ILMUI WhatsApp Channel

ILMUI

58 subscribers

About ILMUI

Da'wah salafiyah gratis, tanpa yayasan, tanpa logo, tanpa donasi. https://t.me/ilmui

Similar Channels

Swipe to see more

Posts

ILMUI
ILMUI
5/18/2025, 10:14:38 PM

📖 ILMUI 📚: 🌋DUA JENIS MUNHARIF (ORANG YANG MENYIMPANG)🌋 Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh: فالمنحرف إما المبتدع في دينه، وإما الفاجر في دنياه، كما قال الحسن البصري وسفيان الثوري وجماعات من السلف: إن من سَلِم من فتنة البدعة وفتنة الدنيا فقد سلم. وإن كانت البدع أحبَّ إلى إبليس من المعصية. ففتنة البدعة في أهل العلم والدين، وفتنة الدنيا في ذوي السلطان والمال. ولهذا قال بعض السلف: صنفانِ إذا صلحوا صلح الناس: العلماء والأمراء. وقد قال أبو محمد الرملي عن أحمد بن حنبل رحمة الله عليه: بالماضينَ ما كان أشبهَه، وعن الدنيا ما كان أصبرَه، أتتْه البدعةُ فنفاها، والدينا فأباها. وقد قال الله تعالى: {إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ} [التوبة:34]. وقال ابن المبارك: وهل أفسدَ الدينَ إلا الملوك ... وأحبارُ سوءٍ ورُهْبانُها فالأمراء من الملوك وأتباعهم يقولون لِما أحدثوه: سياسة، ويقولون: «شرع وسياسة». والعلماء المتكلمون يقولون: عقليات وكلام، ويقولون: «العقل والشرع». والعبَّاد والفقراء والصوفية يقولون: «حقيقة وشريعة». وسياسة هؤلاء وعقليات هؤلاة وحقيقة هؤلاء أعظم قدرًا في صدورهم من كتاب الله وسنة رسولِه حالًا أو حالًا واعتقادًا. وبإزائهم قوم من الفقهاء والمحدثين والعبَّاد والعامّة ينتسبون إلى الكتاب والسنة والشرع، وهم لا يعلمون من ذلك ما يُحتاج إليه، بل فيهم من الجهل بحقائق ذلك أو التقليد لبعض رؤسائهم ما أوجب نقصَ الكتاب والسنة والشريعة في قلوب أولئك. فتقصيرُ هؤلاء وعدوانُ أولئك كان سببًا لذهاب ما ذهبَ من الدين، وظهورِ ما ظهر من البدع، والله أعلم. Munharif (orang yang menyimpang) itu bisa berupa orang yang berbuat bid'ah dalam agamanya, atau bisa berupa orang yang fasik dalam urusan dunianya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hasan Al-Bashri, Sufyan Ats-Tsauri, dan sekelompok ulama salaf: "Barang siapa yang selamat dari fitnah bid'ah dan fitnah dunia, maka sungguh ia telah selamat." Meskipun sebenarnya, bid'ah itu lebih dicintai oleh Iblis daripada maksiat. Maka fitnah bid'ah terjadi pada kalangan ahli ilmu dan agama, sedangkan fitnah dunia terjadi pada para pemilik kekuasaan dan harta. Oleh karena itu, sebagian salaf berkata: "Dua golongan, jika mereka baik maka manusia akan menjadi baik: para ulama dan para penguasa." Dan Abu Muhammad Ar-Ramli berkata tentang Ahmad bin Hanbal rahimahullah: "Betapa miripnya ia dengan orang-orang terdahulu, dan betapa sabarnya ia terhadap dunia. Ketika bid'ah datang kepadanya, ia menolaknya; dan ketika dunia datang kepadanya, ia menjauhinya." Allah Ta'ala berfirman: “Sesungguhnya banyak dari para rahib dan pendeta memakan harta manusia dengan cara yang batil, dan menghalangi dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka azab yang pedih.” (At-Taubah: 34) Dan Ibnu Al-Mubarak berkata: “Bukankah yang merusak agama ini hanyalah para raja, para pendeta yang jahat, dan para rahibnya.” Maka para penguasa dari kalangan raja dan pengikutnya menyebut apa yang mereka ada-adakan itu sebagai “politik”, dan mereka berkata: “Ini adalah syariat dan politik.” Para ulama filsafat (teolog rasional) menyebutnya sebagai “akal dan ilmu kalam”, dan mereka berkata: “Ini adalah akal dan syariat.” Sedangkan para ahli ibadah, fuqara, dan kaum sufi berkata: “Ini adalah hakikat dan syariat.” Politik para penguasa, rasionalisme para teolog (filusuf), dan hakikat versi kaum sufi itu lebih agung kedudukannya dalam hati mereka dibanding Kitab Alloh dan Sunnah Rosul-Nya—baik dalam keadaan nyata maupun dalam keyakinan mereka. Di sisi lain, ada sekelompok orang dari kalangan fuqaha (ahli fikih), ahli hadits, ahli ibadah, dan orang awam yang mengaku mengikuti Al-Qur’an, Sunnah, dan syariat. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bagian penting darinya. Bahkan, di antara mereka ada yang karena kebodohannya terhadap hakikat ajaran tersebut atau karena taqlid kepada sebagian pemimpin mereka, menjadikan Al-Qur’an, Sunnah, dan syariat itu rendah kedudukannya di hati mereka. Maka kelalaian golongan yang satu dan kedzaliman golongan yang lain itulah yang menjadi sebab lenyapnya sebagian agama dan munculnya berbagai bid’ah. Dan Allah-lah Yang Maha Mengetahui. 📚 Jaamiul Masaail lIbni Taimiyah: 1/42-43 Telegram: https://t.me/ilmui WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P #share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan #DUA #JENIS #MUNHARIF #MENYIMPANG

ILMUI
ILMUI
5/23/2025, 5:31:35 AM

💡TUJUAN HAJI💡 Berkata As-Syaikh Alalbany rohimahulloh: فالمقصود من الحج أن يعود المسلم تقياً نقياً كما ذكرنا، وليس متشرفاً بلقب الحاج، فهذا مما يبطل العمل؛ لأن الله عز وجل يقول: {وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ} [البينة: 5]. نعم. [ناصر الدين الألباني ,جامع تراث العلامة الألباني في الفقه ,8/337] Tujuan dari ibadah haji adalah agar seorang Muslim kembali dengan ketaqwaan dan kesucian, bukan untuk mencari kehormatan dengan gelar “haji”. Maka (gelar haji) ini termasuk pembatal amalan, karena Alloh Azza wa Jalla berkata: “Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Alloh dengan memurnikan agama hanya kepada-Nya” (QS. Al-Bayyinah: 5). 📚(Jaamiutturots (kumpulan warisan) Alallaamah Alalbany fil fiqh: 8/337) Telegram: @ilmui, https://t.me/ilmui WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P share #gratis, tanpa #logo, tanpa minta #donasi, tanpa #yayasan

