
O. Solihin
115 subscribers
About O. Solihin
Sekadar catatan berupa ide, inspirasi, pengalaman, dan opini. Pernah menulis beberapa buku remaja (2002 - 2016) dan mengelola Buletin gaulislam (2007 hingga saat ini).
Similar Channels
Swipe to see more
Posts

Dari arsip Majalah Udara Voice of Islam MediaIslamNet. https://youtu.be/YYVxeMXLbZs?feature=shared

*Asli atau Palsu, Kok Masih Abu-abu?* Di negeri yang banyak pejabatnya sering bikin drama ini, urusan ijazah bisa jadi lebih viral daripada konser K-Pop. Ya, gimana lagi, seorang mantan presiden, yang dulunya dikawal ketat, dielu-elukan, dielap keringetnya sama protokoler, eh sekarang digugat soal selembar kertas bernama ijazah. Publik nanya, “Asli apa palsu, sih?” Tapi yang ditanya malah adem ayem aja (walau sepertinya tertekan). Bukannya nunjukkin bukti, malah lempar statement muter-muter kayak GPS error. Ya wajar sih kalo publik bilang, "Loh, kok makin dijelasin malah makin bikin pening?" Jangan-jangan yang abu-abu itu bukan cuma ijazahnya, tapi juga integritasnya. Hmm... banyak yang bilang udah dari 10 tahun lalu kayaknya sih kalo soal integritas _mah_. Ya, pro kontra soal ijazah mantan presiden negeri ini masih kayak sinetron kejar tayang dengan episode panjang, berliku, dan bikin emosi. Mereka yang pro bilang, “Ijazahnya ada kok, disimpan sama yang punya!” Mereka yang kontra bisa aja membalas, “Ya udah tunjukin dong, jangan disimpan doang kayak mantan yang nggak bisa move on!” Debat makin panas. Medsos jadi ajang saling tuding, saling posting, saling roasting. Ada yang unggah video analisa, "Lihat, ini font-nya beda! Ini bukan ijazah beneran!" Eh, lawannya langsung bales, "Wah, ini mah nyari sensasi doang. Dasar golongan sakit hati!" Kita yang di tengah? Nonton sambil makan tahu gejrot, tapi dalam hati nanya, "Kalo emang asli, kok nggak ditunjukin sih? Emangnya ijazahnya kayak batu akik langka yang kalau dipamerin bisa jadi rebutan orang?" Sayangnya, orang ini kadung dikenal suka bohong. Hari ini bilang A, besok bilang B. Kayak Wi-Fi publik, tingkat keamanannya nggak bisa dipercaya. Padahal dalam Islam, bohong itu dosa dan nggak bisa dihapus pake "cengar-cengir" setiap kali disuruh jujur. Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, ia berkata, _“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’”_*(HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)* Ngeri ya? Tentunya. Di dunia mungkin bisa lolos pake pencitraan, tapi di akhirat? Nggak bakal bisa bilang ke malaikat, misalnya, "Maaf, saya bohongnya terstruktur, sistematis, dan masif, tapi dengan niat baik kok." (eh, makin ngawur) Duh, di zaman sekarang, kredibilitas seseorang bisa runtuh hanya karena satu kebohongan yang dibiarin. Itu sebabnya, jangan kaget kalau publik jadi skeptis. Apalagi kalo yang ngomong pernah bilang "nggak akan impor" lalu beberapa bulan kemudian impor kayak belanja _flash sale_. Pernah juga bilang nggak bakal cawe-cawe urusan pilpres, nggak tahunya malah obrak-abrik aturan lalu muncul sang anak jadi cawapres, bahkan kini jadi wapres. Ah, masih bisa dipercaya? Kita yang waras cuma bisa geleng-geleng sambil berdoa, “Yaa Allah, lindungi kami dari pemimpin yang lidahnya fleksibel kayak karet gelang.” Oya, di tengah dunia yang makin penuh drama, jujur itu langka. Tapi langka bukan berarti nggak mungkin. Kita semua bisa mulai dari hal kecil semisal jujur dalam tugas, jujur dalam _caption_ sebelum konten diposting, jujur dalam ngasih alasan kenapa tugas belum dikumpulin. Jangan sampe kita tumbuh dalam budaya "asal bisa ngeles, berarti selamat". Ingat, di dunia bisa lolos, tapi di hadapan Allah Ta'ala, setiap huruf dari kebohongan akan