
Dhamma For Everyone
422 subscribers
About Dhamma For Everyone
Artikel Buddha Dhamma universal bagi semua kalangan. Membuka wawasan spiritual, mengasah batin, menambah kebijaksanaan.
Similar Channels
Swipe to see more
Posts

Damai tak Tergoyahkan (2) ~ Ven. Ajahn Chah Sang Buddha mengajarkan kita untuk merenung-kan kondisi yang mengacaukan pikiran itu. Kapan pun pikiran bergerak, ia menjadi tidak stabil dan tak permanen (anicca), tak memuaskan (dukkha) dan bukan sebuah diri (anattâ). Ini merupakan tiga corak universal dari semua fenomena yang terkondisi. Sang Buddha mengajarkan kita mengamati serta mengkontemplasikan pergerakan pikiran ini. Demikian pula halnya dengan ajaran mengenai sebab-musabab saling bergantungan (paticca-samuppâda) yang sama dengan kekeliru-tahuan (avijja) merupakan sebab dan kondisi timbulnya bentuk-bentuk karma kehendak (sankhâra), yang mana kemudian menjadi sebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran (viññana); lalu merupakan sebab dan kondisi bagi munculnya bathin dan jasmani (nâma-rûpa) dan seterusnya, sebagaimana yang kita pelajari dalam kitab suci. Sang Buddha memilah setiap mata-rantai agar membuatnya lebih mudah dipelajari. Sebenarnya ini merupakan penjelasan yang akurat dan teliti tentang realita, tetapi ketika hal ini sungguh terjadi di kehidupan nyata, para cendekiawan kalah sigap, tak mampu mengikuti proses ini. Bagai jatuh terjerembab dari atas pohon hingga menghantam tanah. Kita tak lagi tahu berapa banyaknya ranting yang telah kita lewati sepanjang proses jatuh itu. Sama seperti tatkala pikiran ditubruk oleh suatu kesan mental - apabila tergiur olehnya, maka pikiran ini segera melayang-layang ke dalam suasana bathin yang menyenangkan; ia menganggapnya sebagai suatu hal yang baik tanpa menyadari rantai kondisi yang menyebabkannya, proses ini memang berjalan sesuai dengan uraian dalam teori, namun pada saat yang sama ia juga melampaui batas-batas teori tersebut.

Damai tak Tergoyahkan (1) ~ Ven. Ajahn Chah Seluruh alasan untuk mempelajari Dhamma, ajaran Sang Buddha, adalah guna menyelidiki: cara mengatasi penderitaan serta mencapai kedamaian dan kebahagiaan. Apakah kita mau mempelajari fenomena fisik atau mental, pikiran (citta) atau faktor-faktor psikologikal-nya (cetasika), hanya manakala kita menjadikan pembebasan dari penderitaan sebagai tujuan utama kitalah maka itu berarti kita ada di jalur yang benar - tak lebih, tak kurang. Penderitaan mempunyai sebab dan kondisi bagi keberadaannya. Harap dipahami dengan jelas bahwa sesungguhnya saat pikiran ini diam, ia ada dalam keadaan alami-nya keadaan normalnya. Namun begitu pikiran ini bergerak, ia menjadi terkondisi (sankhâra). Ketika pikiran terpikat pada suatu hal, ia menjadi terkondisi (conditioned). Saat kebencian timbul, ia menjadi terkondisi. Dorongan untuk goyang kesana kemari ini timbul dari pengkondisian. Jika ke-awas-an (awareness) kita kalah cepat dengan munculnya keadaan mental yang segera berentet berkembang-biak itu, maka pikiran ini akan goyah, larut membuntuti serta terkondisi olehnya Kapanpun pikiran bergerak, pada saat itu, ia menjadi sebuah realitas konvensional.

Damai tak Tergoyahkan (5) ~ Ven. Ajahn Chah Apapun yang kita alami, semuanya muncul dari dalam pengetahuan ini. Apabila pikiran ini tidak eksis, pengetahuan tersebut juga tidak akan ada. Semua ini adalah fenomena pikiran. Seperti yang dikatakan Sang Buddha, pikiran adalah cuma sekedar pikiran. la bukanlah makhluk, diri-orang ataupun diri-anda. Juga bukan diri kita maupun mereka. Dhamma itu adalah sekedar Dhamma, begitu saja titik. la alami, berlangsung dengan sendirinya tanpa ada "diri" yang terlibat. la bukanlah kepunyaan kita atau siapapun. la bukan pula sesuatu. Apapun yang dialami seseorang tak lain adalah lima gugus fundamental (khandha): tubuh, perasaan, pencerapan (persepsi), bentuk-bentuk pemikiran dan kesadaran. Sang Buddha mengatakan: biarkanlah semua itu berlalu.