Image
ILMUI
ILMUI
5/26/2025, 11:47:16 AM

📌 *Hukum berkurban atas nama kedua orang tua/kerabat yang sudah meninggal* 📙 Soal dari Indri Riau di group wa nashihatulinnisa. السلام عليكم ورحمت الله وبركاته Umm, bolehkah anak membayar qurban yg diatas namakan utk org tuanya? (yg ana tanyakan disini ttg qurban atas nama seseorang yg dibayarkan oleh org lain) 💐💐💐💐💐💐💐💐 ‎قال الشيخ محمد ابن عثيمين رحمه الله : ‎" الأصل في الأضحية أنها مشروعة في حق الأحياء كما كان رسول الله صلى الله عليه وسلّم وأصحابه يضحون عن أنفسهم وأهليهم ، وأما ما يظنه بعض العامة من اختصاص الأضحية بالأموات فلا أصل له . ‎والأضحية عن الأموات ثلاثة أقسام : ‎الأول : أن يضحي عنهم تبعاً للأحياء مثل أن يضحي الرجل عنه وعن أهل بيته وينوي بهم الأحياء والأموات ، ( وهذا جائز) وأصل هذا تضحية النبي صلى الله عليه وسلّم عنه وعن أهل بيته وفيهم من قد مات من قبل . ‎الثاني : أن يضحي عن الأموات بمقتضى وصاياهم تنفيذاً لها ( وهذا واجب إلا إن عجز عن ذلك ) وأصل هذا قوله تعالى : ( فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَآ إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ) . ‎الثالث: أن يضحي عن الأموات تبرعاً مستقلين عن الأحياء ( بأن يذبح لأبيه أضحية مستقلة أو لأمه أضحية مستقلة ) فهذه جائزة ، وقد نص فقهاء الحنابلة على أن ثوابها يصل إلى الميت وينتفع به قياساً على الصدقة عنه . ‎ولكن لا نرى أن تخصيص الميت بالأضحية من السنة ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلّم لم يضح عن أحد من أمواته بخصوصه ، فلم يضح عن عمه حمزة وهو من أعز أقاربه عنده ، ولا عن أولاده الذين ماتوا في حياته ، وهم ثلاث بنات متزوجات ، وثلاثة أبناء صغار ، ولا عن زوجته خديجة وهي من أحب نسائه إليه ، ولم يرد عن أصحابه في عهده أن أحداً منهم ضحى عن أحد من أمواته . ‎ونرى أيضاً من الخطأ ما يفعله بعض من الناس يضحون عن الميت أول سنة يموت أضحية يسمونها (أضحية الحفرة) ويعتقدون أنه لا يجوز أن يشرك معه في ثوابها أحد ، أو يضحون عن أمواتهم تبرعاً ، أو بمقتضى وصاياهم ولا يضحون عن أنفسهم وأهليهم ، ولو علموا أن الرجل إذا ضحى من ماله عن نفسه وأهله شمل أهله الأحياء والأموات لما عدلوا عنه إلى عملهم ذلك ." ☄ *Syaikh Muhammad bin Shalih 'Utsaimin _rahimahullaahu ta'ala_ berkata,* *“Hukum asal berkurban adalah disyari’atkan untuk orang yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau berkurban atas diri mereka dan keluarga mereka, adapun apa yang menjadi sangkaan orang-orang awam dari kurban khusus bagi orang yang sudah meninggal dunia, maka tidak ada asalnya (dalam syariat)* *Berkurban untuk mereka yang sudah meninggal ada tiga pembagian,* 1⃣ *Pertama,* *Disembelihkan untuk mereka yang sudah meninggal dunia; sekedar mengikuti mereka yang masih hidup, seperti; seseorang berkurban atas nama dirinya dan keluarganya dengan berniat untuk mereka yang masih hidup dan yang sudah meninggal dunia (dengan sembelihan tersebut). Ini boleh dilakukan. Dasar pendapat ini adalah kurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diri beliau dan keluarganya, dan di antara mereka (keluarga Nabi) ada yang sudah meninggal dunia.* 2⃣ *Kedua,* *Berkurban untuk mereka yang sudah meninggal, karena keharusan untuk menjalankan wasiat orang yang sudah meninggal dunia. Maka Hal ini wajib dilakukan, kecuali tidak mampu untuk menunaikannya. Dasar hukumnya adalah firman Allah Ta’ala,* ‎( فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَآ إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ( *“Maka barangsiapa yang merubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.*  3⃣ *Ketiga,* *Berkurban sebagai bentuk pemberian untuk mereka yang sudah meninggal dunia secara terpisah dengan yang masih hidup, misalnya; seseorang berkurban atas nama bapaknya saja atau ibunya saja yang mana mereka sudah meninggal , maka hal ini boleh dilakukan. Para ulama fikih Hanabilah berpendapat bahwa pahalanya akan sampai kepada mereka, dan mendapatkan manfaatnya, ini dikiyaskan dengan sedekah atas nama orang yang sudah meninggal* 👉🏻 *Akan tetapi kami tidak berpendapat bahwa berkurban yang dikhususkan atas nama mayit saja termasuk dari sunnah; karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan kurban salah satu dari mereka yang sudah meninggal secara khusus. Beliau juga tidak berkurban atas nama pamannya Hamzah padahal ia termasuk keluarga yang paling dekat dengan Rasulullah, juga tidak di lakukan kurban atas nama anak-anak beliau yang sudah meninggal semasa nabi masih hidup , yang mana mereka tiga anak perempuan yang sudah menikah, dan tiga anak laki-laki meninggal pada usia kecil. Beliau juga tidak melakukan kurban atas nama Khodijah saja padahal beliau adalah istri yang paling beliau cintai. Juga tidak datang dari para sahabat pada masa nabi ,mereka berkurban atas nama kerabat mereka yang sudah meninggal.* *Kami juga berpendapat dari kesalahan apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang berkurban atas nama mayit pada tahun pertama meninggalnya, dan dinamakan dengan* 🔹 *Udhhiyatul Hufrah* *Kurban khusus penguburan, dan mereka meyakini bahwa tidak ada yang boleh ikut berserikat bersamanya untuk mendapatkan pahalanya, atau mereka berkurban atas nama orang-orang yang sudah meninggal sebagai sedekah, atau mereka memenuhi wasiat mereka, dan yang masih hidup tidak berkurban atas diri mereka sendiri dan keluarga mereka.* *Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa takkalah seseorang berkurban dari hartanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, maka ini sudah mencakup semua keluarganya , yang masih hidup maupun yang sudah meninggal , maka tentunya mereka tidak akan meninggalkan kurban untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka,dengan melakukan kurban khusus untuk yang sudah meninggal.* 📚 *Risalah Ahkam Udhiah dan Adz Dzakah* ✍🏻 Diterjemahkan Abu Hanan As-Suhaily 16 dzul qa'dah 1440_19 juli 2019 Ikuti NashihatuLinnisa' di TELEGRAM https://t.me/Nashihatulinnisa