dibacakan ulang, tanpa sensor, tanpa tim kreatif, tanpa pengacara. Ijazah bisa palsu. CV bisa dibuat-buat. Tapi integritas nggak bisa dicetak di fotokopi warna. Dan ingat, Allah Ta'ala nggak butuh ijazah buat menilai manusia. Tapi yang dinilai adalah hati, kejujuran, dan amal shalih walau tersembunyi dari manusia. Tapi, gimana kalo integritas udah diinjek dengan kebohongan yang selalu diulang? Semua yang disampaikan nggak bakal dipercaya lagi, minimal diragukan kebenarannya. Rugi memang. Yuk, jadi generasi yang bukan pintar debat demi membela keburukan, tapi yang jujur membela kebenaran. Sebab, dunia ini udah terlalu penuh orang pintar yang nggak benar. Sekarang giliran yang benar-benar jujur yang tampil dan bergerak memberikan manfaat kebaikan dan berpihak kepada kebenaran. Yuk, saling _support_ dan saling mendoakan. [OS]

*Hati yang Lalai, Mudah Tertipu* Kadang kita ngerasa udah baik. Udah salat lima waktu, ikut kajian, status WA full ayat dan hadits, bahkan isi highlight Instagram tuh quotes dari Ustaz favorit. Tapi anehnya, masih gampang baper, gampang curiga, gampang nyinyir, dan gampang banget ngerasa “gue lebih baik dari dia.” Eh, serius? Jangan-jangan hati kita lagi kosong dari zikir? Lebih ngeri lagi, kita jalan terus tapi ke arah yang salah, tapi ngerasa benar. Itulah kenapa para ulama bilang, hati yang nggak sibuk ingat Allah, bisa jadi malah sibuk pura-pura shalih padahal lagi dibohongin hawa nafsu. Waspada itu sifat munafik. Luarannya manis kayak teh tarik, tapi dalamnya pahit. Omongannya lembut, tapi hatinya licik. Ngerjain shalat, mungkin iya. Tapi semangatnya? Cuma setipis tissue basah. Nah, ternyata salah satu cara buat ngusir kemunafikan adalah dengan banyak zikir. Yup. Ibnu Rajab rahimahullah memaparkan, Ka’ab al-Ahbar rahimahullah berkata, “Siapa yang banyak mengingat Allah, niscaya terbebas dari kemunafikan.” Ibnu Rajab menerangkan, “Ucapan ini didukung oleh firman Allah yang menyebutkan tentang sifat kaum munafik; bahwa mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit. Maka dari itu, siapa yang banyak mengingat Allah, dia telah berlepas diri dari sifat-sifat kaum munafik. Itu sebabnya, surah al-Munafiqun diakhiri dengan perintah untuk berzikir kepada Allah, dan peringatan agar jangan sampai seorang mukmin terlalaikan karena harta atau anak. Juga barang siapa yang terlalaikan olehnya dari mengingat Allah, berarti ia tergolong orang-orang yang merugi.” (dalam Jami’ul 'Ulum wal Hikam, jilid 2, hlm. 516) Artinya, zikir itu indikator keimanan. Semakin sering kita zikir, semakin kita jauh dari kemunafikan. Bukan karena zikir itu bikin kita sakti, tapi karena zikir itu menghidupkan hati. Dan hati yang hidup itu nggak bisa pura-pura dalam iman. Tapi Bro en Sis, zikir itu bukan ritual ngitungin tasbih sambil mikirin notifikasi TikTok. Bukan juga cuma rutinitas habis salat biar cepat selesai. Zikir itu kesadaran penuh bahwa kita lagi bareng Allah Ta'ala, entah pas di kasur, di motor, di warung, atau di tengah tugas numpuk. Zikir itu kayak kamu nge-chat Allah nonstop. Bukan spam, tapi cinta. Bukan formalitas, tapi komitmen. Mau bebas dari kemunafikan? Bukan cuma pakai quotes IG islami. Tapi dengan ngebenerin hubungan sama Allah Ta'ala lewat zikir. Ingat Allah bukan karena takut dosa doang, tapi karena cinta-Nya bikin hidup kita punya arah. Karena zikir bukan cuma nyambung ke langit, tapi juga bikin kita tetap membumi dengan hati yang waras dan iman yang tegas. Itu sebabnya, hati yang lupa or lalai itu udah tertipu. Waspadalah! [OS]

