O. Solihin WhatsApp Channel

O. Solihin

112 subscribers

About O. Solihin

Sekadar catatan berupa ide, inspirasi, pengalaman, dan opini. Pernah menulis beberapa buku remaja (2002 - 2016) dan mengelola Buletin gaulislam (2007 hingga saat ini).

Similar Channels

Swipe to see more

Posts

O. Solihin
O. Solihin
5/16/2025, 4:09:48 AM

*Waspada Jadi Bahagia, Lengah Jadi Bencana* Ada orang yang tampak tenang, tapi hatinya selalu waspada. Ya, waspada karena takut dosa, takut kecewain Allah Ta'ala, takut amalnya nggak diterima. Kabar gembiranya, justru mereka inilah yang paling dekat dengan bahagia. Mengapa? Karena ketakutannya bukan bentuk kelemahan, tapi bukti iman yang hidup. Sebaliknya, ada yang hidupnya kelihatan enjoy dan ngegampangin, tapi itu karena dia udah nggak peduli mana salah mana benar. Dan itu sebenarnya bukan tenang, tapi itu tumpulnya nurani. Waspada bukan tanda lemah, tapi tanda jiwa yang masih punya arah. Lengah bukan tanda bebas, tapi awal dari hidup yang lepas kendali. Dalam hidup ini, bukan siapa yang paling santai yang menang, tapi siapa yang paling hati-hati. Karena banyak orang tenggelam dalam maksiat, bukan karena nggak bisa 'berenang' dalam mengarungi kehidupan, tapi karena merasa aman di laut dosa yang tenang. Padahal, kata ulama, justru orang yang paling takut itulah yang paling berakal. Mereka yang paling waspada itulah yang paling layak bahagia. Sedangkan yang terlalu santai, ya siap-siap aja, karena bencana itu nggak selalu datang pake suara keras. Kadang, ia datang dalam bentuk rasa aman yang menipu. Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah, " أعـقَـل الناس مُحسن خَائف ، وأحـمَـق الناس مُسيء آمن ". "Orang yang paling berakal adalah orang yang berbuat baik lagi takut (akan adzab Allah), dan orang yang paling pandir adalah orang yang berbuat kejelekan lagi merasa aman (dari adzab Allah). (dalam at-Tabshirah li Ibnul Jauzi, jilid 1, hlm. 351) Wah, dalem banget. Jadi ukuran cerdas itu bukan seberapa cepat kamu bisa ngoding atau bikin skripsi dalam waktu singkat, tapi seberapa sadar kamu bahwa kebaikan itu harus ditemani rasa takut, bukan kegeeran alias ngerasa percaya diri akan baik terus. Ya, kita tuh kadang suka salah paham soal siapa yang cerdas dan siapa yang... yah, maaf nih, pandir alias bodoh dan bebal. Di sekolah, yang dibilang pinter itu yang ranking 1, jago ngerjain soal, hafal rumus, dan bisa jawab semua pertanyaan kecuali "kapan kita halal?" (eh, ke sini lagi contohnya). Tapi tunggu dulu, sebagaimana yang udah disampaian Imam Ibnu Jauzi, itu semua belum tentu tanda orang berakal. Orang berakal itu kayak orang naik motor di jalanan curam. Helm dipake, rem dicek, mata awas. Dia ngebut dalam kebaikan, tapi tetap takut jatuh. Dia tahu, Allah Maha Melihat, dan surga nggak bisa diraih dengan santuy-santuy aja, hanya rebahan tanpa bersusah payah beramal shalih dan getol minta ampunan Allah Ta'ala. Gimana dengan orang pandir? Jadi, itu kayak dia lagi naik roller coaster sambil makan bakso. Dia ngerasa aman padahal bahaya udah ngintip (kalo kuah panasnya tumpah gimana?). Begitu pun dalam kehidupan ini. Dosa diulang-ulang, tapi bilang, “Tenang aja, Allah kan Maha Pengampun.” Ya, Allah Maha Pengampun, tapi bukan berarti kamu bisa ngelakuin dosa berulang kayak orang transfer duit ke rekening. Kelakuan ngawur tapi berharap dimaafin tiap waktu. Duh. Berbuat dosa sambil nyantai, sama sekali itu bukan keren. Itu kecerobohan alias ngawur. Mestinya, kita tetap berbuat baik sambil tetap takut dan khawatir amal shalih kita nggak diterima sama Allah Ta'ala. Sehingga kita tetap waspada jalani hidup. Jadi, kalo kamu ngerasa udah cukup baik, jangan cepat pede. Dan kalo kamu ngerasa aman dalam dosa, itu alarm bahaya. Sebab, cerdas sejati bukan yang paling tahu, tapi yang paling takut dan paling serius dalam taat. Mau jadi pintar versi dunia, atau berakal versi akhirat? Pilih yang dua-duanya ya, tapi jangan tukar yang utama demi yang fana. Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba Allah Ta'ala yang tetap waspada dan jangan lalai. Yuk, saling mendoakan dan saling _support_ dalam kebaikan. [OS]