Damai tak Tergoyahkan (3) ~ Ven. Ajahn Chah Tidak ada yang mengumumkan, "Ini Iho kebodohan, Ini Iho bentuk-bentuk karma, dan inilah kesadaran". Proses tersebut manakala sedang terjadi [berlangsung sangat cepat] tak lagi memberi kesempatan bagi para cendekiawan untuk membaca dan menelitinya. Walaupun Sang Buddha telah menganalisa dan menjelaskan urutan momen-momen pikiran dengan amat rinci, namun kejadiannya lebih mirip seperti jatuh dari pohon. Tiada lagi kesempatan bagi kita untuk memperkirakan berapa meter kita telah terjatuh. Apa yang kita bisa ketahui cuma: kita menubruk tanah dengan keras dan itu menyakitkan! Begitu juga dengan pikiran ini. Saat ia terjatuh untuk suatu hal, apa yang kita sadari hanyalah rasa-sakitnya. Dari manakah datangnya semua penderitaan ini, rasa sakit, kesedihan dan keputus-asaan? Mereka tidak datang dari teori yang ada dalam buku. Tiada dimanapun juga tempat rincian penderitaan ini dituliskan. Penderitaan kita takkan sama persis dengan teori, tetapi keduanya melintasi jalan yang sama. Jadi sekedar kecendekiawanan itu saja tidaklah bakal mampu mengikuti kenyataan. Itulah sebabnya Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan pemahaman yang jelas (clear knowing) bagi diri kita sendiri. Apapun yang muncul, muncul dengan diketahui. Manakala "yang-mengetahui" mengetahuinya sejalan dengan kebenaran (truth), maka pikiran ini beserta faktor-faktor mentalnya pun bakal dikenali sebagai: bukan-milik-ku. Dan pamungkasnya, semua fenomena itu adalah cuma untuk ditinggalkan dan dibuang layaknya sampah. Kita musti jangan melekat atau memberi arti apapun padanya.

Mengubah Masalah menjadi Kebahagiaan (1) ~ Lama Zopa Rinpoche Berikut ini adalah ajaran yang sangat menggembirakan dari guru Buddha Tibet Zopa Rinpoche tentang belajar menerima masalah kita karena sebenarnya masalah tersebut merupakan sumber kebangkitan kita. Di zaman modern yang penuh tantangan ini dengan banyak masalah dan ketidak-bahagiaan, manusia sering diliputi oleh penderitaan, dan pikiran mereka tidak tangguh. Ini karena mereka tidak mampu mengenali masalah dan kerugian yang mereka alami sebagai hal yang bermanfaat dan melihat masalah ini sebagai penyebab kebahagiaan. Manusia yang belum mengenal Dharma tidak mampu mengenali hal ini dan tidak mampu melatih pikiran mereka dalam pengenalan ini. Alih-alih melihat semua masalah yang Anda alami, baik yang disebabkan oleh makhluk hidup atau oleh situasi dan keadaan sebagai masalah, Anda perlu mengembangkan kebiasaan mengenali semuanya sebagai kondisi yang menguntungkan dan mendukung kebahagiaan, bahkan menjadi penyebab kebahagiaan. Namun, Anda tidak dapat mengubah persepsi Anda sekaligus. Anda harus mulai dengan mencoba mengenali masalah kecil sebagai hal yang menguntungkan, kemudian secara bertahap, saat Anda menjadi lebih terbiasa dengan hal ini, Anda dapat mulai mengenali masalah yang lebih besar dan lebih serius sebagai hal yang baik, bahkan menyenangkan, dan pada akhirnya diperlukan untuk kebahagiaan Anda. Anda akan melihat segala sesuatu yang mengganggu Anda sebagai hal yang penting untuk mencapai kebahagiaan.