ILMUI
ILMUI
5/17/2025, 10:56:30 PM

☀️KESOMBONGAN SELENDANGNYA ALLOH☀️ Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh: فَجَعَلَ الْكِبْرَ مُقَابِلًا لِلْإِيمَانِ فَإِنَّ الْكِبْرَ يُنَافِي حَقِيقَةَ الْعُبُودِيَّةِ كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: {يَقُولُ اللَّهُ الْعَظَمَةُ إزَارِي وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا عَذَّبْتُهُ} فَالْعَظَمَةُ وَالْكِبْرِيَاءُ مِنْ خَصَائِصِ الرُّبُوبِيَّةِ وَالْكِبْرِيَاءُ أَعْلَى مِنْ الْعَظَمَةِ؛ وَلِهَذَا جَعَلَهَا بِمَنْزِلَةِ الرِّدَاءِ كَمَا جَعَلَ الْعَظَمَةَ بِمَنْزِلَةِ الْإِزَارِ. وَلِهَذَا كَانَ شِعَارُ الصَّلَوَاتِ وَالْأَذَانِ وَالْأَعْيَادِ هُوَ التَّكْبِيرَ وَكَانَ مُسْتَحَبًّا فِي الْأَمْكِنَةِ الْعَالِيَةِ كَالصَّفَا والمروة وَإِذَا عَلَا الْإِنْسَانُ شَرَفًا أَوْ رَكِبَ دَابَّةً وَنَحْوَ ذَلِكَ وَبِهِ يُطْفَأُ الْحَرِيقُ وَإِنْ عَظُمَ وَعِنْدَ الْأَذَانِ يَهْرُبُ الشَّيْطَانُ. قَالَ تَعَالَى: {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ} . Maka kesombongan dijadikan sebagai lawan dari iman, karena kesombongan bertentangan dengan hakikat penghambaan (ubudiyah). Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Allah berfirman: 'Keagungan adalah sarung-Ku, dan kesombongan adalah selendang-Ku. Barangsiapa merebut salah satu dari keduanya, maka Aku akan menyiksanya.'" Maka keagungan dan kesombongan adalah kekhususan rububiyah (ketuhanan), dan kesombongan lebih tinggi daripada keagungan. Oleh karena itu, Allah menjadikannya seperti selendang, sedangkan keagungan dijadikan seperti sarung. Oleh karena itu, syiar shalat, azan, dan hari raya adalah takbir. Dan disunnahkan bertakbir di tempat-tempat tinggi seperti Shafa dan Marwah, atau ketika seseorang berada di tempat tinggi, menaiki kendaraan, dan semisalnya. Dengan takbir, api yang besar pun bisa dipadamkan. Dan ketika azan dikumandangkan, setan akan lari. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Tuhanmu berfirman: 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.'" (QS. Ghafir: 60) 📚Majmul Fatawa Ibni Taimiyah 10/196 Telegram: https://t.me/ilmui WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P #share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan #KESOMBONGAN #SELENDANG #ALLOH

ILMUI
ILMUI
5/20/2025, 10:41:39 PM

بسم الله الرحمن الرحيم ✂️ KESERUPAAN AHLUL KITAB DENGAN FANATIKUS MADZHAB ✂️ Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh: تهديد هؤلاء المعاندين الذين أوتوا الكتاب، وعلموا الحق، ولم يتبعوه؛ لقوله تعالى: {وما الله بغافل عما يعملون} ؛ ويشبه هؤلاء من بعض الوجوه من يتعصب لمذهبه ــــ ولو علم أن الحق في خلافه ــــ إحساناً للظن بمن قلدهم؛ ولو أتيتهم بكلام من كلام مشايخهم قالوا: على العين والرأس! ولهذا أكثر شيخ الإسلام ــــ رحمه الله ــــ في «الفتوى الحموية» النقول عن العلماء من الأشاعرة، وغيرهم؛ وقال: «إنه ليس كل من نقلنا قوله فإننا نقول به؛ ولكن لما كان بعض الطوائف منتحلاً إلى إمام أو مذهب، صار لو أُتي بكل آية ما تبعها حتى يؤتى بشيء من كلامهم" وهذا من الدعوة بالحكمة فإنه يقنع المعارض بما لا يمكنه نفيه ومعارضته إذا أتى إليه بشيء من كلام مقلده لا يمكنه أن يحيد عنه وهؤلاء المتعصبون للمذاهب إذا قلنا لهم هذا الإمام الشافعي والإمام مالك والإمام أحمد والإمام أبوحنيفة كلهم ينكرون تقليدهم مع مخالفة الكتاب، والسنة، ويقولون: «اضربوا بأقوالنا عُرض الحائط إذا خالفت الكتاب، والسنة» ؛ ولهم عبارات في هذا المعنى كثيرة؛ وإذا كانوا يقولون هكذا فإن الذين يتعصبون لهم مع مخالفة الدليل لم يقلدوهم [ابن عثيمين ,تفسير العثيمين: الفاتحة والبقرة ,2/132] حقيقة؛ ولو قلدوهم حقيقة لكانوا إذا بين لهم الدليل أخذوا به كما أمر به هؤلاء الأئمة؛ لكنهم لم يقلدوهم حقيقة؛ بل تعصبوا تعصباً لا يحمدون عليه ما دام قام الدليل على خلافه؛ أما إذا لم يقم الدليل عند الإنسان ــــ سواء كان ممن يطلب الدليل، ويستطيع أن يعرف الحكم بالأدلة؛ أو لم يكن كذلك ــــ فهذا على كل حال يعذر إذا قلد من يرى أنه أقرب إلى الحق؛ أما مع وضوح الدليل، وبيانه فإن التقليد حرام؛ ولهذا يقول شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: إن التقليد بمنزلة أكل الميتة يحل للضرورة، أما مع وجود لحم مذكّى فلا تأكل الميتة؛ فمع وجود الدليل من الكتاب، والسنة، وتبينه للإنسان فإنه لا يحل له أن يقلد؛ ولهذا لم يأمر الله بسؤال أهل العلم إلا عند عدم العلم فقال تعالى: {فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون * بالبينات والزبر} [النحل: 43، 44] ؛ أما إذا كنا نعلم بالبينات، والزبر فلا نسألهم؛ ونأخذ من البينات، والزبر. [ابن عثيمين ,تفسير العثيمين: الفاتحة والبقرة ,2/133] Ancaman terhadap orang-orang yang keras kepala dari kalangan ahli kitab, yang telah diberi pengetahuan dan mengetahui kebenaran namun tidak mengikutinya, karena firman Allah Ta’ala: "Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan". Orang-orang ini mirip dalam beberapa hal dengan mereka yang fanatik terhadap mazhabnya — meskipun dia tahu bahwa kebenaran berada di pihak lain — karena berbaik sangka kepada orang yang mereka ikuti (taqlid). Jika kamu membawakan mereka ucapan dari para syekh mereka, mereka akan berkata: “Di atas kepala dan mata kami!” (artinya: kami hormati dan terima). Oleh karena itu, Syaikhul Islam rahimahullah dalam “al-Fatawa al-Hamawiyyah” banyak mengutip dari para ulama kalangan Asy’ariyah dan selain mereka, dan beliau berkata: > "Bukan berarti setiap ucapan yang kami nukil, kami juga berpendapat dengannya. Akan tetapi, karena sebagian golongan menisbatkan diri kepada seorang imam atau mazhab tertentu, maka meskipun dibawakan kepada mereka semua ayat (Al-Qur'an), mereka tidak akan mengikutinya hingga dibawakan ucapan dari tokoh mereka sendiri." Ini termasuk bentuk dakwah dengan hikmah, karena bisa meyakinkan pihak yang menentang dengan sesuatu yang tidak bisa ia sangkal atau tolak ketika dibawakan ucapan dari orang yang ia taqlidi, yang tidak bisa ia berpaling darinya. Adapun orang-orang yang fanatik terhadap mazhab, jika dikatakan kepada mereka bahwa Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Hanifah semuanya menolak untuk ditaqlidi jika ucapan mereka bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah — dan mereka berkata: > “Buanglah ucapan kami ke dinding jika bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah” — dan mereka memiliki banyak ungkapan dengan makna serupa, maka jelaslah bahwa orang-orang yang fanatik terhadap mereka saat menentang dalil, sesungguhnya tidak benar-benar mengikuti mereka (para imam mazhab). Seandainya mereka benar-benar mengikuti mereka (secara sungguh-sungguh), maka saat ditunjukkan dalil kepada mereka, mereka akan menerimanya, sebagaimana para imam tersebut memerintahkannya. Namun faktanya, mereka tidak mengikuti para imam tersebut secara nyata, melainkan mereka fanatik secara berlebihan yang tidak terpuji selama dalil telah menunjukkan hal yang sebaliknya. Adapun jika dalil tidak jelas bagi seseorang — baik dia termasuk yang mencari dalil dan mampu memahami hukum dari dalil, maupun yang tidak — maka dia dimaafkan jika bertaqlid kepada orang yang menurutnya paling dekat kepada kebenaran. Namun, jika dalil sudah jelas dan terang, maka taqlid menjadi haram. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: > “Taqlid itu seperti memakan bangkai, hanya halal karena darurat. Jika sudah ada daging yang disembelih secara syar’i, maka jangan makan bangkai.” Begitu juga, jika telah ada dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah dan jelas bagi seseorang, maka tidak halal baginya untuk bertaqlid. Karena itulah Allah tidak memerintahkan untuk bertanya kepada ahli ilmu kecuali dalam keadaan tidak mengetahui, sebagaimana firman-Nya: > “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, dengan membawa keterangan dan kitab-kitab.” (QS. An-Nahl: 43–44) Namun jika kita sudah mengetahui dengan keterangan yang jelas dan kitab-kitab, maka kita tidak perlu bertanya kepada mereka, cukup kita ambil dari keterangan yang jelas dan dari kitab-kitab. — 📚 [Ibnu ‘Utsaimin, Tafsir al-‘Utsaimin: al-Fatihah dan al-Baqarah, 2/132–133] Telegram: https://t.me/ilmui WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P #share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan #KESERUPAAN #AHLUL #KITAB #FANATIKUS #MADZHAB

