
Pak Cah Channel
1.4K subscribers
About Pak Cah Channel
Pak Cah Channel adalah sarana edukasi terkait pernikahan, keluarga dan pendidikan anak. Dikelola langsung oleh Pak Cahyadi Takariawan, seorang konsultan ketahanan keluarga.
Similar Channels
Swipe to see more
Posts

🪴🪴🪴🪴🪴 KELUARGA TANPA KONFLIK? TIDAK ADA Apakah jika dalam kehidupan pernikahan tidak pernah muncul konflik itu pertanda baik? Menurut Jeffrey Bernstein, Ph.D., psikolog dan penulis "Why Can’t You Read My Mind", jawabannya adalah: TIDAK. Jeffrey berpendapat bahwa hubungan yang memuaskan tidak bisa erlepas dari konflik dan pertengkaran. Yang diperlukan adalah pertengkaran yang sehat, dengan batas yang tepat. Menurut Jeffrey, konflik adalah tanda dari adanya usaha saling mengekspresikan kebutuhan masing-masing dan sekaligus usaha untuk menemukan solusinya. Kemampuan menemukan resolusi konflik yang tepat akan semakin meningkatkan kualitas hubungan dalam pernikahan. Bagi Jeffrey, tidak ada konflik dalam pernikahan justru menunjukkan gejala “mati rasa” antara suami dan istri. "Menghindari dan berusaha untuk tidak berkonflik, secara halus tengah memberi tahu bahwa Anda tidak peduli lagi tentang apapun yang terjadi dalam hubungan dengan pasangan, dan Anda menolak menghadapi realitas yang sesungguhnya terjadi", ujar Jeffrey. Jadi, jangan bangga jika dalam rumah tangga Anda tidak pernah muncul konflik. Karena itu justru pertanda buruk.

💐💐💐💐💐💐 BIARKAN ISTRI ANDA MENGEKSPLORASI PERASAANNYA @ Cahyadi Takariawan “Seorang perempuan yang marah", ujar John Gray, "berbicara tentang perasaan-perasaannya, seperti halnya ketika dia berbelanja". "Dia tidak mengharapkan anda untuk membeli suatu perasaan tertentu, karena dia akan pergi untuk membelinya sendiri”, ujar John Gray. “Pada dasarnya dia mencoba ‘pakaian-pakaian perasaan’ untuk melihat apakah ada yang cocok. Hanya karena dia membutuhkan banyak waktu untuk mencoba sebuah pakaian atau menguji sebuah emosi tidaklah berarti bahwa emosi itu ‘miliknya’. "Kaum perempuan yang menampakkan perasaan-perasaannya tidaklah terikat pada perasaan-perasaan itu, melainkan sedang dalam proses menemukan perasaan mana yang sungguh cocok baginya”, tambah Gray. Bagi kebanyakan istri, mengungkapkan perasaan adalah bagian dari “kebutuhan dasar” untuk bisa merasakan nyaman dan tenang. Cukuplah istri merasa tersiksa dan tidak bahagia hanya karena tidak bisa mengungkapkan perasaan. Mengungkapkan perasaan adalah semacam katarsis yang melegakan bagi para istri. Mereka selalu memiliki kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan yang dimilikinya, kendati itu berbentuk emosi negatif, namun akan segera mendapatkan situasi emosi baru yang positif setelah berhasil mengungkapkan. Hendaknya para suami tidak memahami hal itu sebagai tuduhan atau serangan terhadap dirinya, karena itu hanya ekspresi peristiwa sesaat. Bukan ungkapan yang nilainya permanen. Kesalahan banyak suami adalah ketika menganggap ungkapan istri tentang perasaan itu sebagai tuduhan dan memiliki nilai yang permanen atau tetap. Padahal emosi negatif itu tidaklah permanen dan menjadi sesuatu yang abadi dalam diri perempuan. Saat dia bisa mengutarakannya, akan segera terasa ringan dan tidak lagi menjadi beban baginya. Setelah itu, suasana akan segera berubah. Sungguh tidak melekat permanen. Mengungkapkan berbagai perasaan bagi para istri, tak ubahnya seperti melihat-lihat baju, memilih-milih, mencoba dan akhirnya akan menentukan pilihan satu baju yang paling pas baginya. Setelah itu ia akan keluar dari toko dengan membawa pilihan bajunya. Mungkin memerlukan waktu yang cukup lama, dan prosesnya terasa panjang dirasakan para suami. Namun yang diperlukan adalah pengertian dan kesabaran suami untuk menemani sang istri “belanja perasaan” tersebut, sampai menghasilkan sebuah keputusan akhir untuk menetapkan pilihan. Sepanjang apa waktu yang diperlukan untuk belanja, pasti akan keluar dari toko juga. Sederhana, bukan?

