KELAS KEPENULISAN PARA LOVERS
KELAS KEPENULISAN PARA LOVERS
May 24, 2025 at 04:09 AM
*PERAN EDITOR BAGI PENULIS* Pemateri: Kak Leci Seira Dalam artikel "The Lost Art of Editing" disebutkan bahwa terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam dunia penerbitan (perbukuan) saat ini. Artikel ini dimulai dengan pertanyaan apakah pengeditan buku yang ketat dari baris demi baris telah hilang, menjadi korban dari tuntutan penjualan dan publisitas? Artikel ini juga memuat sindirian menohok dengan menyebutkan ketika sebuah buku dilempar ke pembaca dan pembaca masih mengernyit saat menemukan kesalahan-kesalahan penulisan (tipo) atau pemilihan diksi yang tampak aneh (dirasa tidak tepat), pertanyaannya siapakah yang bertanggung jawab atas kelalaian ini? Apakah para editor telah menjadi terlalu malas, apatis, atau tidak mau lagi memperhatikan kualitas konten buku? Tidakkah jiwa editor akan terusik dengan masalah ini? Bukankah tugas seorang editor adalah mengedit? Yap, tugas utama editor adalah mengedit. Perubahan tren pasar perbukuan secara global berimbas juga pada dunia penerbitan buku. Produk buku dikendalikan oleh pemasaran, penjualan, dan publikasi. Akibatnya, penerbit mempersempit produk buku dengan memprioritaskan buku yang laris di pasaran. Ketika sebuah produk baru diluncurkan dan mendapat respons positif dari pembaca, permintaan untuk mencetak karya baru dari penulis sama atau tema buku yang sama (meski penulis berbeda) menjadi tinggi. Karena permintaan yang tinggi, proses penggarapan naskah dan proses produksi naskah menjadi buku pun terkesan instan dan terburu-buru. Tidak heran jika akhirnya kadang kualitas buku menjadi terabaikan. Dampak lain dari perubahan tren ini adalah pemangkasan sumber daya di penerbitan, misal jumlah editor atau memperbanyak tuntutan kerja. Misal, editor dipaksakan untuk mengedit berbagai genre buku-yang sebelumnya ada pembagian tugas-(editor nonfiksi dan editor fiksi) atau memperketat deadline tugas. Beban kerja yang menumpuk dan tidak sebanding dengan alokasi waktu yang cukup membuat tugas pengeditan buku menjadi tugas "mekanik", kehilangan makna esensi dari mengedit naskah. Editor pun berubah seperti "robot" atau "mesin". Untuk sebuah karya buku yang berkualitas, kadang butuh proses pengeditan yang memakan waktu lama. Editor andal bukan hanya membedah dan menguliti kata per kata, penggunaan tanda baca, dan ketepatan kalimat, melainkan juga melihat apakah masih ada yang salah dengan konten, sudah tepatkah isi konten, apakah masih perlu sentuhan dan polesan lagi, dll. Bahkan, dalam penyuntingan ini, ada proses bolak-balik naskah dari editor ke penulis jika memang editor merasa ada yang masih kurang dan butuh polesan lagi dari naskah tersebut. Di sisi lain, kita juga tidak bisa menafikan perubahan tren ini. Hal yang bisa dilakukan editor masa kini adalah berusaha menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman seraya tetap menjaga kualitas kinerjanya sebagai editor. Seorang editor andal (profesional) tetap akan mengutamakan kualitas hasil kerja. Mencintai dan menghormati pekerjaan adalah bukti dari mencintai dan menghormati profesionalisme diri sendiri. Dalam dunia literasi (perbukuan), hubungan antara editor dan penulis bisa terjalin meskipun hubungan itu bagaikan Tom and Jerry. Tidak bisa dinafikan bahwa ada kisah-kisah menarik yang kadang muncul dari sebuah relasi yang terjalin lama antara penulis dan editor. Saling melempar pujian atau cacian adalah akibat yang tidak terelakkan dari hubungan penulis dan editor. Namun, satu hal yang bisa kita pelajari adalah bahwa editor dan penulis selalu menjadi kolega sekaligus sahabat pada saat