*Jangan Diam, Tapi Jaga Iman* Di zaman sekarang, yang rame belum tentu benar, dan yang benar belum tentu berani ngomong. Apalagi kalo lagi bahas politik--komennya bisa lebih pedas dari sambal korek atau tahu jeletot, dan efeknya? Bisa bikin orang mikir dua kali buat buka suara. Ini bukan cuma soal beda pilihan, tapi soal takut dikucilkan, takut diserbu komentar, takut dibilang “bukan bagian dari kita”. Akhirnya? Banyak yang memilih diam. Eh, tapi diamnya itu bukan karena nggak punya pendapat, tapi karena takut! Hmm... saya jadi inget salah satu teori saat kuliah di ilmu komunikasi. Jadi, kondisi kayak gini nih yang dijelaskan oleh teori _Spiral of Silence_, yakni sebuah teori komunikasi massa yang bilang bahwa orang cenderung membungkam pendapatnya kalo merasa pendapatnya minoritas. Oya, sekadar tahu aja, teori _Spiral of Silence_bukan hasil ngelamun anak jurusan komunikasi pas ngopi, lho. Teori ini dibikin sama Elizabeth Noelle-Neumann, seorang sosiolog dan jurnalis asal Jerman, yang sempet hidup di zaman Nazi, zaman ketika beda pendapat itu bisa berakhir di kamp konsentrasi. Nah, contoh zaman sekarang kayak remaja yang pengen bilang, “Aku nggak sepakat sama kalian,” tapi karena takut atau sungkan akhirnya cuma ngelus dada sambil bilang, “Skip, aku chat AI aja, deh.” Dan ini nggak cuma soal politik. Dalam kehidupan sehari-hari, remaja juga sering ngalamin. Mau ngasih pendapat di kelas, tapi takut diketawain. Mau beda pendapat di grup tongkrongan, tapi takut dibilang sok. Mau angkat suara soal kebaikan, tapi takut dianggap sok suci. Teori _Spiral of Silence_ menjelaskan kenapa orang lebih memilih diam ketika pendapatnya berbeda dari mayoritas, karena takut dikucilkan. Di masa lalu--sebelum ada media sosial--ini lebih kelihatan. Media mainstream mendominasi arus opini publik, dan orang-orang yang berbeda pendapat, ya udah, diam aja. Disimpan di hati, lalu curhat ke bantal. Kamu sekarang kayak gini, nggak? Hehe... Tapi sekarang? Media sosial bikin semua orang bisa teriak! Bahkan, kadang yang minoritas terlihat seperti mayoritas karena algoritma dan echo chamber (ruang gema). Di medsos, ini sering kejadian. Algoritma cuma nampilin konten yang kamu suka dan setuju. Akhirnya, kamu kayak tinggal di dunia yang sepemikiran semua. Seru sih, tapi bahaya kalau bikin kamu ngerasa paling benar sendiri dan anti kritik. Kamu yang doyan main di X (dulu Twitter), ini medsos termasuk yang isinya brutal. Sering berantem dan penuh caci maki. Ada kelompok A, bawa narasi "pemimpin ideal". Lawannya, kelompok B, bilang itu "pemimpin gagal". Lalu dua-duanya bikin konten, bikin thread, bikin podcast, bikin noise. Ribut. Bisa ditebak, kedua kubu ini saling serang, saling screenshot, saling ‘seruduk’, dan saling ngaku paling benar. Akhirnya, masing-masing pengikut merasa, "Aku nggak sendirian. Banyak yang sepemahaman denganku. Kita rame!" Nah, di sinilah _Spiral of Silence_ jadi agak “patah". Sebab di medsos, yang minoritas bisa nyari teman minoritas lain, dan akhirnya bikin kelompok sendiri. Mereka nggak diam, tapi malah jadi lebih vokal, bahkan sering jadi_toxic_banget. Misalnya, satu orang komentar beda dikit, langsung dihujat massal. Orang lain yang tadinya pengen komen, akhirnya mikir dua kali, "Udahlah, entar akunku diserang kayak kemarin. Mending diem.” Ini contoh _Spiral of Silence_. Kamu pengen share info netral soal politik, tapi karena grup isinya satu warna semua, akhirnya, "Skip. Mending kirim sticker lucu aja.” ini juga contoh _Spiral of Silence_. Tapi ada juga yang justru jadi loud banget! Punya komunitas satu kubu, isinya nyebar meme, goreng isu, dan ngebully yang beda. Mereka merasa “kita mayoritas!”, padahal belum tentu. Kalo ini namanya efek _echo chamber_, yang bisa "melawan"_Spiral of Silence._ Dalam Islam, menyampaikan