🪴🪴🪴🪴🪴 Survei: Makin Tua Usia, Makin Mudah Kecewa Terhadap Pasangannya Oleh: Cahyadi Takariawan “If you and your spouse argue a lot now, don't expect things to change as you grow old together. A new study finds that conflict levels remain relatively unchanged throughout a marriage” (Remy Melina, 2011). Banyak pasangan muda yang terlibat dalam konflik dan pertengkaran. Mereka mudah tersulut konflik, dan lebih sulit berdamai. Ego manusia pada usia muda membuat mereka tak mudah mengalah. Sebagian orang berpikir, mungkin mereka banyak konflik karena usia masih sama-sama muda. Kelak ketika tumbuh makin dewasa dan tua, konflik akan berkurang dan bahkan mereda. Benarkah asumsi seperti ini? Ternyata tidak benar. Remy Melina (2011) menyatakan, jika Anda dan pasangan sering bertengkar sekarang, jangan berharap banyak hal berubah saat Anda menjadi tua bersama. Sebuah studi menemukan bahwa tingkat konflik relatif tidak berubah sepanjang pernikahan. Bahkan pandangan negatif terhadap pasangan semakin besar setelah usia tua. Makin Tua Usia, Makin Negatif Memandang Pasangan “Jika pasangan Anda sudah mulai mengganggu saat ini, masa depan hubungan Anda suram,” ungkap Jeanna Bryner (2008). Penelitian menunjukkan pasangan memandang satu sama lain sebagai lebih menjengkelkan dari waktu ke waktu. Unikya, kecenderungan seperti ini tidak ditemukan untuk hubungan dengan anak atau teman. Kira Birditt, Lisa Jackey, Toni Antonucci dari University of Michigan’s Institute for Social Research melakukan riset tentang pandangan individu terhadap pasangan, teman, dan anak-anak. Para peneliti menemukan adanya perubahan pandangan seiring berjalannya waktu, di antara kelompok usia dewasa awal (usia 20 hingga 39), paruh baya (40 hingga 59) dan tua (60 tahun ke atas). Para peneliti menganalisa tanggapan yang dikumpulkan dari tahun 1992 dan 2005, melibatkan lebih dari 800 partisipan. Tanggapan yang dievaluasi mengacu kepada pasangan, anak dan teman. Setiap peserta diminta menilai seberapa kuat mereka setuju atau tidak setuju dengan dua pernyataan berikut, "(Suami/istri, anak, teman) saya membuat saya gelisah." "(Suami/istri, anak, teman) saya terlalu banyak menuntut pada saya." Hasil riset menunjukkan, di semua kelompok umur, individu melihat pasangan mereka sebagai sosok yang paling negatif dibandingkan dengan anak-anak dan teman. Pandangan negatif terhadap pasangan cenderung meningkat dari waktu ke waktu. "Kami terkejut karena dalam penelitian gerontologis menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia, mereka menjadi lebih baik dalam mengatur emosi mereka dan mengalami lebih sedikit hubungan negatif," ujar Kira Birditt. Harusnya, makin tua dan makin dewasa seseorang, akan semakin positif dalam memandang pasangan. Ternyata studi tidak menunjukkan kebenaran asumsi ini. Bagaimana menjelaskan hasil studi ini? "Seiring bertambahnya usia dan menjadi lebih dekat dan lebih nyaman satu sama lain, bisa jadi kita lebih bisa mengekspresikan diri satu sama lain," ungkap Birditt. "Dengan kata lain, kenegatifan adalah aspek normal dari hubungan dekat yang terlibat banyak kontak sehari-hari," ujar Birditt. Secara umum, semakin lama pasangan tinggal bersama, semakin mereka harus berurusan dengan “keanehan” satu sama lain. "Saat Anda tinggal bersama, jauh lebih sulit untuk menghindari satu sama lain," ujar Birditt. Ketika hubungan dengan pasangan cenderung menjadi lebih negatif, hubungan dengan anak-anak dan teman justru menjadi lebih baik. Anak-anak dan teman cenderung kurang menuntut dan kurang menjengkelkan dari waktu ke waktu. Para peneliti menyatakan, sikap negatif terhadap teman berkurang dari waktu ke waktu karena bisa memilih teman, bahkan “membuang” teman yang menjengkelkan dari kehidupan kita. Sedangkan hubungan dengan anak-anak menjadi kurang negatif karena perubahan peran seiring pertumbuhan mereka. Kelompok partisipan usia 20 hingga 30-an dilaporkan memiliki hubungan paling negatif secara keseluruhan. Sedangkan kelompok partisipan usia tua memiliki hubungan negatif paling sedikit. Bagaimana agar tidak mengalami fenomena seperti hasil studi ini? Yang harus Anda ciptakan adalah chemistry kesejiwaan bersama pasangan. Tidak perlu menunggu tua. Hadirkan kesejiwaan sejak Anda masih muda usia. Bahan Bacaan • Jeanna Bryner, Marriage: It's Only Going to Get Worse, https://www.livescience.com, 5 Februari 2008 • Remy Melina, Spouses Who Argue Face a Lifetime of Fights, https://www.livescience.com, 17 Agustus 2011