Damai tak Tergoyahkan (4) ~ Ven. Ajahn Chah Sang Buddha tidak mengajarkan mengenai pikiran dan faktor-faktor mentalnya untuk kita lekati sebagai konsep. Satu- satunya tujuan beliau hanyalah agar kita memahami bahwa semua ini tidak-kekal, tak memuaskan dan tiada-diri. Kemudian: biarkanlah berlalu. Letakkan, sadari dan ketahuilah saat kemunculannya. Pikiran ini memang sudah sangat begitu terkondisinya. la terlalu lama dilatih dan terkondisi untuk selalu lari, meleset dari keadaan kesadaran-murni (pure awareness). Dan ketika ia menggelincir, ia menciptakan fenomena terkondisi yang selanjutnya mempengaruhi suasana pikiran, demikianlah seterusnya ia beranak-pinak. Proses inilah yang melahirkan baik dan buruk serta segala hal di muka bumi ini. Sang Buddha mengajarkan kita untuk meninggalkan semua itu. Di awal, tentu saja anda harus membiasakan diri mempelajari berbagai teori supaya nantinya anda mampu meninggalkan semuanya. Ini sekedar proses alamiah saja. Ya demikianlah pikiran ini. Demikian pula faktor-faktor mental. Ambil sebagai contoh: Jalan Mulia Berunsur Delapan. Manakala kebijaksanaan (wisdom) memandang segala sesuatu secara benar dengan wawasan kebijaksanaan (insight), maka pandangan-benar ini akan membawa kepada pemikiran- benar, ucapan-benar, tindakan-benar dan seterusnya. Semua ini meliputi pelbagai kondisi psikologis yang timbul dari hasil pengetahuan-kesadaran-murni (pure knowing awareness), Pengetahuan ini bagaikan sebuah lentera yang menerangi jalan setapak di hadapan kita di kegelapan malam. Bila pengetahuan ini (the knowing) sudah benar, yakni sesuai dengan kenyataan (truth), ia bakal menyebar serta menerangi setiap langkah pada jalan berikutnya.

Damai tak Tergoyahkan (7) ~ Ven. Ajahn Chah Sebab-sebab terdalam yang mendasari proses eksistensi (bhava) belumlah terpadamkan (nirodha). Kondisi yang menyebabkan kelahiran kembali masih ada. Usaha spiritualnya belum mencapai kesempurnaan. Mengapa? Karena: masih ada penderitaan. Jadi berlandaskan ketenangan samatha itu beliau melanjutkan kontemplasi, meng-investigasi dan menganalisa hakekat realitas terkondisi hingga ia terbebas dari kemelekatan, bahkan kemelekatan terhadap ketenangan itu sendiri. Ketenangan ini masihlah merupakan bagian dari dunia eksistensi yang terkondisi dan merupakan realitas-konvensional. Melekat pada kedamaian ini adalah kemelekatan pada realitas-konvensional; selama kita melekat, kita akan terjerumus dalam eksistensi dan kelahiran kembali. Jadi, kalau cuma berhenti dan hanya menikmati ketenangan samatha saja masih akan membawa kepada eksistensi berikutnya serta kelahiran kembali.

Damai tak Tergoyahkan (6) ~ Ven. Ajahn Chah Meditasi itu bagaikan sebatang kayu. Pemahaman dan penyelidikan (vipassana) di salah satu ujung; ketenanagan dan konsentrasi (samatha) di ujung yang lain. Jikalau kita memungutnya, apakah hanya satu ujung yang terbawa? Atau keduanya? Saat seseorang mengambil sebatang kayu, kedua ujungnya terangkat bersama. Lalu, bagian mana yang vipassana, dan mana yang samatha? Dimana batas persis-nya? Sesungguhnya: keduanya adalah pikiran. Bilamana pikiran ini menjadi damai, awalnya kedamaian ini muncul dari ketenangan samatha. Kita memusatkan dan menyatukan pikiran dalam kekhusukan meditatif (samadhi). Akan tetapi, bilamana kedamaian dan ketenangan dari samadhi itu berlalu, penderitaan bakal datang menggantikan. Mengapa demikian? Karena kedamaian yang dihasilkan dari meditasi samatha saja itu masih berdasarkan kemelekatan. Kemelekatan ini kemudian bisa justru menjadi penyebab penderitaan lagi. Jadi, ketenangan bukan merupakan tujuan akhir. Sang Buddha menyaksikan berdasarkan pengalamanNya sendiri bahwa kedamaian pikiran seperti itu bukanlah yang pamungkas.