❤️ 1
O. Solihin
O. Solihin
5/15/2025, 2:20:32 PM

*Nggak Maksiat, Tapi Ngefans* “Aku sih nggak ngelakuin, cuma ngefans aja.” Hmm... kalimat yang terdengar ringan, bahkan kayak nggak merasa salah apa-apa. Tapi tahu nggak, kadang hati yang ngefans bisa lebih berbahaya dari tangan yang nggak ngapa-ngapain. Bukan karena kamu turun ke jalan dosa, tapi karena kamu duduk di tribun penonton sambil tepuk tangan dan teriak, “Kereeeennn!” kepada pelaku maksiat. Ngawur, ah! Zaman sekarang, kita bisa nge-like, follow, dan support apapun tanpa harus ikut-ikutan. Tapi justru di situlah masalahnya. Ketika hati mulai bersorak untuk maksiat, walau cuma lewat scroll dan swipe, kita bisa jadi bagian dari dosa itu. Mengapa? Karena ridha--bahkan diam-diam--bisa menyeret kita ke barisan pelaku, bukan penyelamat. _Naudzubillahi min dzalik._ Ya, ridha terhadap kemungkaran, meski hanya lewat diam dan senyum tipis, bisa bikin kita kena getahnya. Seperti istri Nabi Luth yang nggak ngelakuin dosa kaumnya, tapi ikut diazab karena dia ridha. Nah, dengerin nih wejangan pedas tapi penuh hikmah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, ومن رضي عمل قوم حُشِر معهم، كما حُشِرت امرأة لوط معهم ولم تكن تعمل فاحشة اللواط، فإن ذلك لا يقع من المرأة، لكنها لما رضيت فعلهم عمَّها العذاب معهم. "Siapa saja yang ridha terhadap perbuatan suatu kaum maka dia akan dikumpulkan bersama mereka, seperti istri Nabi Luth dikumpulkan bersama mereka padahal dia tidak pernah melakukan homoseksual, karena hal itu memang tidak bisa dilakukan oleh wanita, tetapi ketika dia ridha dengan perbuatan mereka maka adzab pun menimpanya bersama mereka." (dalam Majmu’ul Fatawa, jilid 15, hlm. 344) Waaah... ini serius banget. Jadi ternyata, ridha terhadap dosa, walau cuma duduk manis sambil ngelihatin, bisa masuk kategori ‘ikut andil’ di mata Allah Ta'ala. Bahkan walau kita nggak ngapa-ngapain. Cuma diem. Cuma senyum. Cuma ngedukung pasif. Tapi ternyata, itu cukup untuk bikin kita “diundang” ke tempat yang sama dengan para pelaku dosa. Ngeri! Memang sih, kamu nggak ikut maksiat, tapi ngasih lampu hijau alias setuju. Misalnya, ada temen ngejelekin orang lain, dan kita ketawa-tawa. Atau ada yang pamer aurat, dan kita kasih like. Atau ada yang nyebarin konten dosa seperti adegan pacaran, dan kita bilang, “Keren sih, walaupun... ya, agak _edgy_ dikit.” Lah, itu udah cukup jadi bentuk “ridha”. Dan ternyata... itu berat. Banget. Istri Nabi Luth nggak ikut maksiatnya. Tapi dia nggak menolak, nggak ngingkari, bahkan mungkin diam-diam membenarkan. Dan akhirnya... dia masuk daftar penumpang gelombang azab. Ini bukan dongeng. Ini _warning._ Lalu, harus gimana? Kita nggak harus jadi polisi moral tiap waktu, tapi minimal: nggak ridha. Nggak kasih panggung. Nggak jadi penonton yang bersorak. Dan kalo bisa, kasih peringatan (dengan cara yang hikmah dan nggak ngegas, nggak menggurui). Kita ini makhluk sosial, iya. Tapi jangan sampai solidaritas bikin kita jadi kompak dalam maksiat. Solidaritas sejati itu ketika kita saling jagain dari sentuhan api neraka, bukan saling temenin ke arah dosa. Jadi, kamu di mana saat dosa terjadi? Kalo kita nggak bisa mencegah, jangan ikut mendukung. Kalo nggak bisa berdiri lantang, minimal jangan duduk di barisan sorak-sorai, jangan jadi cheerleader kemaksiatan. Mengapa? Karena Allah nggak butuh kita jadi pelaku buat kasih azab. Cukup ada ridha di hati terhadap maksiat, udah cukup jadi alasan buat dikumpulin bareng pelakunya. _Naudzubillahi min dzalik._ Ayo, jadi orang yang jelas sikapnya. Nggak ikut maksiat, nggak dukung juga. Sebab, kadang yang bikin kita celaka itu bukan apa yang kita lakukan. Tapi apa yang kita biarkan. Senyum setuju bisa jadi surat undangan untuk diazab. Waspadalah. Semoga kita semua dimudahkan untuk berbuat taat kepada Allah Ta'ala, tidak mendiamkan kemaksiatan, dan tidak mendukung perbuatan dosa. [OS]