🍁🍁🍁🍁🍁🍁 8-K UNTUK MENJAGA KEHARMONISAN KELUARGA (Bagian Ketujuh) Oleh : Cahyadi Takariawan Paling tidak, ada delapan sikap positif yang harus dimiliki oleh setiap pasangan suami istri, agar bisa mendapatkan kehidupan berumah tangga yang langgeng, harmonis, bahagia dan penuh cinta. Sikap positif tersebut disimpulkan dengan rumus 8 K, sebagai berikut: K-7 adalah Keseimbangan Islam adalah agama yang mengajarkan prinsip keseimbangan dalam kehidupan. Misalnya dalam urusan dunia dan akhirat, Allah berfirman, وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qashash: 77). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Pergunakanlah karunia yang telah Allah berikan kepadamu berupa harta dan kenikmatan yang berlimpah ini, untuk mentaati Rabb-mu dan mendekatkan diri kepadaNya dengan berbagai bentuk ketaatan. Dengan itu, kamu memperoleh balasan di dunia dan pahala di akhirat”. Firman Allah وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا “Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi”, yaitu hal-hal yang dibolehkan Allah berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Allah mempunyai hak atas dirimu. Jiwa ragamu juga mempunyai hak atas dirimu. Keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu. Tamumu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka berikanlah tiap-tiap hak kepada pemilikinya,” demikian penjelasan Ibnu Katsir. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya, “Yaitu, Kami tidak memerintahkanmu supaya menyedekahkan seluruh hartamu sehingga kamu menjadi terlantar. Namun bersedekahlah untuk kemaslahatan akhiratmu dan nikmatilah duniamu, tanpa merusak agama dan akhiratmu.” Oleh sebab itu, syariat melarang bersedekah dengan seluruh harta sampai habis ludes sehingga mengakibatkan ia terpaksa meminta-minta kepada orang lain. Juga dilarang mewasiatkan lebih dari sepertiga harta. Pasangan suami istri harus selalu menjaga keseimbangan dalam segala sesuatu. Misalnya, keseimbangan perhatian antara bekerja dengan mengelola rumah tangga, keseimbangan antara mencari nafkah dengan pendidikan anak, keseimbangan antara prestasi di tempat kerja dengan kebaikan keluarga, dan lain sebagainya. Jangan sampai tenaga, waktu dan perhatian habis di tempat kerja sehingga ketika di rumah semuanya tinggal hal-hal sisa. Jangan sampai pula terlalu fokus mengurus manajemen rumah tangga namun tidak memiliki perhatian dalam menghasilkan nafkah untuk keluarga. Semua harus seimbang, karena masing-masing memiliki ukuran yang pas untuk bisa mendapatkan kebahagiaan. Studi yang dilakukan oleh John Defrain dan tim tentang strong family (2019), menunjukkan bahwa kekuatan keluarga sangat ditentukan oleh kekuatan hubungan antara suami dan istri. Untuk itu, suami dan istri harus pandai menciptakan kesimbangan agar selalu terwujud happy family. David H. Olson (2000) menyebutkan dimensi untuk menghadirkan keseimbangan suami dan istri. Di antaranya adalah cohesion (kohesi) dan flexibility (fleksibilitas) dalam kehidupan sehari-hari suami istri. David Olson menyatakan, “Cohesion is a feeling of emotional closeness with another person”. Kohesi adalah suasana kedekatan emosional antara suami dan istri. Jika menggunakan bahasa Al Qur’an, suami dan istri disebut sebagai libas atau pakaian, yang saling melekat. Kohesi didapatkan dari keseimbangan antara “separateness” dan “togetherness” (Olson, 2000). Keseimbangan antara ketakbersamaan dengan kebersamaan. Yang dimaksud dengan togetherness adalah kebersamaan suami dan istri, sedangkan separateness adalah kondisi ketidakbersamaan di antara mereka. Kohesi akan tercipta apabila pasangan suami istri mampu menyeimbangkan kebersamaan