ILMUI
ILMUI
5/25/2025, 10:40:10 PM

🌤 KEUTAMAAN 10 HARI AWAL DZULHIJJAH🌤 Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh ditanya: أيهما أفضل يقول عشر ذي الحجة أم العشر الأواخر من رمضان؟ فأجاب رحمه الله تعالى: العشر الأواخر من رمضان في لياليه ليلة القدر وليلة القدر خير من ألف شهر والعشر الأول من ذي الحجة قال فيه النبي عليه الصلاة والسلام (ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر قالوا ولا الجهاد في سبيل الله قال ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع من ذلك بشيء) . [ابن عثيمين ,فتاوى نور على الدرب للعثيمين ,24/2] Pertanyaan: Mana yang lebih utama, sepuluh hari pertama Dzulhijjah atau sepuluh malam terakhir Ramadhan? Maka beliau rahimahullah menjawab: Sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan mengandung malam Lailatul Qadar, dan Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Sedangkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya: “Tidak ada hari-hari di mana amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini (yaitu sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya, “Bahkan tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar (berjihad) dengan diri dan hartanya, lalu tidak kembali dengan apa pun dari itu (mati syahid).” (Shohih Albukhory: 969) [Ibnu Utsaimin, Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 24/2] Telegram: https://t.me/ilmui WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P #share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan #KEUTAMAAN #HARI #AWAL #DZULHIJJAH