❤️ 3
O. Solihin
O. Solihin
5/17/2025, 9:50:48 AM

Saya pernah menulis cerpen remaja untuk _Majalah Permata_, sekitar 22 tahun lalu. Arsipnya ada di website ini. Ini salah satu judulnya. *Secret Admirer* Sejak baca e-mail dari seseorang yang mengaku sebagai penggemar rahasianya, Ogi jadi nggak enak ati. Kok masih aja masa lalunya diungkit-ungkit. Masa lalu Ogi sebagai vokalis band sekolahan yang sedikit demi sedikit ingin dikuburnya. Masa lalu yang indah dari panggung ke panggung. Tentu saja, lengkap dengan pujaan dan pujian dari para penggemar beratnya. Meski nggak ngetop-ngetop amat, minimal dikenal anak sekolah di wilayahnya. Soal penggemar? Jangan ditanya, karena dulu Ogi sering bawain lagu-lagunya Guns N Roses dan Metallica, maka banyak penggemarnya kalangan anak-anak metal juga. Sejak nyadar dan masuk rohis, Ogi ingin segala hal tentang dirinya dihapus dari lembaran hidupnya. Ogi bertekad, biarlah sebagai vokalis band adalah masa lalunya, tapi jadi anak rohis adalah masa depannya. “Siapa ya? Kok berani-beraninya mengaku sebagai penggemar rahasiaku. Kayak lagunya Mocca neh..” Ogi nggak abis pikir sambil pengen ketawa. Ia terus mencari jawabnya. Tapi tak satupun ingatannya mampu melacak siapa dia. Yang jelas, account e-mailnya berinisial “Si Paul”. Ogi sama sekali nggak tahu siapa dia. Seingatnya tak ada orang dekat yang ia kenal dengan nama itu. Tadinya Ogi mau iseng nyari pake search engine macam google (dasar nyandu internet) “Mungkinkah ini nama samaran?” Ogi kembali membatin sambil tiduran dengan lipatan kedua tangannya menyangga kepala. Terdengar musik berisik dari mini compo-nya, lagu Fade To Black milik Metallica versi konsernya yang iramanya mirip-mirip lagu One. Huhuy! “Ah, ngapain diurusin, toh juga baru sekali ini dia kirim e-mail,” ucapnya dalam hati saat HP-nya bunyi yang menandakan ada SMS yang masuk. Ogi segera membuka pesan tersebut dari deretan angka yang nggak dikenalnya. *SELENGKAPNYA di link ini:* https://cerpenislami.com/secret-admirer/