dan ketakbersamaan. Jika terlalu banyak separateness, bisa memunculkan kekeringan cinta. Mereka yang tengah menjalani LDR, harus pandai mengelola kohesi, agar tidak mengalami gejalan kekeringan cinta. Sebaliknya, jika terlalu banyak togetherness, bisa menimbulkan kebosanan. Suasana karantina di masa pandemi, membuat semua anggota keluarga berkumpul di rumah dengan segala keterbatasan fasilitas. Ini harus dikelola dengan tepat, agar tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan. Suami dan istri harus pandai menemukan titik keseimbangan, antara togetherness dengan separateness. Di sinilah letak kohesi, yang menjadi modal membangun sinergi antara suami dan istri. Sedangkan fleksibilitas adalah keseimbangan antara “chaos” dan “rigidity” (Olson, 2000). Dalam kehidupan keluarga, ada sisi stabilitas, namun ada pula sisi perubahan. Ada hal-hal yang harus statis, namun ada hal yang harus dinamis. Jika keluarga memiliki aturan yang kaku, tidak bisa berubah, tidak menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi, maka akan terbentuk keluarga yang beku. Suasananya sangat tidak menyenangkan bagi semua anggota keluarga. Semua serba aturan kaku. Jika keluarga tidak memiliki sesuatu yang dipegangi, semua boleh berubah secara bebas, tak ada norma yang dijadikan pijakan, akan terbentuk keluarga tak beraturan. Semua orang boleh bebas memilih keinginanya sendiri. Keluarga harus mampu menjaga keseimbangan antara hal yang harus tetap dan hal hal yang boleh berubah. Ini yang disebut fleksibel. Justru karena ada hal yang tetap dan ada yang bisa berubah, maka menjadi fleksibel. Fleksibilitas ini sangat penting dalam menjaga keharmonisan keluarga, mengingat kondisi keluarga selalu berubah dari waktu ke waktu. Tantangan yang dihadapi selalu berubah. Kondisi suami dan istri pun selalu berkembang. Maka harus pandai menjaga sisi stabilitas dan menerima sisi perubahan.

🍁🍁🍁🍁🍁 8-K UNTUK MENJAGA KEHARMONISAN KELUARGA (Bagian Kelima) Oleh : Cahyadi Takariawan Paling tidak, ada delapan sikap positif yang harus dimiliki oleh setiap pasangan suami istri, agar bisa mendapatkan kehidupan berumah tangga yang langgeng, harmonis, bahagia dan penuh cinta. Sikap positif tersebut disimpulkan dengan rumus 8 K, sebagai berikut: K-5 adalah Keterbukaan Setelah menikah, suasana interaksi suami dan istri akan menyenangkan apabila keduanya bersedia bersikap saling terbuka. Komunikasi yang melegakan adalah kunci awal yang efektif untuk menghadapi tantangan dan memecahkan persoalan dalam kehidupan pernikahan. Hendaknya suami dan isteri saling terbuka dan bebas berbicara menyampaikan perasaan serta keinginan dirinya secara leluasa. Jangan ada hambatan komunikasi antara mereka berdua sejak dari awalnya. Biasakan diri berkomunikasi dengan penuh keterbukaan dan kelegaan hati. Itulah cara saling mengenal yang amat efektif. Dengan komunikasi, anda bisa menyingkat masa pengenalan anda dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan apabila tidak bersikap terbuka. Tentu saja pengenalan yang diperlukan antara suami isteri tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat permukaan saja, diperlukan pengenalan yang mendalam dan tuntas. Mengenalkan segala hal yang diperlukan, meskipun tentu saja ada hal-hal tertentu yang berkaitan dengan ketidakbaikan masa lalu yang tak perlu diceritakan demi menjaga perasaan pasangan anda. Apabila dari hari-hari pertama yang menyenangkan itu keterbukaan sudah bisa dilakukan, hendaklah suasana itu tetap dijaga dan dipertahankan untuk seterusnya. Keterbukaan adalah kunci utama menghadapi persoalan-persoalan kerumahtanggaan. Tanpa ini, yang terjadi adalah menumpuknya problem hingga tidak ada kejelasan penyelesaian. Keterbukaan adalah jalan penting menyelesaikan permasalahan. Anda berdua perlu berbicara mengutarakan hal-hal yang anda sukai dan tidak sukai, keinginan dan harapan yang anda berikan kepada pasangan anda. Anda bisa terbuka tentang hal-hal yang berkaitan dengan kondisi diri anda sendiri untuk diketahui pasangan anda, dan anda perlu terbuka untuk menyampaikan