Kontrak Rasa 💕 (end 🦋)
Kontrak Rasa 💕 (end 🦋)
February 8, 2025 at 06:28 AM
🥀 *** Trauma Karang ? Hari itu lorong kelas nampak ramai seperti biasanya, beberapa murid bercekrama dengan teman kelasnya, tak terkecuali Cesia, Naya, dan Lala, mereka beberapa kali tertawa karena wajah Lala yang terlihat kesal. "Guys, gw ketoilet dulu ya, okeyy?" Izin Cesia lalu langsung beranjak untuk menuju ke toilet. Cesia berjalan seperti biasanya, tersenyum menyapa orang-orang yang memang kenal dengan dirinya. Di tengah keramaian itu, matanya menangkap sosok Karang yang tampak termenung, tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda dari sikapnya. Cesia melangkahkan kakinya ke arah Karang. Beberapa saat, dia memerhatikan Karang, mencoba mencari tahu apa yang mengganggu pikirannya, sebelum akhirnya menyapanya. "Kamu kenapa?" tanya Cesia sambil duduk di samping Karang, matanya menatapnya dengan lembut. Karang menghela nafas pelan sebelum akhirnya membuka suara, "Aku gak apa-apa," ucapnya, memejamkan matanya seolah mencoba menenangkan diri. "Gak mungkin. Kenapa? Kamu ada masalah apa, baby boy?" tanya Cesia semakin intens, matanya tajam menatap Karang, mencoba mencari tahu lebih dalam. Karang melirik ke arah Cesia, menatapnya dengan dalam seolah memikirkan kata-kata yang tepat untuk dijelaskan. Lalu, dengan suara yang pelan dan hampir berbisik, ia berkata, "Kamu pernah nggak sih merasa nggak pantas buat bahagia?" Cesia sedikit terkejut, namun ia tetap tenang. "Jujur ya, beberapa kali sih iya, tapi ya namanya juga hidup, jalanin aja dulu. Emang kenapa kamu ngerasain itu?" jawab Cesia sambil menatap Karang, berusaha memahami perasaan yang sedang dia alami. Karang terdiam beberapa saat, lalu kembali membuka mulutnya. "Orang tua gue, Ces..." Karang berkata dengan suara yang parau, seperti ada sesuatu yang tertahan di dalam hatinya. "Mereka dateng lagi ke gue setelah sekian lama, gue bener-bener nggak bisa ngerasain sosok orang tua yang bener-bener ada buat gue." Cesia mendengarnya dengan penuh perhatian. Ia merasa bingung, tapi tanpa ragu, ia menepuk pundak Karang dengan pelan. "Ya aku tahu kok apa yang kamu rasain, tapi jangan sedih-sedih dong. Kan ada aku yang sayang sama kamu. It's okay, semua orang punya takdir yang berbeda. Tuhan bakalan gantiin kebahagiaan kamu yang lebih baik kok." Karang yang mendengar itu langsung memandang Cesia dengan dalam, seperti mencari sesuatu yang bisa dia percaya. Perlahan, dia merasakan kehangatan dari kata-kata Cesia, namun perasaan cemas dan bingung tetap menggerogoti hatinya. Dia ingin percaya, tapi rasanya sulit. "Semangat terus ya buat hidup , kamu belum nyobain indomie di cocol ama sambelnya, dan jangan pulang sebelum dijemput," lanjut Cesia sambil menatap Karang, tersenyum lebar dengan penuh harapan. Karang yang mendengar itu langsung memandang Cesia dengan dalam, sejenak terdiam, lalu terdengar suara tawa kecil dari bibirnya. Sebuah tawa yang agak berat, tapi cukup untuk menunjukkan kalau dia sedikit lebih ringan. "Indomie sambel, ya?" Karang berkata sambil terkekeh, matanya masih menatap Cesia dengan rasa yang campur aduk. "Lo memang selalu bisa bikin gue ketawa." Cesia tersenyum lebih lebar lagi, merasa sedikit lega mendengar tawa