
O. Solihin
May 16, 2025 at 04:09 AM
*Waspada Jadi Bahagia, Lengah Jadi Bencana*
Ada orang yang tampak tenang, tapi hatinya selalu waspada. Ya, waspada karena takut dosa, takut kecewain Allah Ta'ala, takut amalnya nggak diterima. Kabar gembiranya, justru mereka inilah yang paling dekat dengan bahagia. Mengapa? Karena ketakutannya bukan bentuk kelemahan, tapi bukti iman yang hidup. Sebaliknya, ada yang hidupnya kelihatan enjoy dan ngegampangin, tapi itu karena dia udah nggak peduli mana salah mana benar. Dan itu sebenarnya bukan tenang, tapi itu tumpulnya nurani.
Waspada bukan tanda lemah, tapi tanda jiwa yang masih punya arah. Lengah bukan tanda bebas, tapi awal dari hidup yang lepas kendali. Dalam hidup ini, bukan siapa yang paling santai yang menang, tapi siapa yang paling hati-hati. Karena banyak orang tenggelam dalam maksiat, bukan karena nggak bisa 'berenang' dalam mengarungi kehidupan, tapi karena merasa aman di laut dosa yang tenang.
Padahal, kata ulama, justru orang yang paling takut itulah yang paling berakal. Mereka yang paling waspada itulah yang paling layak bahagia. Sedangkan yang terlalu santai, ya siap-siap aja, karena bencana itu nggak selalu datang pake suara keras. Kadang, ia datang dalam bentuk rasa aman yang menipu.
Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah,
" أعـقَـل الناس مُحسن خَائف ، وأحـمَـق الناس مُسيء آمن ".
"Orang yang paling berakal adalah orang yang berbuat baik lagi takut (akan adzab Allah), dan orang yang paling pandir adalah orang yang berbuat kejelekan lagi merasa aman (dari adzab Allah). (dalam at-Tabshirah li Ibnul Jauzi, jilid 1, hlm. 351)
Wah, dalem banget. Jadi ukuran cerdas itu bukan seberapa cepat kamu bisa ngoding atau bikin skripsi dalam waktu singkat, tapi seberapa sadar kamu bahwa kebaikan itu harus ditemani rasa takut, bukan kegeeran alias ngerasa percaya diri akan baik terus.
Ya, kita tuh kadang suka salah paham soal siapa yang cerdas dan siapa yang... yah, maaf nih, pandir alias bodoh dan bebal. Di sekolah, yang dibilang pinter itu yang ranking 1, jago ngerjain soal, hafal rumus, dan bisa jawab semua pertanyaan kecuali "kapan kita halal?" (eh, ke sini lagi contohnya). Tapi tunggu dulu, sebagaimana yang udah disampaian Imam Ibnu Jauzi, itu semua belum tentu tanda orang berakal.
Orang berakal itu kayak orang naik motor di jalanan curam. Helm dipake, rem dicek, mata awas. Dia ngebut dalam kebaikan, tapi tetap takut jatuh. Dia tahu, Allah Maha Melihat, dan surga nggak bisa diraih dengan santuy-santuy aja, hanya rebahan tanpa bersusah payah beramal shalih dan getol minta ampunan Allah Ta'ala.
Gimana dengan orang pandir? Jadi, itu kayak dia lagi naik roller coaster sambil makan bakso. Dia ngerasa aman padahal bahaya udah ngintip (kalo kuah panasnya tumpah gimana?). Begitu pun dalam kehidupan ini. Dosa diulang-ulang, tapi bilang, “Tenang aja, Allah kan Maha Pengampun.” Ya, Allah Maha Pengampun, tapi bukan berarti kamu bisa ngelakuin dosa berulang kayak orang transfer duit ke rekening. Kelakuan ngawur tapi berharap dimaafin tiap waktu. Duh.
Berbuat dosa sambil nyantai, sama sekali itu bukan keren. Itu kecerobohan alias ngawur. Mestinya, kita tetap berbuat baik sambil tetap takut dan khawatir amal shalih kita nggak diterima sama Allah Ta'ala. Sehingga kita tetap waspada jalani hidup.
Jadi, kalo kamu ngerasa udah cukup baik, jangan cepat pede. Dan kalo kamu ngerasa aman dalam dosa, itu alarm bahaya. Sebab, cerdas sejati bukan yang paling tahu, tapi yang paling takut dan paling serius dalam taat.
Mau jadi pintar versi dunia, atau berakal versi akhirat? Pilih yang dua-duanya ya, tapi jangan tukar yang utama demi yang fana. Semoga kita bisa menjadi hamba-hamba Allah Ta'ala yang tetap waspada dan jangan lalai. Yuk, saling mendoakan dan saling _support_ dalam kebaikan. [OS]
❤️
1