cita-cita besar dalam kehidupan anda. Hingga menyangkut hal-hal teknis, anda bisa menyampaikan apa yang anda kehendaki atau tidak anda kehendaki. Cara seperti itu lebih mempercepat proses pengenalan anda kepada pasangan. Dalam kehidupan keseharian, masing-masing bisa bicara serta mengungkapkan keinginan hati dan perasaan tanpa ada ketakutan dan sumbatan. Masing-masing menyampaikan kisah diri dan nasihat kepada pasangannya. Namun ada kalanya muncul ketakutan atas reaksi yang akan diterima dari pasangan. Saat salah satu pihak dari suami atau istri ingin berbicara menyampaikan sesuatu kepada pasangan, namun muncul kekhawatiran “jangan-jangan ia bereaksi secara berlebihan”. Timbul reaksi dari pasangan yang tidak seperti harapan dirinya, ini yang menyebabkan enggan melakukan pembicaraan dengan pasangan. Seorang isteri takut menyampaikan yang sesungguhnya tentang harapan atau masukan kepada suami lantaran takut respon suami akan mengecewakannya. Jangan-jangan suami akan menganggap remeh urusannya, jangan-jangan suami akan marah atau kekhawatiran lain. Demikian pula hal yang serupa dapat terjadi pada seorang suami. Ketika ia berbicara menyampaikan sesuatu ia memiliki kekhawatiran, jangan-jangan isterinya akan menangis berlebihan untuk suatu hal yang tidak begitu penting, atau jangan-jangan isteri akan mengomelinya. Untuk mengurangi kekhawatiran tersebut dapat dilakukan beberapa cara sebagai berikut. 1. Buatlah kesepakatan tentang reaksi yang diharapkan dari pasangan Hal yang akan membuat suasana nyaman adalah apabila reaksi pasangan sesuai dengan yang anda harapkan. Maka buatlah kesepakatan, tentang reaksi yang anda harapkan dari pasangan, dan reaksi yang diharapkan pasangan dari anda. Misalnya, sejak awal pasangan mengungkapkan bahwa ia ingin ketika curhat didengarkan dulu, bukannya langsung dikomentari. Bagaimanapun, antara laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan cara berkomunikasi yang berbeda. Seorang perempuan seringkali merasa dengan menceritakan masalahnya, adalah bagian dari penyelesaian masalah, karena telah terkurangi beban psikologisnya. Pihak perempuan sering kali lebih verbal. Ia menginginkan suami berespon sebagaimana ia merespon masalah. Ia terutama hanya mengharap empati dari suami atas setiap masalah yang dihadapinya. Rasa empati itu sudah menjadi dukungan tersendiri bagi istri. Sementara laki-laki, tidak terlalu suka jika menampakkan kegagalan dirinya. Ukuran berhasil atau gagal baginya adalah dari kemampuan menyelesaikan urusannya secara mandiri. Padahal rata-rata sikap perempuan suka memberikan pertolongan tanpa diminta. Ketika seorang laki-laki mengungkapkan sesuatu, perempuan akan membahasakan bahwa laki-laki tersebut membutuhkan banyak saran dan bantuan untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya ia akan memberikan intervensi yang berlebihan. Dan ini kadang-kadang mengecewakan pasangannya. 2. Komitmen tentang reaksi pasangan disampaikan di awal Reaksi atau respon yang diharapkan dari pasangan hendaknya disampaikan sejak di awal pembicaraan. Jangan bersikap pasif dan membiarkan saja pasangan merespon dengan caranya sendiri, tanpa memperhatikan keinginan anda. Sebaliknya, anda juga tidak boleh bereaksi dengan cara anda sendiri, tanpa memperhatikan keinginan pasangan. Keduanya bisa menyampaikan harapan sejak di awal pembicaraan agar dimengerti oleh pasangan. Komitmen yang dimaksud, misalnya dengan mengatakan, “Aku ingin menyampaikan sesuatu, tetapi tolong engkau jangan tersinggung…” atau “Aku berharap, ini baru sekedar memberi tahu dulu, aku belum membutuhkan bantuan kongkritmu…” atau ungkapan lain yang anda harapkan. Ini akan sangat membantu sebagai referensi anda di masa selanjutnya tentang karakter dan harapan pasangan anda. 3. Jangan membuka aib masa lalu Anda menikah dengan pasangan adalah untuk kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang, bukan menikahi seseorang di masa lalunya. Maka segala bentuk aib anda dan pasangan di masa lalu, tidak boleh dibuka. Justru harus ditutup dengan taubat, bahkan taubat pun