❤️ 2
O. Solihin
O. Solihin
5/16/2025, 1:24:06 PM

https://youtu.be/QQyGKKUADgQ?feature=shared

❤️ 1
O. Solihin
O. Solihin
5/14/2025, 8:13:13 AM

https://youtu.be/ewhdjI8pMnY?feature=shared

❤️ 2
O. Solihin
O. Solihin
5/17/2025, 2:38:05 AM

*Ngasih Tahu, Bukan Cuma Bikin Seru* Temen yang asik itu penting. Tapi temen yang ngasih tahu pas kamu mulai ngaco, itu jauh lebih penting. Sebab, hidup ini bukan cuma tentang vibes dan healing. Adakalanya, yang kita butuhin bukan yang ikut ngakak bareng, tapi yang berani bilang, “Eh Bro, kamu lagi kelewatan!” Emang sih, yang begini nggak selalu populer. Tapi percaya deh, mereka yang bikin kamu sadar, itu jauh lebih keren dari yang cuma bikin kamu senang sebentar. Beneran sih, kadang kita kira sahabat itu yang paling sering bikin kita ketawa, dia yang selalu dukung apa pun keputusan kita. Tapi sahabat sejati ternyata nggak selalu datang bawa pelukan. Adakalanya malah datang bawa peringatan. Bukan karena dia nyebelin, tapi karena dia peduli. Dia tahu, hidup ini bukan soal kesenangan sesaat, tapi keselamatan yang hakiki di akhirat kelak. Itu sebabnya, kalo kamu punya teman yang lebih sering ngingetin daripada nyenengin, jangan buru-buru ilfeel. Bisa jadi, dia jembatan kamu menuju ridha Allah Ta'ala. Zaman sekarang, banyak yang bingung milih teman. Ada yang kalo ketemu bawa amplop (tentu sama isinya), traktir makan, ngasih "hadiah". Pasti kamu senang jadi temannya, kan? Ya, jujur aja sih. Ada juga teman yang kalo ketemu bawa ayat dan hadits. Ngasih nasihat tanpa kamu minta. Jadinya bikin kita mikir. Adakalanya malah bikin nggak bisa tidur. Pertanyaannya: kamu lebih milih yang mana? Imam al-Auzâ'iy rahimahullah berkata bahwa beliau mendengar Bilal bin Sa'ad rahimahumallahu berkata, أخ ‌لك كلما لقيك ذكرك بحظك من الله ‌خير ‌لك من أخ كلما لقيك وضع في كفك دينارا. “Saudaramu yang setiap berjumpa denganmu ia mengingatkan tentang hakmu terhadap Allah, lebih baik dari saudaramu yang setiap kali ia berjumpa denganmu ia menaruh satu dinar di telapak tanganmu.” (dalam Hilyatul Auliyâ wa Thabaqâtul Ashfiyâ, jilid 5, hlm. 225) Ya, mungkin temen yang ngasih duit bikin dompet kamu tebal, tapi temen yang ngasih nasihat bikin iman kamu hidup. Teman yang pertama ngisi saldo e-wallet, teman yang kedua ngisi ulang hati yang sekarat. Dan jujur aja, kadang kita lebih seneng temen yang nyuguhin ayam geprek daripada temen yang ngingetin dosa. Soalnya yang satu bikin kenyang, yang satu bikin tengsin. Tapi justru yang bikin nggak nyaman itu, biasanya yang bikin kits selamat. Teman sejati itu bukan yang cuma ngasih “uang jajan”. Tapi yang ngasih kamu alasan buat kian dekat sama Allah Ta'ala. Dia nggak takut kamu ngambek, karena dia lebih takut kamu nyungsep di hari hisab kelak. Dia sayang sama kamu, bukan cuma di dunia yang bentar, tapi di akhirat yang panjangnya nggak ada ujung, yang kekal abadi. Jadi, kalo kamu punya temen yang suka nasihatin walau dengan gaya nyebelin, jangan buru-buru left group WhatsApp. Itu bisa jadi “penjaga iman” kamu yang paling ikhlas. Dan kalo kamu belum punya, mulai deh cari. Nggak harus yang alim banget, yang penting sama-sama mau ngingetin kalau salah. Saling support dalam kebaikan. Saling doakan untuk tetap istiqamah dalam keimanan. Bro en Sis, dunia ini penuh godaan, dan kita nggak selalu kuat sendirian. Maka, punya teman yang getol ngingetin agar dekat dengan Allah Ta'ala itu bukan beban. Itu berkah! Bahkan lebih mahal dari duit dan harta benda yang cuma numpang lewat. Yuk, bisa, ya. Semoga kita bisa saling mendoakan dalam kebaikan dan kita bisa istiqamah sampai dalam keimanan hingga akhir hayat. [OS]

