Pak Cah Channel
February 5, 2025 at 01:11 AM
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
8-K UNTUK MENJAGA KEHARMONISAN KELUARGA (Bagian Keenam)
Oleh : Cahyadi Takariawan
Paling tidak, ada delapan sikap positif yang harus dimiliki oleh setiap pasangan suami istri, agar bisa mendapatkan kehidupan berumah tangga yang langgeng, harmonis, bahagia dan penuh cinta.
Sikap positif tersebut disimpulkan dengan rumus 8 K, sebagai berikut:
K-6 adalah Komunikasi
John Gray, Ph.D --penulis buku Mars and Venus Together Forever, menceritakan, pada beberapa seminar couple, ia bertanya kepada peserta, “Siapa yang memiliki orang tua yang masih bersatu dan tidak bercerai?”
Separuh peserta mengangkat tangannya.
Kepada kelompok tersebut, ia bertanya lagi, “Siapa yang menganggap dirinya memiliki kecakapan hubungan dan komunikasi yang lebih baik dibandingkan orangtuanya?”
Hampir setiap orang mengangkat tangannya.
Respon tersebut kemudian memunculkan pertanyaan, “Jika memiliki kecakapan yang lebih baik, mengapa saat ini pasangan suami istri lebih banyak memiliki persoalan dalam hubungan? Mengapa begitu banyak terjadi perceraian?”
Rupanya, komunikasi saja tidak cukup untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Ada banyak sisi yang harus dipenuhi baik dari aspek spiritual, emosional, intelektual, material maupun manajerial, untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan.
Komunikasi adalah hal teknis yang penting untuk dimiliki ketrampilannya oleh suami dan istri. Tidak akan ada keharmonisan dalam kehidupan pernikahan apabila tidak ada komunikasi yang sehat dan nyaman di antara suami dan istri.
Kegagalan komunikasi telah menjadi pemicu munculnya berbagai persoalan lainnya dalam rumah tangga. Untuk itu, suami dan istri harus mengerti seni berkomunikasi yang khas dan nyaman bagi mereka berdua.
David Olson (2000) menemukan, bahwa komunikasi dalam keluarga cenderung bercorak linear. Artinya, makin baik komunikasi, makin kuat pula ketahanan dan kebahagiaan keluarga. Nah, meski tidak mudah, namun harus terus mengupayakan perbaikan. Agar komunikasi bisa terus nyambung, melegakan, nyaman namun juga bisa menghasilkan keputusan berkualitas.
Ketika membahas urgensi komunikasi dalam kehidupan suami istri, harus ada keterangan tambahan yang menyertai. Tidak cukup kita mengatakan, “Suami istri harus memiliki kebiasaan komunikasi setiap hari”, karena komunikasi tidak selalu berdampak menguatkan hubungan.
Maka yang harus menjadi nasehat adalah, “Suami istri harus memiliki kebiasaan komunikasi positif setiap hari”. Jadi, bukan sekedar komunikasi, namun harus komunikasi yang positif.
Al Qur'an mengarahkan agar pasangan suami istri saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan positif. Pada perintah “Wa 'asyiruhunna bil ma' ruf” dalam surat An Nisa’ ayat ke 19, kata bil ma'ruf dalam ayat ini bermakna baik, patut, dan menyenangkan. Dengan demikian, perintah mu’asyarah tidaklah sembarang mu’asyarah, namun harus bil ma’ruf. Sebuah interaksi dan komunikasi yang positif antara suami dan istri.
Dari mana kita melihat nilai positif dari komunikasi? Sebuah komunikasi antara suami dan istri dikatakan positif, paling tidak bisa dilihat dari empat sisi berikut.
Pertama, Positif dari sisi Tujuan
Ada suami yang berbicara dengan ketus kepada istri, dengan tujuan untuk mempermalukan sang istri. Ia sengaja melakukan itu supaya sang istri malu.
Ada istri berbicara dengan kasar kepada suami, dengan tujuan untuk menjatuhkan kehormatan suami. Ia sengaja melakukan itu supaya sang suami wibawanya jatuh. Ini contoh tujuan komunikasi yang dari segi tujuan jelas negatif.
Komunikasi pasangan suami istri disebut positif apabila memiliki tujuan untuk menghadirkan kebaikan, kebahagiaan dan kenyamanan hubungan bersama pasangan, juga bertujuan mewujudkan keharmonisan keluarga. Inilah komunikasi yang positif dari sisi tujuan.
Suami dan istri berkomunikasi untuk membuat mereka semakin dekat dan semakin taat kepada Allah. Suami dan istri berkomunikasi untuk membuat mereka semakin salih dan salihah.
Bukan komunikasi yang bertujuan untuk menjatuhkan, menjelekkan, menyerang atau mengalahkan pasangan. Bukan komunikasi yang bertujuan untuk pelanggaran terhadap aturan. Yang seperti ini menjadi komunikasi negatif dari segi tujuan.