harus selalu diulang sepanjang masa, sampai dosa-dosa di masa lalu benar-benar bersih. Ciri seseorang yang sudah bertaubat dari kejelekan di masa lalunya adalah, ia tidak lagi mengingat kejadian-kejadian masa lalu tersebut. Ia sudah bersih dari ingatan dan pengaruh kejelekan di masa lalu. Kini dirinya menjadi seseorang baru, yang terlepas dari masa lalunya. Misalnya seorang laki-laki yang di masa lalunya pernah memiliki banyak pacar dan melakukan perbuatan melanggar agama dengan para pacar itu. Perbuatan jelek dan salah itu tidak untuk diceritakan --apalagi dengan penuh kebanggaan, kepada pasangan, atau kepada siapapun juga. Perbuatan itu harus ditutup dengan mengulang-ulang taubat, agar dirinya bersih dari pengaruh kejehatan di masa lalu itu, untuk menyambut kehidupan di masa sekarang dan yang akan datang dengan lebih baik. Demikian pula seorang perempuan yang pernah memiliki masa lalu kelam dengan banyak laki-laki yang menikmati tubuhnya, hendaknya menutup masa lalu tersebut dengan mengulang-ulang taubat sampai bersih dari pengaruh kejehatan di masa lalu itu. Jangan lagi diceritakan hal itu, karena kalau masih diceritakan berarti masih dikenang dan disimpan dalam memori. Itu berarti belum selesai taubatnya. 4. Jangan membuka lintasan perasaan tertarik terhadap pihak ketiga kepada pasangan Keterbukaan tentu saja ada batasnya. Tidak semua hal bisa dibuka kepada pasangan. Selain tidak membuka aib di masa lalu, yang harus ditutup juga adalah lintasan perasaan ketertarikan terhadap pihak ketiga. Misalnya, seorang suami merasa tertarik dengan seorang perempuan teman kerjanya. Perasaan tertarik ini jika diungkapkan secara terbuka kepada pasangan akan potensial menimbulkan kecemburuan dan konflik yang bisa panjang urusannya. Jangan meneruskan perasaan tertarik tersebut, segera hentikan dan kembali kepada pasangan. Hapus saja memori ketertarikan itu. Demikian pula seorang istri yang tertarik dengan laki-laki lain, jangan pernah menceritakan perasaan ketertarikan itu kepada suami. Jika istri menceritakan dengan berbunga-bunga kepada suami rasa ketertarikan kepada laki-laki lain tersebut, potensial membakar perasaan cemburu suami dan bisa berbuntut panjang dalam kehidupan mereka. Maka istri harus menutup lintasan perasaan tertarik tersebut, jangan diteruskan dan dikembangkan. Segera mendekat kepada suami agar tidak membuat jarak yang semakin jauh. 5. Membuka diri untuk mendapat masukan dari pasangan Kesediaan diri untuk menerima masukan dan kritik konstruktif dari pasangan merupakan unsur yang membentuk suasana interaksi suami istri yang menyenangkan. Hendaknya suami dan istri tidak menutup diri dari masukan yang ditujukan atas kelemahan dan kekurangan diri. Apabila suami dan isteri telah merasa benar sendiri, dan mereka menutup masukan-masukan dari pihak lain, itu adalah awal dari kerapuhan hidup berumah tangga. Namun kritik dan masukan harus dilakukan dengan penuh kelembutan, bukan dengan emosi dan kemarahan. Gunakan metode positif untuk mengungkapkan kritikan, jangan menggunakan ungkapan negatif. Contoh ungkapan negatif adalah, “Aku tidak suka badanmu yang gembrot”. Gunakan ungkapan positif, “Aku bangga memiliki istri cantik seperti kamu. Namun akan lebih cantik jika engkau mengikuti program untuk sedikit menurunkan berat badanmu”. Mulai Saja, Jangan Menunggu Jika selama ini anda termasuk tipe orang tertutup, mungkin cukup sulit bagi anda untuk memulai keterbukaan tersebut. Diperlukan energi yang lebih untuk memulai bersikap terbuka, sebab kadang yang dijumpai bukanlah masalah keberanian, akan tetapi tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan keterbukaan tersebut. Bagaimana mengungkapkan keinginan, bagaimana menyampaikan harapan, bagaimana mengutarakan pendapat. Mungkin anda tidak tahu bagaimana anda harus mengawalinya. Ingatlah bahwa segala sesuatu yang sulit biasanya adalah pada awalnya. Memulai sesuatu tidaklah gampang, diperlukan kesanggupan diri untuk mengiring langkah pertama. Sesuatu yang tidak biasa dilakukan, memang terasa risih ketika pertama kali melakukan.