❤️ 1
O. Solihin
O. Solihin
5/18/2025, 6:09:41 AM

*Lelah, Tapi Tak Lelap* Pernah nggak sih, badan udah capek kayak habis lomba lari keliling lapangan tujuh kali--eh, tapi mata malah melek kayak lampu jalanan yang lupa dimatiin? Udah guling ke kanan, ke kiri, miring 45 derajat, bahkan doa-doa sederhana yang kamu hafal sejak SD pun udah dilantunkan. Tapi tetap aja: lelah, tapi tak lelap. Malam terasa panjang, kasur jadi saksi bisu kegalauan yang absurd--antara pengen tidur dan overthinking yang ngelantur. Kadang kita lupa, mungkin yang kita butuhin bukan sekadar bantal empuk, tapi kalimat-kalimat langit yang disarankan langsung oleh Nabi--obat insomnia yang nggak bisa dibeli di apotek mana pun. Ya, ketika kamu udah rebahan. Lampu kamar remang-remang. Bantal empuk. AC dingin. Tapi mata kamu malah seperti mode “standby” kayak laptop yang gak mau shutdown. Lalu kamu mulai mikir, “Kenapa ya aku nggak bisa tidur?” Tenang, Bro en Sis. Kamu nggak sendirian. Bahkan Khalid bin al-Walid radhiallahu 'anhu, jenderalnya para jenderal, singa Allah di medan perang, juga pernah ngalami susah tidur! Saya baca di Kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi. Edisi terjemahannya "Ensiklopedia Dzikir dan Doa Imam an-Nawawi rahimahullah. Edisi terjemahannya ini dilengkapi tahqiq, takhrij, dan ta'liq oleh Syaikh Amir bin Ali Yasin. Penerbit Darul Haq. Teks doa ini adalah hlm, 303 kitab tersebut. Tertulis: Kami meriwayatkan di dalamnya dari Muhammad bin Yahya bin Habban, أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ رضي الله عنه أَصَابَهُ أَرَقُ، فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وسلم، فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَعَوَّذَ عِنْدَ مَنَامِهِ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ غَضَبِهِ، وَمِنْ شَرِ عِبَادِهِ، وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ، وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ. _"Bahwa Khalid bin al-Walid radhiallahu 'anhu mengalami sulit tidur, lalu dia mengadukannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau memerintahkannya--ketika hendak tidur--agar berlindung dengan Kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, dari keburukan hamba-hambaNya dan dari godaan setan-setan, dan kedatangan mereka kepadanya (dalam segala aktivitasnya)."_ Sedikit penjelasan tentang doa tersebut. Berlindung dari murka Allah, artinya kadang yang bikin hati nggak tenang itu bukan kopi, tapi dosa-dosa yang belum ditebus. Doa ini ngajarin kita buat sadar lalu lirih berkata, "Ya Allah, jangan marah, ya. Aku mau tidur dalam ridha-Mu." Maksud berlindung dari keburukan Hamba-Nya, karena dunia ini nggak cuma indah, kadang ada juga manusia toxic. Kita minta kepada Allah agar dijauhkan dari mereka, biar tidur kita nggak terganggu aura negatif. Lalu, berlindung dari bisikan setan, karena bisa jadi overthinking itu seringnya bukan dari logika, tapi dari setan yang suka bisikin, “Besok tugas belum dikerjain, kamu gagal!” atau “Masa depan kamu suram!” Nah, baca doa ini, tutup telinga hati dari bisikan gelap. Terakhir, tentu berlindung dari kehadiran setan. Beneran, siapa yang mau ditemenin setan waktu tidur? Boro-boro nonton horor, ditemenin aura negatif aja bikin gelisah. Iya, kan? Jadi, berdoalah untuk itu. Bro en Sis, tidur itu ibadah, lho. Kalo dimulai dengan doa dan rasa tawakal, tidur kita nggak cuma istirahat, tapi juga bentuk keimanan. Kita bisa berdoa, "Ya Rabb, aku lemah, aku butuh tidur. Tapi sebelum itu, lindungi aku dari segala hal yang bisa ganggu hati dan jiwaku." Jadi, sebelum tidur, jangan malah scroll medsos atau mikirin inceran yang nggak pasti menolak, eh menerima. Dan ketika kita bangun, itu pertanda bahwa Allah masih izinkan kita hidup buat berjuang. Bersyukur dan keep istiqamah untuk senantiasa taat kepada Allah Ta'ala. [OS]