ILMUI
ILMUI
5/27/2025, 10:48:30 PM

🌟BERPUASA DAN BERHARI RAYA BERSAMA PENGUASA🌟 Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh ditanya: رسالة فضيلة الشيخ محمد بن صالح العثيمين حفظه الله تعالى السلام عليكم ورحمة الله وبركاته وبعد: فأسأل الله لكم العون ودوام التوفيق. وأفيد فضيلتكم بأنا من موظفي سفارة خادم الحرمين الشريفين حفظه الله تعالى في.... ونحن هنا نعاني بخصوص صيام شهر رمضان المبارك وصيام يوم عرفة، وقد انقسم الأخوة هناك إلى ثلاثة أقسام: 1 قسم يقول: نصوم مع المملكة ونفطر مع المملكة. 2 قسم يقول نصوم مع الدولة التي نحن فيها ونفطر معهم. 3 قسم يقول: نصوم مع الدولة التي نحن فيها رمضان، أما يوم عرفة فمع المملكة. وعليه آمل من فضيلتكم الإجابة الشافية والمفصلة لصيام شهر رمضان المبارك، ويوم عرفة مع الإشارة إلى أن دولة ... وطوال الخمس سنوات الماضية لم يحدث وأن وافقت المملكة في الصيام لا في شهر رمضان ولا في يوم عرفة، حيث إنه يبدأ صيام شهر رمضان ويوم عرفة هنا في.... بعد إعلانه في المملكة بيوم أو يومين، وأحياناً ثلاثة أيام، حفظكم الله. والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته. [ابن عثيمين ,مجموع فتاوى ورسائل العثيمين ,19/39] بسم الله الرحمن الرحيم وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته اختلف العلماء رحمهم الله فيما إذا رؤي الهلال في مكان من بلاد المسلمين دون غيره، هل يلزم جميع المسلمين العمل به، أم لا يلزم إلا من رأوه ومن وافقهم في المطالع، أو من رأوه، ومن كان معهم تحت ولاية واحدة، على أقوال متعددة، وفيه خلاف آخر. والراجح أنه يرجع إلى أهل المعرفة، فإن اتفقت مطالع الهلال في البلدين صارا كالبلد الواحد، فإذا رؤي في أحدهما ثبت حكمه في الآخر، أما إذا اختلفت المطالع فلكل بلد حكم نفسه، وهذا اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية - رحمه الله تعالى - وهو ظاهر الكتاب والسنة ومقتضى القياس: أما الكتاب فقد قال الله تعالى: {فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} فمفهوم الآية: أن من لم يشهده لم يلزمه الصوم. وأما السنة فقد قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا» مفهوم الحديث إذا لم نره لم يلزم الصوم ولا الفطر. وأما القياس فلأن الإمساك والإفطار يعتبران في كل بلد وحده وما وافقه في المطالع والمغارب، وهذا محل إجماع، فترى أهل شرق آسيا يمسكون قبل أهل غربها ويفطرون قبلهم، لأن الفجر يطلع على أولئك قبل هؤلاء، وكذلك الشمس تغرب على [ابن عثيمين ,مجموع فتاوى ورسائل العثيمين ,19/40] أولئك قبل هؤلاء، وإذا كان قد ثبت هذا في الإمساك والإفطار اليومي فليكن كذلك في الصوم والإفطار الشهري ولا فرق. ولكن إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأمر حاكم البلاد بالصوم، أو الفطر وجب امتثال أمره؛ لأن المسألة خلافية، وحكم الحاكم يرفع الخلاف. وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه. كتبه محمد الصالح العثيمين في 28/8/1420 هـ. [ابن عثيمين ,مجموع فتاوى ورسائل العثيمين ,19/41] --- Surat Kepada Yang Mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – semoga Allah menjaganya – Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, amma ba’du: Saya memohon kepada Allah agar memberikan pertolongan dan selalu memberkahi Anda dengan taufik. Saya ingin menginformasikan kepada Yang Mulia bahwa kami adalah pegawai Kedutaan Penjaga Dua Tanah Suci – semoga Allah menjaganya – di (...). Di sini kami menghadapi kesulitan terkait puasa bulan Ramadan yang mulia dan puasa hari Arafah, karena terjadi perbedaan pendapat di antara para saudara kami yang terbagi menjadi tiga kelompok: 1. Kelompok yang mengatakan: Kami berpuasa dan berhari raya mengikuti Kerajaan (Arab Saudi). 2. Kelompok yang mengatakan: Kami berpuasa dan berhari raya mengikuti negara tempat kami tinggal. 3. Kelompok yang mengatakan: Kami berpuasa Ramadan mengikuti negara tempat kami tinggal, sedangkan untuk hari Arafah kami mengikuti Kerajaan. Berdasarkan hal itu, kami berharap Yang Mulia berkenan memberikan jawaban yang memadai dan rinci terkait puasa bulan Ramadan yang mulia dan hari Arafah, dengan penekanan bahwa selama lima tahun terakhir negara (...) tidak pernah bersamaan waktunya dengan Kerajaan dalam hal memulai puasa, baik di bulan Ramadan maupun hari Arafah. Puasa Ramadan dan hari Arafah di sini dimulai satu, dua, bahkan kadang tiga hari setelah diumumkan di Kerajaan. Semoga Allah menjaga Anda. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. --- Bismillahirrahmanirrahim Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat dalam hal jika hilal (bulan sabit awal bulan) terlihat di suatu tempat di negeri kaum Muslimin namun tidak terlihat di tempat lain, apakah seluruh kaum Muslimin wajib mengikutinya, atau hanya wajib bagi yang melihatnya dan yang memiliki kesamaan tempat terbit bulan (mathla’), atau hanya wajib bagi yang melihat dan yang berada di bawah satu kekuasaan yang sama – ada beberapa pendapat dalam masalah ini, dan perbedaan pendapat lain yang terkait. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal ini kembali kepada ahli ilmu. Jika mathla’ bulan di dua negeri tersebut sama, maka keduanya dihukumi seperti satu negeri. Jika hilal terlihat di salah satu, maka hukumnya berlaku di yang lain. Namun jika mathla’nya berbeda, maka setiap negeri memiliki ketetapan masing-masing. Ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahullah – dan ini pula yang tampak dari Al-Qur’an dan Sunnah serta sesuai dengan qiyas: Adapun dari Al-Qur’an, Allah Ta'ala berfirman: “Barang siapa di antara kamu menyaksikan (masuknya) bulan (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan, maka gantilah di hari lain. Allah menginginkan kemudahan untuk kalian dan tidak menginginkan kesulitan, agar kalian menyempurnakan hitungan dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya, dan agar kalian bersyukur.” (Maksud dari ayat ini: barang siapa yang tidak menyaksikannya, maka tidak wajib baginya untuk berpuasa.) Adapun dari sunnah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian melihatnya (hilal), maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya (lagi), maka berbukalah.” (Maksudnya: jika kita tidak melihat hilal, maka tidak wajib berpuasa ataupun berbuka.) Adapun dari qiyas, karena waktu imsak dan berbuka ditentukan menurut masing-masing daerah sesuai dengan waktu terbit fajar dan terbenam matahari, dan hal ini merupakan kesepakatan. Kita lihat penduduk Asia Timur berpuasa dan berbuka lebih awal daripada penduduk bagian baratnya, karena fajar dan matahari terbit dan terbenam lebih dulu di sana. Maka jika ini berlaku untuk imsak dan buka harian, tentu berlaku pula untuk puasa dan berbuka bulanan. Tidak ada perbedaan. Namun, jika dua negara berada di bawah satu pemerintahan dan penguasa memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka, maka wajib mengikuti perintahnya, karena masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah, dan keputusan penguasa menyelesaikan perbedaan pendapat. Berdasarkan hal ini, berpuasalah dan berbukalah sesuai dengan penduduk negara tempat kalian tinggal, baik itu sesuai dengan negara asal kalian atau tidak. Demikian pula dengan hari Arafah, ikutilah negara tempat kalian berada. Ditulis oleh: Muhammad ash-Shalih al-‘Utsaimin pada 28/8/1420 H 📚 [Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin, 19/39-41] --- Berkata Syaikh Al-Albani rohimahulloh: "إذا رأى هلال الصوم وحده أو هلال الفطر وحده فهل عليه أن يصوم برؤية نفسه أو يفطر برؤية نفسه؟ أم لا يصوم ولا يفطر إلا مع الناس؟ على ثلاثة أقوال هي ثلاث روايات عن أحمد". ثم ذكرها والذي يهمنا ذكره منها ما وافق الحديث وهو قوله: "والثالث: يصوم مع الناس ويفطر مع الناس وهذا أظهر الأقوال لقول النبي صلى الله عليه وسلم: "صومكم يوم تصومون وفطركم يوم تفطرون وأضحاكم يوم تضحون". رواه الترمذي وقال: حسن غريب. قال: وفسر بعض أهل العلم هذا الحديث فقال: إنما معنى هذا الصوم والفطر مع الجماعة وعظم الناس". وهذا الحديث مخرج في "الصحيحة" 224 و "الإرواء" 905 من طرق عن أبي هريرة فمن شاء رجع إليها. ثم قال ابن تيمية 117: "لكن من كان في مكان ليس فيه غيره إذا رآه صام فإنه ليس هناك غيره". [ناصر الدين الألباني ,تمام المنة في التعليق على فقه السنة ,page 399] > “Jika seseorang melihat hilal (bulan sabit) Ramadhan sendirian, atau hilal Idul Fitri sendirian, apakah dia harus berpuasa karena penglihatannya sendiri atau berbuka karena penglihatannya sendiri? Ataukah dia tidak berpuasa dan tidak berbuka kecuali bersama orang-orang? Maka terdapat tiga pendapat, yang merupakan tiga riwayat dari Imam Ahmad.” Kemudian beliau menyebutkannya, dan yang menjadi perhatian kita adalah pendapat yang sesuai dengan hadits, yaitu pendapat ketiga: “Pendapat ketiga: Berpuasa bersama orang-orang dan berbuka bersama orang-orang, dan ini adalah pendapat yang paling jelas (kuat), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Hari kalian berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa, hari kalian berbuka adalah hari ketika kalian semua berbuka, dan hari kalian menyembelih (kurban) adalah hari ketika kalian semua menyembelih.’” Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia mengatakan: “Hasan gharib.” Ia (penulis) berkata: Sebagian ulama menjelaskan hadits ini dengan mengatakan: “Maknanya adalah bahwa puasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan mayoritas manusia.” Hadits ini terdapat dalam Ash-Shahihah no. 224 dan Al-Irwa’ no. 905 dari berbagai jalur dari Abu Hurairah, maka siapa yang ingin menelitinya dapat merujuk ke sana. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata dalam (jilid) 1 halaman 117: “Namun, jika seseorang berada di tempat yang tidak ada orang lain selain dirinya, maka apabila dia melihat hilal, dia berpuasa. Karena tidak ada orang lain selain dia.” 📚 [Nasiruddin Al-Albani, Tamaamul Minnah fi At-Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, hlm. 399] Telegram: https://t.me/ilmui WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P #share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan #PUASA #HARIRAYA #BERSAMA #PENGUASA