Mau Umrah bareng saya? Berangkat Syawal, 7 April 2025. - Educating - Healing - Counseling - Traveling Daftar : Mas Aji 0821-1301-7620

MENIKMATI UPA Salah satu cara untuk membuat para ayah selalu peduli tentang keluarga dan pendidikan anak, adalah dengan mengajak mereka berbincang ringan, di forum Unit Pembinaan Anggota (UPA). Angkat tema-tema ketahanan keluarga dan parenting, saat mengawali UPA. Pilih yang ringan, unik dan menarik. Bisa dari buku-buku bermutu. Bagi kita, UPA adalah tempat belajar bersama. Bahkan rumah tempat pulang. Satu rumah yang harus mengasyikkan dan bisa dinikmati bersama. Para Pembimbing / Pembina UPA harus kreatif menghadirkan suasana yang dialogis, bahkan –romantis. Hal ini membuat para ayah mendapatkan sesuatu pengalaman estetis melalui UPA. Malam ini saya mengajak anggota UPA untuk membahas isi buku karya Torey Hayden, berjudul Lost Child, Permintaan Tolong si Gadis Pembohong (2020). Kisah tentang Jessie, seorang gadis 9 tahun yang dibuang keluarganya dan harus mendekam di rumah singgah untuk anak-anak bermasalah. Jessie yakin setan sudah merasukinya sejak dalam kandungan sang ibu. Ia percaya itulah penyebab kenakalan dan kepiawaiannya memintal cerita bohong. Itulah mengapa orangtuanya menelantarkannya. Itulah mengapa tidak ada satupun orang yang menyayanginya. Kisah ini diangkat dari peristiwa nyata, dari seorang relawan pendampingan anak berkebutuhan khusus, Torey Hayden. Jessie memang terlalu banyak menimbulkan masalah bagi orang-orang di sekitarnya. Ia meledak-ledak, suka mengamuk, pernah membakar rumah, mengencingi ranjang kakaknya. Yang paling menonjol, ia sangat sering berbohong. Belakangan diketahui Jessie mengidap RAD (Reactive Attachment Disorder), sebuah gangguan kesehatan mental di mana seorang anak tidak tahu cara menjalin kedekatan dengan orang lain. Biasanya ini disebabkan dari pola asuh orang tua yang tidak membangun kedekatan dengan anak. Hal inilah yang sesungguhnya menyebabkan Jessie sering bertindak maladptif. Jessie terlalu sering berbohong. Ini membuat ia tidak bisa membangun kedekatan dengan orang lain. Justru dibenci oleh anak-anak di rumah singgah. Hingga muncul konflik di mana Jessie mengaku mengalami kekerasan seksual oleh salah satu staf di rumah singgah –rekan kerja Torey Hayden. Perngakuan ini membuat Torey ragu. Satu sisi ia berasumsi Jessie berbohong, tetapi ia juga harus mewaspadai kemungkinan ia tidak berbohong. Apakah Jessie benar-benar tidak berbohong? Sepertinya, ini adalah cara Jessie untuk membangun kedekatan dengan Torey, dan mendapat perhatian penuh. Sesuatu yang tak didapatkan Jessie dari siapapun. "Semua orang ingin bahagia. Semua orang ingin menjalani kehidupan yang memuaskan, dipenuhi cinta dan keterikatan" (halaman 307).

🍁🍁🍁🍁🍁🍁 8-K UNTUK MENJAGA KEHARMONISAN KELUARGA (Bagian Ketiga) Oleh : Cahyadi Takariawan Paling tidak, ada delapan sikap positif yang harus dimiliki oleh setiap pasangan suami istri, agar bisa mendapatkan kehidupan berumah tangga yang langgeng, harmonis, bahagia dan penuh cinta. Sikap positif tersebut disimpulkan dengan rumus 8 K, sebagai berikut: K-3 adalah Kepercayaan Pasangan suami istri harus saling percaya satu dengan yang lain. Kepercayaan dalam sebuah hubungan pernikahan adalah keniscayaan. Tidak mungkin anda membangun rumah tangga bahagia tanpa adanya rasa saling percaya satu dengan yang lain. Jika suami dan istri diliputi rasa curiga dan syak wasangka terhadap pasangan, mereka akan berada dalam suasana ketertekanan dan penderitaan. Mengapa suami dan istri merasa nyaman baik saat bersama maupun saat terpaksa berpisah sementara? Itu karena mereka berdua saling percaya. Tanpa kepercayaan, tidak mungkin mewujudkan kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan. Upaya untuk membangun kepercayaan kepada pasangan, harus dimulai dari membangun kredibilitas personal. Suami dan istri memiliki tanggung jawab individual untuk menunjukkan kredibilitas sebagai suami dan istri yang baik. Kredibilitas moral dan spiritual sebagai suami salih dan istri salihah. 