bersamaan. Editor bisa menjadi kritikus berlidah tajam bagi penulis, tetapi juga bisa menjadi konsultan bijak yang menuntun penulis mengeluarkan bakat terhebat dari dalam dirinya. Saya akan melampirkan dua kisah hubungan antara penulis dan editor ternama, ya. ☺️ Kisah Gordon Lish (editor sastra) dan Raymond Carver (penulis fiksi pendek) "Tentu saja ada contoh yang agresif dan editor yang ekstrem benar-benar mengubah karya penulis menjadi lebih baik. Gordon Lish, misalnya, dikenal telah membuat pemotongan besar-besaran dan terus-menerus pada cerita _What We Talk About when We Talk about Love_ (1981) dari Raymond Carver. Lish kadang-kadang memotong lebih dari setengah dari yang ada pada versi asli Carver. Lish menambahkan detail dan hiasannya sendiri sesuai keinginannya. Hasilnya adalah salah satu fiksi pendek klasik Amerika. Taktik Lish membantu menentukan gaya minimalis yang nantinya akan dikenal oleh Carver. Carver tampaknya memiliki perasaan campur aduk terkait pengaruh Lish. Kadang-kadang, Carver menunjukkan rasa terima kasih dan kadang-kadang tampak menyarankan bahwa Lish dengan cara tertentu menghina ceritanya tersebut. Carver secara khusus mendeskripsikan hasil editan Lish sebagai 'bedah amputasi dan transplantasi'. Meskipun pada akhir hidupnya, Carver mengatur untuk menerbitkan versi asli, versi yang tidak diubah, dari beberapa ceritanya." Kisah Maxwell Perkins (editor) dan Thomas Wolfe (penulis) "Meskipun Perkins-yang sering disebut sebagai editor sastra paling terkenal sepanjang masa-bekerja dengan Fitzgerald, Hemingway, dan sejumlah talenta lain, hubungannya dengan Thomas Wolfe tampaknya selalu menarik perhatian paling banyak orang. Mungkin karena itu yang paling 'menggelora' (panas). Wolfe adalah penulis yang sulit untuk ditangani. Dia menulis tidak terkendali. Dia tidak mau memotong halaman, atau bahkan baris, tanpa tekanan dan argumen yang luar biasa. Setelah banyak perdebatan sengit, Wolfe mulai membenci persepsi populer yang mencuat bahwa kegeniusan dalam karyanya adalah milik editornya dan miliknya sendiri. Terlepas dari hubungan profesional ini, keduanya adalah teman baik meskipun 'rumit'." Dari kedua cerita di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa terkadang hubungan yang terjalin antara penulis dan editor memang rumit. Akan terjadi perdebatan dalam mempertahankan argumen, terutama mengenai isi naskah. Kadang kala, editor berpikir suatu adegan dalam naskah terasa aneh dan ganjil, tetapi penulis justru merasakan sebaliknya. Hal ini yang tak dapat dielakkan dapat memicu "konflik profesional". Pekerjaan editor adalah soal kompetensi, tanggung jawab, dan dedikasi Seorang editor tidak bisa disebut editor kalau tidak memiliki kompetensi dalam mengedit, bahkan kompetensi dasar, seperti memahami ejaan yang baku dan tidak baku (salah dan benar), menemukan tipo, menyusun kalimat menjadi benar, memilah penggunaan diksi yang tepat, dsb. Editor andal sangat mengerti bahwa tugas pengeditan buku memiliki tuntutan tinggi, baik dari penulis, penerbit, maupun konsumen (pembaca). Oleh karena itu, sebuah karya berkualitas menjadi standar dan parameter output seorang editor, tanpa bisa ditawar. Memahami kekhasan naskah dan penulis Kekhasan di sini bisa dikorelasikan dengan keunikan atau karakteristik dari naskah penulis itu sendiri. Editor harus menyadari bahwa naskah yang dia edit adalah naskah milik penulis. Jadi, sudah sepatutnya editor menghargai kekhasan yang melekat dalam tulisan penulis, tanpa perlu memberi sentuhan berlebihan secara pribadi. Dengan kata lain, jika naskah itu sudah benar secara konten, editor cukup melakukan pengeditan mekanik, tanpa merevisi tulisan. Kalaupun ada