❤️ 3
O. Solihin
O. Solihin
5/17/2025, 3:11:54 PM

*Semangat* itu nggak selalu harus teriak “ayo bisa!” sambil lompat. Kadang bentuknya cuma: *“Hari ini aku mau bangun malam untuk tahajud dulu, deh”.* Tapi itu juga perjuangan. *Jangan remehkan* orang yang terus jalan, *meski pelan* .

❤️ 1
O. Solihin
O. Solihin
5/14/2025, 11:09:51 PM

*Ada Tiga Jenis Manusia, Kamu yang Mana?* Di dunia ini, manusia itu ternyata bisa diklasifikasi, bukan cuma dari zodiaknya (eh, tapi ini nggak boleh diyakini, ya), sidik jarinya, golongan darahnya, atau gaya belanja di e-commerce (hadeuh). Tapi juga dari cara dia nyambungin ilmu sama amal, dan sejauh mana hatinya terkoneksi sama Allah Ta'ala. Ini bukan klasifikasi ala-ala kuis kepribadian, tapi insight tajam dari ulama keren bernama Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah. Beliau pernah menyampaikan, أجهلُ الناس من ترك ما يعلم وأعلمُ الناس من عملَ بما يعلم وأفضل الناس أخشعهم لله عزوجل . "Manusia yang paling bodoh adalah yang tidak mengamalkan apa yang telah ia ilmui. Manusia yang paling berilmu adalah yang mengamalkan apa yang telah ia ilmui. Dan manusia yang paling utama adalah yang paling takut kepada Allah 'Azza wa Jalla." (dalam Musnad ad-Darimi, hlm. 342) Widih, ini tuh bukan cuma quote buat status WhatsApp, tapi tamparan halus buat kita semua yang suka nimbun ilmu, tapi males praktek. Baca buku banyak, ikut kajian rajin, tapi akhlak masih gitu-gitu aja. Tahu bahwa shalat di awal waktu itu keren, tapi tetep aja nunggu iqamat buat wudhu. Tahu gibah itu dosa, tapi tetap semangat ngerumpi pake label “doain aja ya...” Hadeuuh... Kategori pertama, yakni manusia versi update tapi nggak upgrade. Ilmu banyak, tapi nggak berdampak. Udah tahu yang benar, tapi tetap milih yang salah. Udah paham polusi itu bahaya, tapi tetap nyampah. Ini tuh bukan kurang cerdas, tapi terlalu malas buat jadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Itu sebabnya kata Sufyan bin ‘Uyainah, ini “manusia paling bodoh.” Bukan karena IQ-nya minim, tapi karena hatinya keras. Nah, kategori kedua ini keren. Mengapa? Sebab, belajar, iya, praktek juga iya. Nggak cuma jadi penonton kebaikan, tapi pelaku langsung. Dia mungkin nggak banyak bicara, tapi tindakannya selalu nyentuh. Ilmu yang masuk ke hati dia bawa ke kaki, tangan, dan perilaku. Ini definisi “alim beneran”--bukan sekadar tahu, tapi ngerasain dan ngejalanin. Ngerti dan paham. Mantep! Gimana dengan kategori ketiga? Ini sih, top. Bukan yang ilmunya paling banyak, tapi yang hatinya paling takut sama Allah Ta'ala. Ini bukan takut ala film horor, tapi takut yang penuh cinta, harap, dan rasa malu. Dia tahu Allah Maha Melihat, makanya gerak-geriknya dijaga banget. Shalatnya khusyuk, lisannya bersih, amalnya diam-diam tapi dalam. Ini manusia “top tier” di langit, bukan di trending TikTok, ya. Jadi, kamu (atau kita) masuk kategori yang mana? Kita hidup di zaman banjir informasi (overload malah), tapi sering kekeringan amal (khususnya amal shalih). Kita pinter bikin konten motivasi, tapi gagal memotivasi diri sendiri. Padahal kunci kemuliaan bukan cuma tahu, tapi hidup dengan apa yang kita tahu. Eh, kalo gini saya malah paling merasa kena deh. Why? Karena saya sering bikin tulisan. Ngajak kepada kebaikan. Semoga saya bisa juga melakukannya. Kita sama-sama saling mendoakan dan saling support dalam kebaikan, ya. Yuk, jangan puas jadi manusia kategori satu. Naik level jadi orang yang bukan cuma ngerti, tapi ngebuktiin. Dan terus berusaha jadi yang paling lembut hatinya di hadapan Allah Ta'ala. Bismillah. Semoga kita bisa mewujudkannya. Ya, karena pada akhirnya, Allah Ta'ala nggak nanya seberapa banyak yang kita tahu. Tapi seberapa jauh kita berani berubah menjadi lebih baik setelah banyak tahu. Keep belajar, keep ngejalanin, dan jangan lupa... keep takut (dalam arti yang benar) kepada Allah Ta'ala. [OS]