1. Mendekat Kepada Allah Pada zaman cyber yang serba mudah mendapat akses saat ini, suami dan istri harus berusaha untuk mendekat kepada Allah. Akses kepada Allah harus sangat diperkuat. Jangan sampai kalah oleh akses kepada godaan. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, suami dan istri akan terbimbing dalam jalan kebenaran. Mereka akan menapaki kehidupan yang selamat dunia maupun akhirat. Nabi saw bersabda, bahwa Allah telah berfirman, فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا. وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَّهُ» رَوَاهُ البُخَارِيُّ. “Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaKu, pasti Aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti Aku lindungi” (HR. Bukhari no. 6502). 2. Menjaga Kehormatan Diri Suami dan istri harus selalu menjaga dirinya agar tidak tergelincir dalam penyimpangan dan penyelewengan. Seorang suami yang tak mampu menjaga diri sendiri, akan sulit menjaga anak dan istri. Demikian pula istri yang tak pandai menjaga diri sendiri, tak akan bisa menjaga suami dan anak-anak. Dalam sebuah riwayat, Nabi saw bersabda, بِرُّوْا آبَاءَكُمْ تَبِرَّكُمْ اَبْنَاؤُكُمْ وَ عِفُّوْا تَعِفَّ نِسَاؤُكُمْ. الطبرانى باسناد حسن “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu, maka anak-anakmu akan berbakti kepadamu. Jagalah kehormatan dirimu maka istrimu pun akan menjaga kehormatan dirinya" (HR. Thabrani). Jika suami mampu menjaga kehormatan diri, insyaallah sang istri pun akan lebih mudah untuk menjaga kehormatan dirinya. Jika suami tak mampu menjaga kehormatan dirinya, sang istri akan mempertanyakan, “Untuk apa aku harus menjaga diri, sedangkan suamiku pun tak menjaga diri”. 3. Menjauhi Penyimpangan dan Pengkhianatan Suami dan istri harus berjuang untuk menjauhi penyimpangan dan pengkhianatan. Semua bentuk penyimpangan, meskipun tidak ketahuan oleh pasangan, akan memberikan dampak berupa keburukan dan kerusakan. Maka berjuanglah untuk tidak tergoda dan tidak menyimpang, agar bisa menjaga keutuhan keluarga. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Al-Jawabul Kafi mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” Jangan bangga dengan penyimpangan yang “aman” karena tidak ketahuan oleh pasangan. Berbagai musibah dan bencana bisa menimpa keluarga, karena perbuatan dosa yang dilakukan oleh suami dan istri. Kenikmatan dan kebahagiaan hidup berumah tangga bisa hilang, lantaran tindakan penyimpangan yang dilakukan. 4. Memilih Lingkungan Positif Lingkungan pergaulan sangat menentukan jati diri seseorang. Sebuah studi yang dilakukan Gary Neuman menunjukkan, banyak laki-laki selingkh akibat berteman dengan orang-orang yang suka selingkuh. Ini menandakan pengaruh pertemanan dalam menjaga kebaikan diri seseorang, dan menjaga kebaikan keluarga. Nabi Saw bersabda: الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ “Seseorang tergantung agama temannya, maka hendaklah seorang di antara kalian melihat teman bergaulnya” (HR. Abu Dawud, At -Tirmidzi dan Imam Ahmad). Jika berteman dengan orang salih yang menjauhi dosa, akan lebih mudah untuk menjadi salih danmenjauhi dosa. Jika berteman dengan para pendosa yang bersenang-senang dengan perbuatan dosa, akan lebih mudah untuk terjerumus ke dalam kesalahan yang sama. Maka perhatikan dengan siapa Anda berteman. 5. Menjauhi Lingkungan Negatif Bukan hanya pertemanan dalam konteks yang khusus dan sempit. Lingkungan yang buruk juga bisa memengaruhi seseorang untuk mudah melakukan keburukan. Nabi Saw bersabda: إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وِالْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِحِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً, وَنَافِحُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا مُنْتِنَةً “Sesungguhnya, perumpamaan teman baik dengan teman buruk, seperti penjual minyak wangi dan pandai besi; adapun penjual minyak, maka kamu mendapatkan olesan atau membeli darinya atau mendapatkan aromanya; dan adapun pandai besi, maka boleh jadi ia akan membakar pakaianmu atau engkau menemukan bau anyir” (HR. Bukhari dan Muslim). Perhatikan Anda sedang berada di lingkungan seperti apa? Apakah lingkungan religius yang mengajak kepada keimanan dan amal salih. Atau lingkungan rusak yang selalu mengajak kepada kejahatan.