
Ethereal Words💌
10 subscribers
About Ethereal Words💌
*Ethereal Words*💌 Kata-kata yang hidup dalam puisi, cinta, luka, dan perjalanan menuju pulih. Setiap tulisan adalah suara hati, setiap bait adalah jejak perasaan. Ditulis dengan jiwa, untuk mereka yang merasa. *Nadia Rizqi*🧁
Similar Channels
Swipe to see more
Posts

Masih Tertinggal di Antara Waktu Aku tidak tahu kapan rasa ini mulai tinggal, mungkin saat kau berpaling tanpa benar-benar pergi. Ada hati yang tertaut, pelan, diam, tapi dalam— seperti embun yang jatuh tanpa suara. Jarak telah lama menjadi sahabat sepi, ia memisahkan langkah kita, namun tak pernah bisa mencabut rinduku. Waktu berjalan seperti biasa: sunyi, setia, dan sering tak adil. Ia membawa semua hal menjauh, kecuali perasaan ini. Yang tetap tinggal, yang terus diam-diam menunggu, seolah tak pernah tahu kata selesai. Aku tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi— atau apakah semesta masih menyimpan satu kemungkinan untuk menyatukan dua jiwa yang terlalu lama berputar dalam diam. Tapi selama itu belum pasti, izinkan aku menyayangimu dari kejauhan, tanpa nama, tanpa suara, namun dengan rasa yang tak pernah beranjak pergi.

Masih Di Sini Ada yang tak bisa dijelaskan— semacam benang halus yang mengikat pelan, tak terlihat, tapi terasa sampai detik ini. Kita telah lama berjarak, berjalan di dua dunia yang tak saling menyapa. Tapi entah mengapa, hatiku masih memanggil namamu dalam diam. Rindu tumbuh seperti bunga liar di taman yang tak pernah kau kunjungi lagi. Ia tak butuh air, hanya kenangan untuk tetap hidup. Waktu berkata: "Lepaskan." Tapi rasa tak pernah pandai mendengar logika. Ia tinggal, meski tak diundang oleh kenyataan. Aku tak tahu kapan bisa melihatmu lagi, atau apakah semesta masih menyediakan ruang bagi pertemuan yang tak sempat terjadi dulu. Tapi jika esok tak pernah datang, dan jika nama kita tak pernah lagi berdampingan, setidaknya kau harus tahu: ada hati yang tetap menunggumu pulang— bukan pada tempat, tapi pada rasa yang tak pernah benar-benar pergi.

Tautan yang Tak Usai Ada hati yang tertaut, bukan karena janji, bukan pula karena kata— tapi oleh diam yang saling memahami. Waktu melintas tanpa belas, musim berganti baju dan nama, namun rasa itu tetap, seperti daun yang enggan luruh meski angin memaksa. Kau jauh, aku tak mendekat, tapi ada sesuatu di antaranya yang tak bisa disebut, dan tak ingin dilepas. Seolah waktu tak punya kuasa untuk menyuruhnya pergi. Seolah hati— hanya mengenal satu arah: namamu.

Usiaku 23, hampir 24, di saat jemari teman-temanku dihiasi cincin, aku justru melepaskan genggaman. Bukan menuju pelaminan, tapi menuju kesendirian yang tak kupilih. Di antara undangan yang datang bertubi-tubi, aku hanya bisa tersenyum, menyembunyikan luka di balik ucapan selamat. Dulu, kupikir aku akan duduk di sana, bersama seseorang yang kini hanya tinggal nama. Kita pernah merencanakan segalanya, membayangkan hari di mana kamu ada di meja akad itu, menyebut namaku di depan saksi, mengikat janji yang tak akan terlepas. Namun kini, bukan di meja akad aku duduk, melainkan di sudut sepi yang tak kau lihat. Bukan sebagai pasangan hidup, melainkan sebagai cerita yang pernah hampir sampai. Mungkin, takdir memang punya caranya sendiri, memisahkan yang tak seharusnya bersama, menunda yang belum saatnya tiba. Aku patah, tapi aku percaya— aku belum terlambat untuk bahagia.

*Bekerja dengan Bayangan* Kita pernah berbagi mimpi, kini hanya berbagi ruangan. Dulu kau genggam tanganku erat, kini hanya sekadar berjabat, dingin dan singkat. Setiap pagi kita bertemu, bukan sebagai dua hati yang saling memiliki, tapi dua rekan yang berpura-pura biasa, menyembunyikan luka di balik tumpukan kerja. Aku terbiasa melihatmu, tapi tidak lagi dalam genggaman, hanya dalam tatapan yang cepat berlalu, seolah kita tak pernah saling memperjuangkan. Lucu, bagaimana waktu mengubah segalanya. Dulu, kita merencanakan masa depan bersama, kini kita hanya menyusun laporan yang sama. Bekerja dalam satu ruang, namun tak lagi satu tujuan.

*Aku Ingin Jatuh Cinta Lagi* Di usia dua puluh tiga, aku ingin jatuh cinta lagi, bukan sekadar rindu yang singgah, bukan hanya kisah yang berlalu, tapi sesuatu yang nyata, yang bisa ku genggam utuh. Aku ingin cinta yang tak hanya membara, tapi juga bertahan dalam dinginnya waktu, bukan sekadar tawa dalam obrolan ringan, tapi percakapan panjang tentang masa depan. Aku tak ingin lagi bermain di tepi perasaan, aku ingin melangkah lebih dalam, lebih jauh, bukan untuk sekadar mencoba, tapi untuk menemukan rumah dalam hati seseorang. Di usia dua puluh tiga ini, aku ingin mencintai dan dicintai, dengan kesungguhan yang tak mudah goyah, dengan hati yang siap untuk menetap, bukan singgah.

On play Glenn Fredly - Sedih Tak Berujung S'lamat tinggal, kisah tak berujung Kini ku kan berhenti berharap Perpisahan kali ini untukku Akan menjadi kisah sedih yang tak berujung

*Kita yang Pernah Berjuang* Kau alasanku berjuang, diperjuangkan, dan memperjuangkan. Tujuh tahun kau mengejar, dua tahun kita merangkai cerita, menata mimpi hingga ke ujungnya. Pernikahan yang kita rancang rapi, tabungan yang kita kumpulkan hati-hati, rumah yang kita bayangkan jadi saksi. Semua telah kita susun, namun keadaan yang memberi jawaban. Kita hanya bisa berencana, tapi tak semua rencana berujung nyata. Dan kini, kita selesai, bukan karena cinta tak cukup, tapi karena takdir memilih jalan lain. Meski tak bersama, setidaknya kita pernah ada, dengan segenap ketulusan, dan tanpa penyesalan.