ILMUI
ILMUI
5/26/2025, 10:58:13 PM

🧱 JANGAN SEMBARANGAN BANGUN MASJID 🧱 Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh ditanya: إذا بنى شخص عمارة له مكونة من طابقين عليها دكاكين وبنى تحت الأرض مسجداً فهل الصلاة في مثل هذا تصح علماً أن بجوار هذه العمارة مساجد وجوامع شتى علماً أنني قرأت لابن حزم رحمه الله في المحلى بأن الصلاة في مثل هذا المسجد لا تصح فهل هذا صحيح؟ فأجاب رحمه الله تعالى: الأصل أن الصلاة صحيحة في كل مكان إلا ما دل الدليل على منعه لعموم قول النبي صلى الله عليه وسلم (جعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً) وهذا المسجد الذي بني وحوله مساجد أُخَر يشبه أن يكون مسجد ضرار لأن المساجد الأولى أحق منه بالجماعة وقد ذكر أهل العلم أنه إذا بني مسجد ضرار يضر من حوله فإنه يجب هدمه ولا تجوز الصلاة فيه لقوله تعالى (لا تَقُمْ فِيهِ أَبَداً لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ) ويعني بقوله تعالى (لا تَقُمْ فِيهِ أَبَداً) ما ذكره قبل هذه الآية (وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِداً ضِرَاراً وَكُفْراً وَتَفْرِيقاً بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَاداً لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ) وعلى هذا فالواجب لكل من أراد أن يبني مسجداً أن يتصل بالجهات المسؤولة عن البلد ليسأل هل يمكنه أن يقيم هذا المسجد أم لا وذلك لأن الحكومة وفقها الله جعلت لكل شأن من شؤون الحياة مسؤولين يرجع إليهم واستقلال الإنسان في مثل هذه الأمور لا ينبغي بل الواجب عليه إذا كان ولي الأمر منع أن ينشأ شيء إلا بعد مراجعته أن يراجع ولاة الأمور قبل أن يحدث ما يحدث. *** [ابن عثيمين ,فتاوى نور على الدرب للعثيمين ,8/2] Pertanyaan: Jika seseorang membangun sebuah gedung bertingkat dua untuk dirinya, yang di bawahnya terdapat toko-toko, dan dia membangun masjid di bawah tanah gedung itu, apakah shalat di masjid seperti ini sah, padahal di sekitar gedung tersebut sudah ada beberapa masjid dan musholla? Saya telah membaca dalam kitab Al-Muhalla karya Ibnu Hazm rahimahullah bahwa shalat di masjid seperti ini tidak sah. Apakah itu benar? Jawaban Syaikh rahimahullah: Hukum asalnya adalah bahwa shalat itu sah di setiap tempat, kecuali jika ada dalil yang melarangnya, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan alat bersuci.” Adapun masjid yang dibangun sementara di sekitarnya sudah ada masjid-masjid lain, maka ini menyerupai masjid Dhirar (masjid yang dibangun untuk maksud merugikan). Karena masjid-masjid yang sudah ada sebelumnya lebih berhak untuk dipakai berjamaah. Para ulama menyebutkan bahwa jika dibangun masjid Dhirar yang merugikan masjid-masjid di sekitarnya, maka masjid tersebut harus dihancurkan dan tidak boleh dipakai shalat, berdasarkan firman Allah Ta'ala: > “Janganlah kamu berdiri di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama lebih berhak untuk kamu berdiri (shalat) di dalamnya.” (QS. At-Taubah: 108) Yang dimaksud dengan firman-Nya “Janganlah kamu berdiri di dalamnya selama-lamanya” adalah apa yang telah disebutkan sebelumnya dalam ayat: > “Dan (juga) orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan, kekafiran, dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta sebagai tempat mengintai bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sebelumnya…” (QS. At-Taubah: 107) Oleh karena itu, setiap orang yang ingin membangun masjid wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak berwenang di negaranya, untuk menanyakan apakah dia diperbolehkan mendirikan masjid tersebut atau tidak. Karena pemerintah — semoga Allah memberinya taufik — telah menetapkan setiap urusan kehidupan ada penanggung jawabnya. Tidak sepantasnya seseorang bertindak sendiri dalam urusan seperti ini. Bahkan, wajib baginya untuk mengacu kepada pihak berwenang jika pemerintah telah mensyaratkan bahwa tidak boleh membangun sesuatu tanpa izin atau musyawarah terlebih dahulu. --- 📚 [Ibnu Utsaimin, Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, 8/2] Telegram: https://t.me/ilmui WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P #share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan #SEMBARANGAN #BANGUN #MASJID

