
Dosen Jualan
June 17, 2025 at 03:50 AM
*[ MEMINJAM TANGAN USTADZ ]*
2014, 11 tahun lalu. Saya menyaksikan empat murid kebanggaan saya berkolaborasi, membangun sebuah bisnis. Dada saya membusung, bangga tak terkira. Apalagi, usaha yang mereka rintis sedang menjadi primadona, tren yang digandrungi banyak orang.
Namun, kebanggaan itu, seperti embun pagi yang bertemu mentari, sirna begitu cepat. Hanya bertahan dua minggu. Tepat lima belas hari setelah peluncuran bisnis mereka, keempatnya datang ke rumah saya. Pemandangan itu masih jelas terekam: iring-iringan empat mobil Fortuner hitam, seragam, mengkilap, terparkir rapi di depan kediaman sederhana saya. Masing-masing membawa serta keluarga mereka.
Saya menyambut mereka dengan senyum, berupaya keras menyembunyikan getar aneh di dalam dada. Saya harus mengapresiasi keberhasilan mereka, meski batin saya ngenes tak terkira. Ada dua hal yang gangggu pikiran saya. Pertama, saya merasa kalah pamor. Mobil Agya mungil saya, tampak begitu kerdil di hadapan barisan Fortuner itu. Mereka jauh di atas saya. Kedua, sebuah firasat buruk menusuk relung hati: ini salah. Bagaimana bisa, bisnis yang baru seumur jagung, baru tumbuh sebatas bibit, sudah digunakan untuk membeli aset semewah itu? Prioritas mereka, menurut saya, sungguh melenceng jauh.
Keinginan untuk menegur, untuk melontarkan kritik membangun, begitu kuat mendesak. Namun, saya menahannya. Bibir saya terkunci. Itu bukan pilihan yang bijak, saya menyadari banyak hal. Pertama, ada istri dan anak-anak mereka di sana, wajah-wajah polos yang mungkin tak akan mengerti. Kedua, status mereka adalah tamu saya, bukan murid di dalam kelas. Etika sebagai tuan rumah harus saya jaga. Dan ketiga, secara usia dan pengalaman bisnis, mereka jelas jauh lebih senior dari saya. Siapa saya untuk menggurui?
Empat hari kemudian, kegelisahan itu kian memuncak. Saya tak bisa lagi menahannya sendiri. Segera, saya menghubungi seorang sahabat lama, teman satu kos dulu waktu kuliah. Kebetulan, beliau adalah seorang ustadz, dan lebih kebetulan lagi, beliau adalah tempat keempat murid saya itu sedang memperdalam ilmu agama. Saya tumpahkan semua unek-unek, semua kekhawatiran yang menggerogoti pikiran. Saya ceritakan bagaimana kebanggaan saya berubah menjadi sebuah kecemasan mendalam.
Dan keajaiban pun terjadi. Selang belasan hari berikutnya, telepon saya berdering. Perwakilan dari keempat murid saya menelepon. Suara mereka terdengar lirih, namun penuh penyesalan. Mereka meminta maaf. Dan yang paling mengejutkan, mereka menyampaikan sebuah kabar yang membuat saya tercekat, lalu tersentak: mobil-mobil Fortuner itu, yang pernah menjadi simbol sukes mereka, sudah dijual beberapa jam yang lalu.
Allahu Akbar!
Sebuah seruan yang keluar begitu saja dari bibir saya, penuh haru dan syukur. Sebuah pelajaran besar baru saja terukir.
Apa hikmah yang bisa Anda dapatkan dari cerita ini?
👍
1