SAJAK Aksara25
SAJAK Aksara25
February 1, 2025 at 11:35 AM
*Pramita, Wanita Gendut yang Bahagia* Pramita, wanita bertubuh gendut yang selalu terlihat bahagia. Kenapa aku menyebutnya gendut, bukannya berisi? Apakah aku tak takut dibilang body shaming? Kurasa tidak. Ia sendiri yang sering bercanda tentang tubuhnya. Ia menyebut dirinya sangat gendut, tetapi tak pernah berniat mengecilkannya. Baginya, ia sudah cukup bahagia. Lagipula, pacarnya yang setia selalu ada di sisinya. Selama pria yang ia cintai tak pernah mempermasalahkan tubuhnya, apa pedulinya dengan omongan orang lain? Pramita memang bahagia. Setidaknya, itulah yang tampak dari luar. Pagi adalah waktu tersibuknya. Sebagai manajer utama restoran cepat saji, ia begitu tegas saat bekerja. Namun, saat berbincang, ia berubah menjadi sosok yang konyol. Aku pernah sekali membuat masakan yang gosong. Ia memarahiku habis-habisan dengan sumpah serapahnya. Namun siapa sangka, akhirnya ia malah membayar masakan itu sendiri tanpa memintaku menggantinya. Marahnya memang menakutkan, tapi hatinya tak lebih dari seorang bidadari. Tapi, siapa sangka di balik tawanya, ada luka yang ia sembunyikan begitu rapat? Suatu malam, aku pernah tanpa sengaja datang ke rumahnya. Apronku terbawa olehnya, dan aku membutuhkannya untuk shift pagi. Namun, sesampainya di depan pagar rumahnya, suara teriakan membuncah dari dalam. Kedua orang tuanya berdebat—tentang dia dan pacarnya yang tak kunjung menikah, tentang berat badannya yang tak juga turun, dan tentang pekerjaannya yang "hanya" seorang manajer di restoran cepat saji. Aku berdiri di depan pagar, menunggu amarah itu reda. Namun, semakin lama aku di sana, semakin aku mengerti betapa perih hari-harinya. Aku memutuskan untuk pulang dan meminjam apron teman yang lain. Aku menyimpan semua yang kudengar malam itu dalam diam. Hingga siang harinya, saat ia masuk kerja, kulihat ia masih sama. Senyum khasnya, canda tawanya, tak ada yang berubah. Seolah tak ada yang terjadi semalam. "Eh, ini apronmu kebawa." "ET dah, pantesan gua cariin gak ada!" "Eeeeehhh, mulai nggak sopan lu ya?" "Hehehe, ah elah, Bu Manajer cantik, masa gitu aja marah?" Ia tertawa lepas, bercanda seperti biasa. Tapi... kemana lukanya? Kemana tangis yang semalam kudengar di luar pagar? Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh, masih dengan tawa yang menggema di ruangan itu. Seakan tak ada yang terjadi. Seakan semalam aku tak mendengar tangisnya. Aku tak tahu apakah ia sekadar pandai menyembunyikan luka, atau memang sudah terbiasa berpura-pura. Hari-hari berlalu seperti biasa. Pramita tetap menjadi manajer yang tegas dan konyol. Namun, setelah malam itu, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa berbeda bagiku. Atau mungkin aku yang kini melihatnya dengan cara yang berbeda? Pernah suatu malam, aku pulang lebih larut dari biasanya. Restoran sudah hampir tutup, hanya tinggal beberapa orang staf yang sibuk membereskan dapur. Aku melihatnya duduk di meja paling pojok, di sudut restoran, menatap layar ponselnya. Raut wajahnya tak seperti biasa. Ia tak sedang tertawa. Tak sedang bercanda. Wajahnya kosong. Mata bulatnya yang biasanya berbinar kini terlihat redup. Aku ragu sejenak, lalu akhirnya mendekat. "Bu, nggak pulang?" tanyaku, berusaha terdengar sopan. Ia mendongak, menatapku sejenak, lalu tersenyum kecil. Tapi itu bukan senyum yang sama seperti siang tadi. "Sebentar lagi," jawabnya singkat. Aku melirik ponselnya. Di layar terlihat pesan dari seseorang—aku tak tahu siapa—dengan kalimat pendek: "Aku capek." Hanya itu. Tapi aku bisa menebak isi sisanya. Aku tak ingin bertanya lebih jauh, tak ingin memaksanya bicara jika ia tak mau. Jadi aku hanya duduk di sebelahnya, menatap layar ponselnya yang kini ia matikan, lalu menghembuskan napas panjang. "Gua lapar," kataku asal, mencoba mencairkan suasana. "Mau makan sesuatu?" Ia menoleh, menatapku beberapa detik, lalu menghela napas pelan. "Lo mentraktir?" "Tentu saja nggak." Ia terkekeh kecil. Bukan tawa lepas seperti biasa, tapi cukup membuatku lega. "Ya udah, traktiran gua aja. Lo mau makan apa?" tanyanya. Aku menatapnya, lalu menggeleng. "Apa aja, yang penting lo juga makan." Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum lagi—senyum yang kali ini terasa lebih nyata. "Baiklah, tapi gua pesenin lo makanan yang paling lo benci." Aku mendengus. "Terserah." Malam itu, kami makan bersama. Bukan untuk merayakan sesuatu, bukan untuk menghibur siapa pun. Hanya sekadar duduk berdua, berbagi cerita kecil, seakan tak ada beban di dunia ini. Setidaknya, untuk malam itu saja.
❤️ 1

Comments