ILMUI
ILMUI
5/22/2025, 10:56:17 AM

☄MAKNA THOGHUT☄ سئل فضيلة الشيخ: عن تعريف الطاغوت؟ Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh ditanya tentang Thogut: فأجاب بقوله: الطاغوت مشتق من الطغيان، والطغيان مجاوزة الحد ومنه قوله تعالى: {إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ} يعني لما زاد الماء عن الحد المعتاد حملناكم في الجارية يعني السفينة. واصطلاحًا أحسن ما قيل في تعريفه ما ذكره ابن القيم رحمه الله أنه -أي الطاغوت-: "كل ما تجاوز به العبد حده من معبود، أو متبوع أو مطاع". ومراده بالمعبود والمتبوع والمطاع غير الصالحين، أما الصالحون فليسوا طواغيت وإن عبدوا، أو اتبعوا، أو أطيعوا فالأصنام التي تعبد من دون الله طواغيت وعلماء السوء الذين يدعون إلى الضلال والكفر، أو يدعون إلى البدع، وإلى تحليل ما حرم الله، أو تحريم ما أحل الله طواغيت والذين يزينون لولاة الأمر الخروج عن شريعة الإسلام طواغيت؛ لأن هؤلاء تجاوزوا حدهم، فإن حد العالم أن يكون متبعًا لما جاء به النبي صلى الله عليه وسلم؛ لأن العلماء حقيقة ورثة الأنبياء، يرثونهم في أمتهم علمًا، وعملًا, وأخلاقًا، ودعوة، وتعليمًا، فإذا تجاوزوا هذا الحد وصاروا يزينون للحكام الخروج عن شريعة الإسلام بمثل هذه النظم فهم طواغيت؛ لأنهم تجاوزوا ما كان يجب عليهم أن يكونوا عليه من متابعة الشريعة. وأما المطاع في قوله رحمه الله فيريد به الأمراء الذي يطاعون شرعًا، أو قدرًا، فالأمراء يطاعون، شرعًا إذا أمروا بما لا يخالف أمر الله ورسوله فالواجب على الرعية إذا أمر ولي الأمر بأمر لا يخالف أمر الله الواجب عليهم السمع والطاعة، وطاعتهم لولاة الأمر في هذا الحال بهذا القيد طاعة الله عز وجل، ولهذا ينبغي أن نلاحظ حين ننفذ ما أمر به ولي الأمر مما تجب طاعته فيه أننا في ذلك نتعبد لله تعالى ونتقرب إليه بطاعته، حتى يكون تنفيذنا لهذا الأمر قربة إلى الله عز وجل, وإنما ينبغي لنا أن نلاحظ ذلك؛ لأن الله تعالى يقول: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ} . وأما طاعة الأمراء قدرًا فإن الأمراء إذا كانوا أقوياء في سلطتهم فإن الناس يطيعونهم بقوة السلطان, وإن لم يكن بوازع الإيمان؛ لأن طاعة ولي الأمر تكون بوازع الإيمان, وهذه هي الطاعة النافعة، النافعة لولاة الأمر، والنافعة للناس أيضًا، وقد تكون الطاعة بوازع السلطان بحيث يكون قويًّا يخشى الناس منه ويهابونه؛ لأنه ينكل بمن خالف أمره. ولهذا نقول: إن الناس مع حكامهم في هذه المسألة ينقسمون إلى أحوال أربع. الحالة الأولى: أن يقوى الوازع الإيماني والرادع السلطاني وهذه أكمل الأحوال وأعلاها. الحالة الثانية: أن يضعف الوازع الإيماني والرادع السلطاني وهذه أدنى الأحوال وأخطرها على المجتمع، على حكامه ومحكوميه؛ لأنه إذا ضعف الوازع الإيماني والرادع السلطاني حصلت الفوضى الفكرية والخلقية، والعملية. الحالة الثالثة: أن يضعف الوازع الإيماني ويقوى الرادع السلطاني وهذه مرتبة وسطى؛ لأنه إذا قوي الرادع السلطاني صار أصلح للأمة في المظهر فإذا اختفت قوة السلطان فلا تسأل عن حال الأمة وسوء عملها. الحالة الرابعة: أن يقوى الوازع الإيماني ويضعف الرادع السلطاني فيكون المظهر أدنى منه في الحالة الثالثة, لكنه فيما بين الإنسان وربه أكمل وأعلى. والمهم أننا نقول: إنه ينبغي لنا عند تنفيذ أوامر السلطان أن نعتقد أننا نتقرب إلى الله عز وجل بذلك. وإنما قال ابن القيم: إن الطاغوت "ما تجاوز به العبد حده من معبود، أو متبوع، أو مطاع " لأن الأمير الذي يطاع قد يأمر بما يخالف أمر الله ورسوله فإنه حينئذ لا سمع له ولا طاعة، ولا يجوز لنا أن نطيعه في معصية الله سبحانه وتعالى؛ لأن الله تعالى جعل طاعتهم تابعة لطاعته وطاعة رسوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كما يفهم من سياق الآية: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ} . ولم يقل: " وأطيعوا أولي الأمر منكم" فدل هذا على أن طاعتهم غير مستقلة بل هي تبع لطاعة الله تعالى وطاعة رسوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وقد ثبت أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: «إنما الطاعة في المعروف» أي فيما أقره الشرع، وأما ما أنكره فلا يجوز أن يطاع فيه أي مخلوق حتى لو كان الوالد أو الوالدة؛ لأن طاعة الله مقدمة على كل طاعة، فإذا أطاع الإنسان أميره أو ولي أمره في معصية الله فقد تجاوز به حده. [ابن عثيمين ,مجموع فتاوى ورسائل العثيمين] Beliau menjawab: Thaghut berasal dari kata thughyan yang berarti melampaui batas. Seperti dalam firman Allah Ta’ala: {إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ} Artinya: "Sesungguhnya ketika air telah melampaui batas, Kami angkut kalian di kapal." Maksudnya, ketika air telah meluap melebihi batas yang biasa, maka Kami angkut kalian di jariyah, yakni kapal. Secara istilah, definisi terbaik tentang thaghut adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa thaghut adalah: "Segala sesuatu yang dilebih-lebihkan oleh seorang hamba melebihi batasnya, baik itu dalam bentuk yang disembah, diikuti, atau ditaati." Yang dimaksud di sini dengan "yang disembah, diikuti, atau ditaati" adalah selain orang-orang yang shalih. Adapun orang-orang shalih tidak disebut thaghut, walaupun mereka disembah, diikuti, atau ditaati. Berhala-berhala yang disembah selain Allah adalah thaghut. Ulama-ulama buruk (ulama su’) yang menyeru kepada kesesatan dan kekufuran, atau menyeru kepada bid’ah, atau membolehkan apa yang diharamkan oleh Allah, atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, maka mereka juga thaghut. Demikian pula orang-orang yang menghias-hiasi (mendorong) para penguasa untuk menyimpang dari syariat Islam dengan sistem-sistem yang menyelisihi Islam, mereka juga adalah thaghut, karena mereka telah melampaui batasnya. Batas seorang alim (ulama) adalah mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ulama sejatinya adalah pewaris para nabi. Mereka mewarisi ilmu, amal, akhlak, dakwah, dan pengajaran dalam umatnya. Maka jika mereka melewati batas ini dan malah menghiasi para penguasa untuk menyimpang dari syariat Islam dengan sistem-sistem seperti itu, maka mereka adalah thaghut, karena telah menyimpang dari tugas seharusnya, yaitu mengikuti syariat. Adapun yang dimaksud dengan "yang ditaati" oleh beliau rahimahullah adalah para pemimpin yang ditaati secara syar’i atau secara takdir. Para pemimpin ditaati secara syar’i jika mereka memerintahkan sesuatu yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Maka wajib bagi rakyat untuk mendengar dan taat kepada perintah pemimpin selama tidak bertentangan dengan perintah Allah. Ketaatan kepada pemimpin dalam batas ini adalah ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu, saat melaksanakan perintah pemimpin dalam perkara yang wajib ditaati, kita harus menyadari bahwa kita sedang beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, agar pelaksanaan perintah tersebut menjadi bentuk pendekatan diri kepada Allah. Kita perlu menyadari hal itu karena Allah Ta’ala berfirman: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ} Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul, serta pemimpin di antara kalian." Adapun ketaatan kepada pemimpin secara takdir adalah ketika para pemimpin memiliki kekuasaan yang kuat, maka manusia akan menaati mereka karena kekuasaan tersebut, meskipun bukan karena dorongan iman. Karena ketaatan yang sejati kepada pemimpin adalah yang dilandasi oleh iman. Inilah ketaatan yang bermanfaat, baik bagi pemimpin maupun rakyat. Namun, bisa saja ketaatan itu muncul karena kekuasaan, di mana pemimpin sangat kuat sehingga orang-orang takut dan segan padanya karena ia akan menghukum siapa saja yang menentangnya. Oleh karena itu kami katakan: Sesungguhnya manusia dalam hubungannya dengan para penguasa dalam masalah ini terbagi menjadi empat keadaan: Keadaan pertama: Kuatnya dorongan iman (al-wāzi‘ al-īmānī) dan kuatnya penegak hukum dari pihak penguasa (ar-rādi‘ as-sulṭānī). Ini adalah keadaan yang paling sempurna dan paling tinggi. Keadaan kedua: Lemahnya dorongan iman dan lemahnya penegak hukum dari pihak penguasa. Ini adalah keadaan yang paling rendah dan paling berbahaya bagi masyarakat, baik bagi penguasanya maupun rakyatnya. Karena jika dorongan iman dan penegak hukum lemah, akan terjadi kekacauan dalam pemikiran, akhlak, dan tindakan. Keadaan ketiga: Lemahnya dorongan iman tetapi kuatnya penegak hukum dari pihak penguasa. Ini adalah tingkat menengah. Sebab jika penegak hukum kuat, maka hal itu akan memperbaiki kondisi umat secara lahiriah. Namun bila kekuatan penguasa hilang, maka jangan ditanya bagaimana buruknya kondisi umat dan amal perbuatannya. Keadaan keempat: Kuatnya dorongan iman tetapi lemahnya penegak hukum dari pihak penguasa. Dalam hal penampakan lahiriah, keadaan ini lebih rendah dibandingkan keadaan ketiga, namun dalam hubungan antara hamba dan Rabb-nya, ini lebih sempurna dan lebih tinggi. Yang penting adalah kami katakan: Hendaknya kita menyadari bahwa saat melaksanakan perintah penguasa, kita sedang mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun alasan Ibnul Qayyim berkata bahwa thaghut adalah "segala sesuatu yang dilebihi oleh seorang hamba dari batasnya dalam hal yang disembah, diikuti, atau ditaati" karena seorang pemimpin yang ditaati bisa saja memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Maka pada saat itu, tidak boleh ada ketaatan atau pendengaran untuknya. Tidak halal bagi kita menaati pemimpin dalam maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala, karena Allah menjadikan ketaatan kepada mereka itu tergantung pada ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dapat dipahami dari konteks ayat: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ} Allah tidak mengatakan: "Dan taatilah ulil amri di antara kalian" (dengan kata kerja perintah yang diulang), tetapi cukup dengan mengaitkannya. Ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemimpin tidaklah bersifat mandiri, tetapi mengikuti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah tetap bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (baik dan benar menurut syariat)." Yakni dalam hal yang diakui oleh syariat. Adapun perkara yang diingkari syariat, maka tidak boleh ditaati oleh siapa pun, bahkan oleh orang tua sendiri. Karena ketaatan kepada Allah harus diutamakan di atas semua bentuk ketaatan lainnya. Maka jika seseorang menaati pemimpinnya dalam bermaksiat kepada Allah, sungguh ia telah melampaui batas dalam menaati pemimpinnya. 📚 Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Majmū‘ Fatāwā wa Rasā’il Ibni ‘Utsaimīn, 2/198-201 Telegram: https://t.me/ilmui WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P #share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan #MAKNA #THOGUT