yang perlu ditambah atau kurangi, cukup pada bagian yang membutuhkan polesan, bukan mengutak-atik atau menulis ulang tulisan tersebut. Ingat, naskah tersebut adalah milik penulis, bukan editor. Ketika editor mengeluhkan pekerjaan mengedit yang makin berat dengan halaman yang tebal, salah satu tipnya adalah mengedit dengan sederhana Sederhana di sini dalam artian jangan paksakan untuk mengubah seluruh susunan kalimat. Biarkan kalimat itu apa adanya sesuai yang tertulis di naskah selama tulisan itu benar. Cukup lakukan pengeditan mekanik. Naskah yang sudah benar secara konten tidak butuh polesan lagi dari editor. Masalahnya adalah kadang editor sulit menahan diri untuk tidak mengutak-atik tulisan dalam naskah. Kadang, editor berpikir kalau bagian ini ditulis seperti ini (seperti dalam benak editor) tentu akan lebih bagus. Namun, ingat, gaya menulis itu soal selera. Selera penulis dan editor, atau bahkan di antara kita, pasti berbeda-beda. Sebagai contoh, penulis menulis kalimat dengan mendahulukan anak kalimat daripada induk kalimat. Namun, menurut editor, akan lebih bagus kalau tulisan itu ditulis dengan susunan induk kalimat mendahului anak kalimat. Akibatnya, editor mengubah tulisan itu menjadi sesuai selera editor. Salahkah hal ini? Mungkin saja tidak karena editor tidak mengubah makna konten, hanya merevisi susunan kalimat. Apakah penulis marah? Mungkin saja tidak, toh, itu tidak mengubah konten yang dimaksud penulis. Hanya, merevisi konten karena soal selera akan menambah waktu pengeditan dan akan menggelitik editor untuk terus memberi "polesan" pada konten lain. Inilah kadang yang menguras tenaga, pikiran, dan waktu editor tersebut. Jika editor bertemu dengan penulis yang rewel atau keras, editor perlu menimbang dengan bijak Apakah naskah itu memang harus direvisi dan wajib direvisi? Jika iya, kembalikan naskah itu kepada penulis dan beri argumen yang rasional dan cerdas agar penulis bersedia memahaminya. Namun, jika penulis bersikeras menolak dan merasa naskahnya sudah bagus, selama editor menilai naskah itu tidak memiliki "lubang" (kekurangan) yang besar, hanya pada detail kecil, editor bisa melakukan penyuntingan tanpa banyak merevisi konten, cukup menambal "lubang" itu saja. Ini akan menghemat energi editor daripada terjebak pada alotnya adu argumentasi yang panjang dengan penulis tanpa hasil signifikan. Tekun dan gigih Kebahagiaan dan kebanggaan seorang editor adalah jika mampu mengolah naskah tak bernama menjadi karya ternama. Editor mungkin tidak mendapatkan "nama" atau penghargaan secara langsung atas jerih payahnya. Editor juga hanyalah orang di belakang layar yang menjadi perantara bagi munculnya karya berkualitas yang bisa dinikmati pembaca. Namun, demi mempersembahkan karya berkualitas ini, editor butuh ketekunan dan kegigihan dalam diri editor. Editor perlu tekun dalam mencermati tren kebutuhan pasar atas buku (tema ataupun penulis). Tekun dalam memilah naskah-naskah masuk dan memilih naskah berkualitas yang layak diangkat menjadi buku, juga tekun ketika melakukan penyuntingan. Editor juga harus gigih memperjuangkan apa yang diyakininya. Kadang, demi memperjuangkan sebuah naskah yang editor nilai berkualitas dan layak untuk diterbitkan, editor mengerahkan segala argumen demi meyakinkan pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk menerima naskah tersebut. Begitu pun ketika mendekati penulis bidikan, editor perlu gigih berjuang demi mendapatkan penerimaan dari penulis tersebut. Bahkan, kala proses penulisan naskah tidak selalu mulus, editor perlu mengencangkan semangat untuk terus memberi support kepada penulis hingga naskah itu selesai.
❤️ 👍 😮 😢 🙏 69

Comments