kebenaran itu bukan soal rame-ramean. Allah Ta'ala lihat keberanian, keikhlasan, dan adab kita dalam berbicara. Dan jangan lupa, diam karena takut salah itu boleh. Tapi diam karena takut nggak populer? Wah, hati-hati. Bisa jadi kita meninggalkan kebenaran hanya demi kenyamanan sosial. Teori _Spiral of Silence_ masih relevan, apalagi kalo kamu minoritas di ruang opini publik. Tapi era medsos bikin teori ini bergeser. Sekarang, suara minoritas bisa makin keras, asal pintar bikin konten dan punya komunitas untuk menggemakan suara. Jangan ikut-ikutan rame cuma karena takut ditinggal. So, kalo memang benar, beranilah bicara. Tapi tetap dengan iman, ilmu, dan adab. Nah, berani menyuarakan kebenaran itu bagian dari menjaga iman. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, _“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.”_ *(HR Muslim, no. 49)* Jadi, kalo kamu merasa sendirian karena pendapatmu beda, bukan berarti kamu salah. Bisa jadi kamu adalah satu dari sedikit orang yang masih mau jaga iman di tengah kebisingan dunia dengan segala macem keburukannya. Jangan diam. Tapi tetap jaga akhlak, jaga hati, dan jaga iman. Yuk, saling mendoakan dan saling _support_ dalam kebaikan. [OS]

*Nggak Usah Nyinyir, Yuk Saling Support!* Kadang yang bikin capek itu bukan medan dakwahnya, tapi suara-suara sumbang dari sesama pasukan ngaji. Temen satu lingkaran, satu majelis, satu gerakan--tapi begitu ada yang bersinar sedikit karena sering diundang jadi pembicara, masuk poster kajian, followers-nya makin nambah, terus kamu mulai bisik-bisik ke temen lain, dan ngasih label, “Wah, dia mah seleb dakwah tuh sekarang." Lah, emangnya berdakwah itu salah kalo dilihat orang? Emangnya kalo sering diundang ceramah, itu otomatis tanda nggak ikhlas? Yuk, kita ngobrol jujur. Eh, jangan-jangan yang nyinyir itu sebenernya lagi gagal ngatur hati, bukan gagal paham dakwah. Bismillah, yuk mulai ikhtiar benerin niat. So, daripada terus nyinyir, mending upgrade ikhtiar! Pernah dengar istilah Crab Mentality? Ya, istilah crab mentality, alias mental kepiting. Ya, ini soal kelakuan mirip beberapa kepiting dalam ember, ketika satu kepiting udah mau naik ke atas, eh kepiting lainnya malah narik dia turun. Alhasil? Semua tetap terjebak di ember, nggak ada yang naik dan berhasil keluar. Begitu juga di dunia dakwah. Harusnya kalo ada yang berkembang, ya kita ikut seneng dong. Tapi nyatanya? "Ih, dia tuh bukan berdakwah karena Allah, tapi karena cari panggung." Wait. Kamu bisa baca niat orang? Atau itu cuma cara halus buat nunjukin kalo kamu belum diajak naik panggung juga? Bro en Sis, dengki itu bukan prestasi. Dalam Islam, mental kayak gini disebut hasad, alias iri bin dengki. Padahal, mestinya ketika ada saudara kita mendapatkan nikmat, kita senang dong. Sebagaimana Anas bin Malik radhiallahu 'anhu menyampaikan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya, _"Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”_ *(HR Bukhari dan Muslim)* Jadi, Kalo kamu pengen dikenal, ya ikhtiar juga dan nunjukkin kelayakan. Jangan malah benci temen yang udah dikenal. Kata al-Hafiz Ibnu Rajab rahimahullah, “Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin akan senang terhadap segala sesuatu yang menyenangkan saudaranya yang mukmin. Dia akan menginginkan berbagai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia menginginkan untuk dirinya. Ini semuanya bersumber dari hati yang selamat dari penyakit khianat, iri, dan dengki. Sebab, penyakit hasad (iri dan dengki) akan mengajak pemiliknya untuk membenci orang yang mengungguli dia dalam kebaikan atau menyamainya. Dia ingin menjadi orang yang berbeda