
O. Solihin
May 15, 2025 at 02:20 PM
*Nggak Maksiat, Tapi Ngefans*
“Aku sih nggak ngelakuin, cuma ngefans aja.” Hmm... kalimat yang terdengar ringan, bahkan kayak nggak merasa salah apa-apa. Tapi tahu nggak, kadang hati yang ngefans bisa lebih berbahaya dari tangan yang nggak ngapa-ngapain. Bukan karena kamu turun ke jalan dosa, tapi karena kamu duduk di tribun penonton sambil tepuk tangan dan teriak, “Kereeeennn!” kepada pelaku maksiat. Ngawur, ah!
Zaman sekarang, kita bisa nge-like, follow, dan support apapun tanpa harus ikut-ikutan. Tapi justru di situlah masalahnya. Ketika hati mulai bersorak untuk maksiat, walau cuma lewat scroll dan swipe, kita bisa jadi bagian dari dosa itu. Mengapa? Karena ridha--bahkan diam-diam--bisa menyeret kita ke barisan pelaku, bukan penyelamat. _Naudzubillahi min dzalik._
Ya, ridha terhadap kemungkaran, meski hanya lewat diam dan senyum tipis, bisa bikin kita kena getahnya. Seperti istri Nabi Luth yang nggak ngelakuin dosa kaumnya, tapi ikut diazab karena dia ridha.
Nah, dengerin nih wejangan pedas tapi penuh hikmah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
ومن رضي عمل قوم حُشِر معهم، كما حُشِرت امرأة لوط معهم ولم تكن تعمل فاحشة اللواط، فإن ذلك لا يقع من المرأة، لكنها لما رضيت فعلهم عمَّها العذاب معهم.
"Siapa saja yang ridha terhadap perbuatan suatu kaum maka dia akan dikumpulkan bersama mereka, seperti istri Nabi Luth dikumpulkan bersama mereka padahal dia tidak pernah melakukan homoseksual, karena hal itu memang tidak bisa dilakukan oleh wanita, tetapi ketika dia ridha dengan perbuatan mereka maka adzab pun menimpanya bersama mereka." (dalam Majmu’ul Fatawa, jilid 15, hlm. 344)
Waaah... ini serius banget. Jadi ternyata, ridha terhadap dosa, walau cuma duduk manis sambil ngelihatin, bisa masuk kategori ‘ikut andil’ di mata Allah Ta'ala. Bahkan walau kita nggak ngapa-ngapain. Cuma diem. Cuma senyum. Cuma ngedukung pasif. Tapi ternyata, itu cukup untuk bikin kita “diundang” ke tempat yang sama dengan para pelaku dosa. Ngeri!
Memang sih, kamu nggak ikut maksiat, tapi ngasih lampu hijau alias setuju. Misalnya, ada temen ngejelekin orang lain, dan kita ketawa-tawa. Atau ada yang pamer aurat, dan kita kasih like. Atau ada yang nyebarin konten dosa seperti adegan pacaran, dan kita bilang, “Keren sih, walaupun... ya, agak _edgy_ dikit.” Lah, itu udah cukup jadi bentuk “ridha”. Dan ternyata... itu berat. Banget.
Istri Nabi Luth nggak ikut maksiatnya. Tapi dia nggak menolak, nggak ngingkari, bahkan mungkin diam-diam membenarkan. Dan akhirnya... dia masuk daftar penumpang gelombang azab. Ini bukan dongeng. Ini _warning._
Lalu, harus gimana? Kita nggak harus jadi polisi moral tiap waktu, tapi minimal: nggak ridha. Nggak kasih panggung. Nggak jadi penonton yang bersorak. Dan kalo bisa, kasih peringatan (dengan cara yang hikmah dan nggak ngegas, nggak menggurui).
Kita ini makhluk sosial, iya. Tapi jangan sampai solidaritas bikin kita jadi kompak dalam maksiat. Solidaritas sejati itu ketika kita saling jagain dari sentuhan api neraka, bukan saling temenin ke arah dosa.
Jadi, kamu di mana saat dosa terjadi? Kalo kita nggak bisa mencegah, jangan ikut mendukung. Kalo nggak bisa berdiri lantang, minimal jangan duduk di barisan sorak-sorai, jangan jadi cheerleader kemaksiatan. Mengapa? Karena Allah nggak butuh kita jadi pelaku buat kasih azab. Cukup ada ridha di hati terhadap maksiat, udah cukup jadi alasan buat dikumpulin bareng pelakunya. _Naudzubillahi min dzalik._
Ayo, jadi orang yang jelas sikapnya. Nggak ikut maksiat, nggak dukung juga. Sebab, kadang yang bikin kita celaka itu bukan apa yang kita lakukan. Tapi apa yang kita biarkan. Senyum setuju bisa jadi surat undangan untuk diazab. Waspadalah. Semoga kita semua dimudahkan untuk berbuat taat kepada Allah Ta'ala, tidak mendiamkan kemaksiatan, dan tidak mendukung perbuatan dosa. [OS]
❤️
3