Karang yang, meskipun kecil, cukup berarti. Tanpa sadar, Karang meraih pelukan Cesia, memeluknya dengan erat, seolah berterima kasih atas kehadirannya yang bisa memberikan sedikit rasa aman dalam hidupnya yang terasa begitu rapuh. Cesia membalas pelukan itu, merasakan betapa berat beban yang Karang bawa selama ini. --- Setelah itu suasana kembali hening beberapa detik. Karang memejamkan matanya lagi, mencoba menenangkan pikirannya. Di balik sifat terlihat yang tegas dan cuek, ada kekosongan yang mendalam. Kepergian orang tuanya, yang selalu datang dengan alasan dan janji palsu, meninggalkan bekas luka yang tak mudah hilang. Sesekali, angin yang berhembus pelan membuat suasana sekitar terasa semakin hening, seakan-akan hanya ada mereka berdua di dunia ini. Cesia, yang merasakan perubahan itu, berusaha menyentuh bahunya dengan lembut. "Maksudku... aku paham kalau itu bukan hal yang mudah buat kamu. Tapi kamu nggak sendiri, Karang. Kita kan pacaran." Karang membuka matanya perlahan dan menatap Cesia, wajahnya sedikit lebih lembut daripada tadi. "Tapi... terkadang gue mikir, apakah gue pantas buat ngerasain yang namanya kebahagiaan? Karena kadang-kadang, gue nggak pernah merasa dihargain. Gak ada orang yang ngerasa gue ada." Cesia menarik napas, mencoba memahami rasa frustasi Karang. "Lo pantas bahagia, Karang. Semua orang, termasuk kamu, berhak ngerasain kebahagiaan, meskipun itu kadang nggak datang mudah. Hidup itu kan bukan cuma tentang keluarga, tapi juga tentang orang-orang yang sayang sama kita... yang ngertiin kita." Karang menundukkan kepala, merasa sedikit lebih ringan dengan kata-kata Cesia. Meskipun dia masih terasa rapuh, ada bagian dari dirinya yang mulai menerima kenyataan bahwa kebahagiaan itu bisa datang dari tempat lain selain orang tuanya. Perlahan, dia meraih tangan Cesia, seolah mencari sesuatu yang bisa dia genggam, yang bisa dia percaya. "Terima kasih, Ces," Karang berbisik, suaranya lebih tenang. "Lo nggak tahu seberapa pentingnya kata-kata lo buat gue." Cesia cuma tersenyum tipis. "Selama aku ada di sini, kamu nggak sendirian." Mereka duduk dalam diam, merasakan kehangatan di antara mereka, meskipun tak ada kata-kata lagi. Karang mulai merasa, untuk pertama kalinya, bahwa ada orang yang benar-benar peduli padanya. Suasana sekeliling mereka semakin terdengar samar, seakan dunia menjadi lebih sunyi, lebih tenang, hanya ada mereka berdua dalam momen itu. Setelah beberapa menit, Karang sedikit mengangkat wajahnya, menatap Cesia dengan tatapan yang lebih ringan. "Gue nggak mau nyakitin orang lagi, Ces. Gue nggak mau ngebiarin diri gue terperangkap dalam rasa sakit ini terus." Cesia tersenyum lebar, memberikan tepukan ringan di punggung Karang. "Jangan khawatir, Karang. Kamu nggak sendirian, ingat itu. Aku bakalan berusaha bikin kamu ngerasa nggak sedirian kok, gak janji juga hehe." Tanpa sadar, Karang meraih pelukan Cesia, memeluknya dengan erat, seolah berterima kasih atas kehadirannya yang bisa memberikan sedikit rasa aman dalam hidupnya yang terasa begitu rapuh. Cesia membalas pelukan itu, merasakan betapa berat beban yang Karang bawa selama ini, dan berjanji dalam hatinya untuk selalu ada di sisi Karang, apapun yang terjadi.
❤️ 3

Comments