dengan orang lain dengan keutamaan-keutamaan yang dia miliki." (dalam Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hlm. 217) Intinya, orang beriman itu hatinya bersih dari iri. Dia senang kalo saudaranya senang. Itu sebabnya, kalo kamu kesel lihat temen dapet undangan dakwah duluan, mungkin yang perlu diundang duluan ke hati kamu adalah keikhlasan. Coba renungkan deh. Kalo yang kamu iri-in itu justru temen satu circle dakwah, berarti selama ini kamu dakwah bareng tapi masih main levelan? Dakwah bukan kompetisi urusan dunia, Bro en Sis. Ini ladang amal untuk akhirat. Lagian, panggung dunia nggak menentukan nilai kamu di akhirat. Mereka yang sering tampil belum tentu menang. Mereka yang jarang nongol di frame layar kamera podcast disebut belum tentu luput dari catatan pahala. So, tumbuhkan hati yang lapang. Jangan jadi bagian dari ember penuh kepiting. Jadilah orang yang bilang, “Alhamdulillah, temenku makin keren dakwahnya. Semoga aku nyusul, atau minimal dapet pahala dari doain dia.” Mengapa harus demikian? Karena dalam tim dakwah, semakin banyak yang bersinar, semakin terang jalannya. Bukan makin banyak yang ditarik turun, biar semua tetap gelap. Yuk, jadi pejuang dakwah yang tulus. Kalo ada yang sukses, jangan disikut, tapi disemangatin. Sebab, di mata Allah Ta'ala, yang dinilai bukan panggungnya, tapi hatinya. So, nggak usah nyinyir, tapi kita saling support aja dalam kebaikan. [OS]

Buku *"Jangan Jadi Bebek"* terinspirasi dari remaja yang asal berbuat, tidak memikirkan alasan melakukan dan tidak memikirkan akibatnya. Sekadar ikut-ikutan tren, tanpa peduli apakah tren tersebut boleh atau tidak, dianjurkan atau malah dilarang. Cenderung "Hajar dulu, urusan belakangan". Jelas bahaya. Isi buku ini berupa kumpulan tulisan saya. Seputar remaja, keluarga, pergaulan, dan Islam. Buku lama, tapi masih relevan di masa kini. Kejadian mirip, hanya kondisi yang berbeda: tren pacaran, musik, film, fashion, dan gaya hidup remaja lainnya. Kabar baiknya, buku ini masih ada dan bisa kamu dapetin langsung dari saya. Pembelian bisa di link ini: https://wa.me/p/29994263660160966/6282213161918

*Tabiat Bukan Alat Maksiat* “Aku emang gini orangnya, kamu terima aja.” Kalimat kayak gini tuh udah kayak password umum buat ngeles dari tanggung jawab. Padahal, yang namanya tabiat atau watak bawaan, itu bukan excuse buat bebas berbuat semaunya. Apalagi buat maksiat. Kamu nggak bisa bilang, “Aku emang gampang emosi, jadi wajar dong mukulin temen.” Eh, nggak gitu juga, Bro! Imam Junaid al-Baghdadi rahimahullah berkata, الإِنْسَانُ لَا يُعَابُ بِمَا فِي طَبْعِهِ، إِنَّمَا يُعَابُ إِذَا فَعَلَ بِمَا طبعه. "Manusia tidak dianggap cacat karena wataknya. Namun, ia dianggap cacat ketika melakukan (sesuatu yang tercela) berdasarkan apa yang ada dalam wataknya." (dalam Tahdzib Hilyah al-Auliyaa, jilid 3, hlm. 381) Betul, sebagaimana kata Imam Junaid al-Baghdadi, manusia nggak langsung dinilai buruk cuma karena wataknya. Tapi dia jadi tercela kalau nurutin wataknya buat ngelakuin hal buruk. Artinya, yang bikin rusak bukan wataknya, tapi pilihan kamu sendiri buat nyalain mode 'auto dosa'. Waspada! Watak itu ibarat mesin motor. Ada yang bawaan pabriknya ngebut, ada yang kalem. Tapi semua tergantung yang ngendarain. Mau kamu dikasih mesin Vario, Ninja, atau Supra--kalo dibawanya buat kebut-kebutan di jalan sempit, ya tetep bisa celaka dan mencelakakan orang lain. Sama kayak tabiat. Kalo kamu rawat dan arahkan, bisa jadi kendaraan buat amal. Tapi kalo dibiarin liar? Ya siap-siap nabrak batas syariat. Punya watak gampang marah? Nggak salah. Punya tabiat bawaan suka menyendiri? Ya, nggak salah juga. Tapi kalo