Mengubah Masalah menjadi Kebahagiaan (2) ~ Lama Zopa Rinpoche Namun jangan salah: Praktik transformasi pikiran tidak dimaksudkan untuk menghilangkan masalah, melainkan untuk memungkinkan Anda menggunakan masalah yang Anda alami untuk melatih pikiran Anda agar bergerak selangkah demi selangkah di sepanjang jalan menuju pencerahan dan kebahagiaan sejati. Bukan berarti Anda tidak akan lagi menerima celaka dari orang lain, atau dari keadaan, atau dari penyakit dan usia tua; Anda hanya tidak akan terganggu oleh apa pun yang terjadi. Peristiwa yang dianggap sebagai masalah oleh pikiran yang tidak terlatih tidak dapat dengan sendirinya mengganggu praktik Dharma Anda; mereka tidak dapat mencegah pencapaian realisasi jalan menuju pencerahan. Faktanya, ketika Anda mempraktikkan transformasi pikiran, masalah tidak hanya tidak mengganggu Anda, mereka benar-benar membantu Anda mengembangkan pikiran dan melanjutkan praktik Dharma Anda. Bagaimana Anda menggunakan masalah untuk mendukung praktik Dharma dan pencapaian kebahagiaan Anda? Anda harus melatih pikiran Anda dengan dua cara. Pertama, Anda menghentikan pikiran untuk sepenuhnya menolak penderitaan, dan kedua, Anda membangkitkan pikiran untuk menyambut masalah. Ketika Anda telah mencapai hal ini dan benar-benar merasa bahagia alih-alih tidak bahagia karena memiliki masalah, masalah tidak lagi menjadi hambatan untuk membangkitkan jalan menuju pencerahan dalam pikiran Anda.

Bahkan Satu Kata Sudah Cukup (13) ~ Ven. Ajahn Chah Siapakah yang memberi tahu Anda tentang ramalan astrologi? Banyak orang membicarakannya, sering kali hanya seperti hobi atau minat biasa. Jika memang seperti yang mereka katakan, lalu apa yang harus dilakukan orang? Apakah mereka menawarkan jalan untuk diikuti? Dari sudut pandang saya, Sang Buddha mengajarkan dengan sangat jelas. Beliau mengatakan bahwa banyak hal yang tidak dapat kita pastikan, dimulai dari saat kita dilahirkan. Astrologi mungkin berbicara tentang bulan atau tahun di masa depan, tetapi Sang Buddha menunjuk pada saat sekarang. Memprediksi masa depan mungkin membuat orang cemas tentang apa yang mungkin terjadi, tetapi kenyataannya adalah bahwa ketidakpastian selalu ada bersama kita sejak lahir. Jika Anda merasa takut, maka pertimbangkan ini: anggaplah Anda dihukum karena kejahatan yang memerlukan hukuman mati, dan dalam tujuh hari Anda akan dieksekusi. Apa yang akan terlintas dalam pikiran Anda? Ini pertanyaan saya untuk Anda. Jika dalam tujuh hari Anda akan dieksekusi, apa yang akan Anda lakukan? Jika Anda memikirkannya dan melangkah lebih jauh, Anda akan menyadari bahwa kita semua saat ini dijatuhi hukuman mati, hanya saja kita tidak tahu kapan itu akan terjadi. Bisa jadi lebih cepat dari tujuh hari. Apakah Anda sadar bahwa Anda sedang menjalani hukuman mati ini? Jika Anda melanggar hukum negara dan dijatuhi hukuman mati, Anda pasti akan sangat tertekan. Meditasi tentang kematian berarti mengingat bahwa kematian akan menjemput kita dan itu bisa terjadi dalam waktu dekat. Namun, Anda tidak memikirkannya, sehingga Anda merasa hidup dengan nyaman. Jika Anda memikirkannya, itu akan membuat Anda berbakti pada praktik Dhamma. Jadi, Sang Buddha mengajarkan kita untuk mempraktikkan perenungan tentang kematian secara teratur. Mereka yang tidak mengingatnya hidup dalam ketakutan. Mereka tidak mengenal diri mereka sendiri. Namun, jika Anda mengingatnya dan menyadari diri Anda sendiri, itu akan membuat Anda ingin mempraktikkan Dhamma dengan serius dan terhindar dari bahaya ini. Jika Anda menyadari hukuman mati ini, Anda pasti ingin mencari solusinya. Umumnya, orang tidak suka mendengar pembicaraan seperti itu. Bukankah itu berarti mereka jauh dari Dhamma sejati? Sang Buddha mendorong kita untuk mengingat kematian, tetapi orang-orang menjadi kesal dengan pembicaraan seperti itu. Itulah kamma makhluk hidup. Mereka memang memiliki sedikit pengetahuan tentang fakta ini, tetapi pengetahuannya belum jelas.