mendalam atas rasa percaya diri dan harga diri, tindakan mengampuni sering kali tidak muncul dari kehendak bebas, tetapi menjadi kelanjutan dari pola pelecehan itu sendiri. Lalu, bagaimana seharusnya gereja bersikap dan bertindak dalam membela para korban? Simak wawancara kami bersama Pdt. Obertina Johanis dari Pasundan-Durebang Women’s Crisis Center GKP Bandung, yang membahas akar budaya pemaksaan pengampunan serta pentingnya mengajarkan seksualitas yang sehat di mimbar. Baca juga selengkapnya artikel CT di laman ini: https://id.christianitytoday.com/2025/03/bahaya-memaksakan-pengampunan-korban-pelecehan-id/

*Doa-doa kita adalah respons terhadap Tuhan yang pengasih, yang terlebih dulu mencari kita.* Berdoa dengan kata-kata dari Alkitab menyingkap kebenaran teologis yang memerdekakan. Dalam bukunya _Psalms: The Prayer Book of the Bible_ , Bonhoeffer menulis bahwa kita belajar berbicara kepada Allah karena Allah telah lebih dahulu dan terus berbicara kepada kita… Perkataan Allah di dalam Yesus Kristus menjumpai kita di dalam Kitab Suci. Jika kita ingin berdoa dengan keyakinan dan sukacita, maka kata-kata dari Kitab Suci harus menjadi dasar yang kukuh dari doa kita. Bercermin dari tulisan Bonhoeffer, “berdoa dengan kata-kata yang dipinjam dari Alkitab adalah salah satu cara Allah membangun kembali kehidupan doa saya di atas dasar yang lebih kukuh,” kata profesor teologi dan formasi Kristen di Western Theological Seminary di Holland, Michigan, Kristen Deede Johnson. “Ini mengingatkan saya bahwa doa adalah menanggapi Tuhan, bukan menciptakan hubungan saya dengan Tuhan.” Baca lebih dalam artikel CT tentang bagaimana kita dapat membangun kehidupan doa di atas dasar yang kukuh, yakni Kristus itu sendiri, dan bukan berdasarkan harapan atau pengalaman pribadi kita. https://id.christianitytoday.com/2022/03/teologi-doa-relasi-hilang-hadirat-tuhan-id/

“Jika saya tidak menjawab suara tersebut, yang berbisik untuk kedua kalinya agar saya membuka dompet saya, mungkin Tuhan akan menemukan cara lain untuk membantu Shatina. Atau mungkin respons Tuhan terhadap ibu tunggal berusia 19 tahun yang hampir tidak bisa berdoa ini, sebenarnya secara misterius bergantung pada kesediaan saya untuk menanggapi dorongan Roh Kudus.” Baca artikel CT tentang bagaimana kita belajar mendengarkan bisikan Roh Kudus dan bagaimana doa dapat mengubah keadaan kita. https://id.christianitytoday.com/2022/03/tuhan-mendengar-doa-tidak-percaya-mengubah-keadaan-id/