Kedua, Positif dari Sisi Konten
Ada suami berbicara dengan istri, mengkondisikan dan meminta sang istri untuk melakukan kejahatan. Ada istri berbicara dengan suami, meminta sang suami untuk melakukan penipuan.
Contoh kejahatan atau penipuan itu misalnya suami dan istri berdiskusi untuk merancang tindakan yang melanggar hukum agama ataupun hukum negara, seperti korupsi, menyuap, mengambil yang bukan haknya, menggugurkan kandungan dan lain sebagainya. Ini adalah komunikasi yang negatif dari sisi konten atau isi.
Al Qur’an surat Al Maidah ayat ke 2 mengarahkan, agar ta’awun (kerjasama) harus dibangun di atas landasan kebaikan dan ketaqwaan. Jika prinsip ini dibawa ke dalam aktivitas komunikasi suami istri, maka komunikasi dikatakan positif apabila isinya alal birri wat taqwa, kebaikan dan ketaqwaan.
Demikian pula dalam surat Al Ashr ayat 1 – 3, terdapat arahan agar komunikasi dilakukan untuk saling menguatkan iman dan amal salih, serta saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Komunikasi tidak boleh berisi hal yang mendatangkan dosa (itsmi) dan permusuhan (udwan), sebagaimana arahan surat Al Maidah ayat ke 2. Ini adalah komunikasi yang negatif dari sisi konten atau isi, karena berisi dosa dan permusuhan.
Termasuk pula komunikasi yang isinya hal-hal kotor serta dilarang agama, seperti menggujing atau mengghibah. Ini masuk kategori komunikasi negatif dari segi isi.
Ketiga, Positif dari sisi Cara
Ada suami yang berbicara dengan cara membentak-bentak istri, wajah merah serta mata melotot. Ada istri berbicara dengan nada tinggi dan emosi, sambil menuding-nuding suami. Walaupun isinya hal-hal yang positif, jika dilakukan dengan cara yang tidak tepat, maka bisa menjadi komunikasi yang negatif.
Cara komunikasi positif adalah dengan santun, lembut dan bijak. Al Qur’an mengarahkan agar kita selalu berlaku lembut dalam interaksi dan komunikasi.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159).
Hasan Al Bashri mengatakan, “Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini.”
Oleh karena itu, hendaknya suami dan istri menghindari komunikasi yang dari segi cara membuat mereka saling bermusuhan dan berjauhan. Menurut John M. Gottman dan Nan Siilver, ada empat pemisah jarak suami istri, yaitu kritikan, celaan, saling menyalahkan pasangan dan membangun benteng.
Keempat, Positif dari sisi Suasana
Komunikasi suami dan istri akan sangat optimal hasilnya, apabila didukung oleh suasana yang positif. Ada pasangan suami istri yang berkomunikasi dalam suasana banjir emosi, atau dalam suasana yang tergesa-gesa.
Dampaknya mereka tidak bisa berbicara dengan tenang dan lega, karena terbawa oleh suasana kemarahan, emosi, atau tidak enaknya suasana. Maka pilihlah suasana yang nyaman untuk berkomunikasi. Yaitu suasana tenang, damai, lapang, serta tidak terbanjiri emosi.
Suasana emosi sangat tidak tepat untuk melakukan komunikasi. Itulah sebabnya, orang beriman diarahkan untuk bisa mengendalikan kemarahannya. Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Saw bersabda, “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”.
Menciptakan suasana adalah bagian dari ketrampilan yang perlu dimiliki suami dan istri. Mereka harus pandai “membaca suasana”, kapan bisa berkomunikasi secara lapang dan nyaman. Memilih waktu dan tempat yang tepat, bisa membantu terciptanya suasana yang positif untuk berkomunikasi.
Kelima, Positif dari sisi Hasil
Ada pasangan suami istri yang rutin berkomunikasi, namun selalu berujung kepada kemarahan dan sakit hati. Suami dan istri justru semakin menjauh, semakin berjarak, karena rutin mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari pasangan.
Untuk itu, komunikasi suami istri harus positif, yaitu komunikasi yang hasilnya mampu melegakan, mendekatkan, membahagiakan pasangan.
Komunikasi disebut positif apabila menghasilkan semakin kuatnya keimanan, semakin bagusnya ketaqwaan, semakin indahnya hubungan dengan pasangan. Komunikasi disebut negatif apabila menghasilkan semakin kuatnya kemarahan, kemaksiatan dan mencerai beraikan hubungan dengan pasangan. Komunikasi positif itu mendekatkan dan menyatukan. Komunikasi negatif itu menjauhkan dan memisahkan.
Demikianlah beberapa sisi yang bisa dihadirkan dalam komunikasi suami istri, agar bisa bernilai positif. Dengan komunikasi positif ini, hubungan dengan pasangan semakin kuat, dan akan menyebabkan ketahanan keluarga menjadi semakin kuat pula.
❤️
👍
8