😢 👍 3
O. Solihin
O. Solihin
5/14/2025, 3:30:04 AM

*Ngaca Dulu, Yuk!* Kadang kita tuh rajin banget mantengin kesalahan orang. “Ih, si A tuh pamer mulu.” “Si B, gaya doang, kerjaannya kagak ada.” Tapi giliran kita dikritik dikit, langsung baper, sensi, bawaannya pengen uninstall pertemanan. Kenapa bisa gitu, ya? Mungkin karena kita belum sempat... ngaca or introspeksi alias muhasabah diri. Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban al-Bustiy rahimahullah pernah menyampaikan sesuatu yang dalem banget, والعاقل لا يخفى عليه عيب نفسه، لأن من يخفى عليه عيب نفسه خفيت عليه محاسن غيره، وإن من أشد العقوبة للمرء أن يخفى عليه عيبه. "Orang yang berakal tidaklah tersamarkan baginya aibnya sendiri. Siapa yang tidak mengetahui aib dirinya, dia tidak akan mengetahui kebaikan orang lain. Sungguh, termasuk hukuman terberat bagi seseorang ialah dia tidak mengetahui aib yang dia miliki." (dalam Raudhatul 'Uqala, hlm. 22) Wah, ngeri ya. Jadi bukan cuma dosa yang ngundang azab, tapi ketidaksadaran akan aib sendiri juga bisa jadi bentuk hukuman. Kayak hidup dalam rumah yang bau tapi kita ngerasa wangi-wangi aja, padahal semua orang udah tutup hidung. Nah, lho! Beneran. Pernah ngalamin nggak situasi kayak gitu? Kita kadang ngerasa baik-baik saja. Tunjuk sana tunjuk sini. Padahal, sumber masalahnya ada kita sendiri. Glek! Orang yang nggak sadar sama kekurangannya, biasanya juga nggak bisa menghargai kelebihan orang lain. Umumnya sih begitu. Why? Ya, karena dalam kepalanya, dia tuh paling bener, paling paham, paling baik. Padahal bisa jadi... dia cuma paling nggak tahu diri. Apalagi sampe nggak peduli. Itu sebabnya, sebelum kita ngegas ke orang lain, mending kita ngerem dulu. Tarik napas, buka mata hati, dan tanya ke diri sendiri: “Aku tuh udah bener belum ya?” “Jangan-jangan aku yang salah selama ini?” “Udah seberapa sering aku kritik orang, tapi lupa kritik diri sendiri?” Self-awareness itu bukan kelemahan, tapi justru bentuk kekuatan. Mengapa? Karena cuma orang berani yang mau jujur sama dirinya sendiri. Dan, hanya orang cerdas yang bisa ngelihat kaca sebelum nunjuk jendela. Jadi, yuk mulai dari hal paling simpel: muhasabah. Bukan buat bikin kita minder, tapi biar kita bisa upgrade diri. Biar kita nggak cuma jadi komentator kehidupan orang, tapi juga sutradara buat kehidupan sendiri. Hidup itu pilihan. Maka, pilihlah yang terbaik buat kita dengan tuntunan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Toh, orang yang keren itu bukan yang paling cerewet tentang aib orang lain. Tapi dia yang paling tekun memperbaiki dirinya sendiri. Ngaca dulu, Bro en Sis. Jangan-jangan, yang bikin dunia ini ribet... ya kita juga. Semoga kita dimudahkan untuk senantiasa memperbaiki diri. [OS]

❤️ 👍 5
Link copied to clipboard!