Minggu lalu, anak saya, Khaled, terluka di bagian jarinya dan harus segera dijahit. Saya membungkus tangan kecilnya dengan selembar kain bersih dan menggendongnya melewati jalanan Kota Gaza yang hancur. Perhentian pertama kami adalah Rumah Sakit Al-Shifa. Rumah sakit itu menjadi tempat kekacauan dan pertumpahan darah. Ruang gawat darurat penuh sesak, tubuh-tubuh tergeletak di atas tikar di lorong-lorong, sebagian nyaris tak bergerak, sebagian lagi tak bergerak sama sekali. Erangan, teriakan nama-nama, desak-desakan brankar membuat suaraku nyaris lenyap ketika aku memohon untuk memanggil perawat. Tidak ada yang mendengar saya. Saya menunggu selama hampir dua jam, berharap ada yang membantu, namun semuanya sia-sia, hingga seorang perawat mengatakan kepada saya, "Ada ratusan orang di sini yang sedang menunggu perawatan. Serangan Israel belum berhenti. Para dokter memprioritaskan mereka yang terluka kritis, menyelamatkan nyawa atau mencegah amputasi."