marah-marahnya sampe ngebentak orang tua, ngatain temen, atau ngambek pas disuruh shalat, itu mah bukan tabiat, tapi kamu yang milih buat berdosa. Begitu pun kalo suka menyendiri dan nggak peduli orang di lingkungan sekitar yang butuh pertolonganmu. Kamu hanya fokus pada urusan dirimu sendiri, itu mah namanya egois. Bedain antara karakter alami sama kelakuan yang disengaja. Orang yang sabar bukan berarti nggak pernah pengen marah. Tapi dia tahu, nggak semua rasa harus diturutin. Sama kayak orang yang punya tabiat cuek. Kalo dia tetap peduli sama temennya yang kesusahan, justru itu lebih mulia dari yang “sok peduli” tapi ujung-ujungnya update story doang, nggak bantu apa-apa. Lagi-lagi, Allah Ta'ala menilai kita bukan dari bawaan, tapi dari bagaimana kita ngelola dan ngarahin watak itu jadi jalan kebaikan. So, rugi banget kalo kamu lahir punya suara bagus, tapi tiap hari malah 'nyanyiin' lagu ghibah, atau kamu pinter banget ngomong, tapi dipakai buat ngeles dosa dan ngebully orang. Sayang banget. Allah Ta'ala memberikan watak itu buat digunakan untuk kebaikan, bukan buat melakukan pembenaran dalam keburukan dengan berlindung atas nama watak. Nggak gitu konsepnya. Itu sebabnya dalam Islam, perjuangan paling berat itu bukan ngelawan musuh di luar, tapi nafsu dalam diri sendiri. Lawan keras kepala kamu yang ngerasa “ya emang aku begini.” Lawan pembelaan diri yang bilang “toh aku nggak seburuk itu.” Mengapa? Karena setan itu suka banget kalo manusia nyaman dengan keburukannya sendiri. Memang, kita nggak bisa milih dilahirkan kayak apa, wataknya gimana, lingkungannya seperti apa. Tapi kita bisa milih mau jadi pribadi kayak apa. Kalo hari ini kamu sadar watak kamu masih kasar, egois, pelit, atau suka males, mulai deh perbaiki. Sebab, yang penting bukan siapa kamu waktu lahir, tapi siapa kamu waktu nanti kembali ke akhirat. Tabiat emang bisa nempel dari kecil, tapi amal yang ditulis malaikat itu hasil akhir. Itu sebabnya kamu perlu muhasabah: apakah kamu mau watak jadi alasan pembenaran atau kamu mau watak jadi jalan keselamatan? [OS]

Arsip Talkshow dalam acara Bedah Buku *"Jangan Nodai Cinta"* Silakan bisa disimak di video ini: https://youtu.be/zlZzV0uarFc?feature=shared

Proses penulisan buku ini cukup unik, setidaknya menurut saya sebagai penulisnya. Banyak ide dan inspirasi dari bejibunnya pertanyaan dari pembaca *Buletin Remaja gaulislam*, yang saya kelola bersama kawan-kawan. Rata-rata, bahkan sebenarnya mayoritas pertanyaan remaja yang dikirim melalui SMS saat itu (antara tahun 2007 hingga 2014) adalah seputar pergaulan dengan lawan jenis, pacaran, bahkan ada yang mengaku sudah dinodai pacarnya. Astaghfirullah. Miris. Tapi begitulah faktanya. Problem remaja saat itu, dan juga bisa sama dengan remaja saat ini, adalah seputar pacaran dan mungkin pergaulan bebas dengan lawan jenis. Walau sekarang problem lainnya juga muncul, yakni penyuka "sesajen" alias sesama jenis alias homoseksual. Na’udzubillah. *Buku "Lupakan Mantanmu!"* ditulis dengan harapan untuk menghadirkan pencerahan agar para remaja jangan terulang untuk melakukan kemaksiatan berupa pacaran. Lalu putus, dan lupakan sang mantan. Bahaya, apalagi di zaman medsos yang semua orang bisa berkumpul dan berkomunikasi di dalamnya. Harus waspada. Ditulis dengan gaya bahasa khas remaja, ya, mirip-mirip kalo saya nulis di channel saya ini. Tujuannya, agar bisa dengan mudah dipahami para remaja. So, langsung aja klik link di bawah ini untuk pembelian buku *Lupakan Mantanmu!* https://wa.me/p/9751571508237783/6282213161918

Dari arsip lama. Program Majalah Udara Voice of Islam di MediaIslamNet. https://youtu.be/Qzdfa_BqSSA?feature=shared