ILMUI
ILMUI
5/16/2025, 10:56:10 PM

⚡️SULITNYA AHLUL BID'AH BERTAUBAT⚡️ Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh: وهذا كما قد قيل: إن الله حجرَ التوبة عن كل صاحب بدعة، بمعنى أنه لا يتوب منها، لأنه يراها حسنةً، والتوبة إنما تتيسر على من عرف أن عمله سيِّء قبيح، فيكون عمله داعيًا له إلى التوبة، أما إذا اعتقد أنه حسن فيحتاج ذلك الاعتقاد إلى أن يزول، وزوال الاعتقاد لا يكون بالوعظ والتخويف، وإنما يكون بعلم وهدى يبيِّن الله له فساد اعتقادِه، وصاحب الاعتقاد الفاسد جهلُه مركب، وهو لا يُصغي إلى أدلّة مخالفيه وتفهُّمِها لوجهين: أحدهما: أنه لا يجتمع النقيضان في القلب، فلا يجتمع ذلك ودليلُ نقيضِه، فإن دليل النقيض يستلزمه، فلا يمكن أن يتصور دليل النقيض إلا مع عُزوب ذلك الاعتقاد عن القلب، لا مع حضوره، ولأن اعتقاده لذلك القول يدعوه إلى أن لا ينظر نظرًا تامًّا في دليل خلافه، فلا يعرف الحق. ولهذا قال السلف: إن البدعة أحبُّ إلى إبليس من المعصية. وقال أيوب السختياني وغيره: إن المبتدع لا يرجع. واحتج بقوله في الخوارج: «يمرقون من الإسلام كما يمرق السهمُ من الرميَّة، ينظر في نَصْلِه فلا يرى شيئًا، وينظر في رِصَافِه فلا يرى شيئًا، وينظر في قِدْحِه فلا يرى شيئًا، وينظر في نَضِيِّه فلا يرى شيئًا، ويتمارى في الفُوْق قد سبقَ الفرثَ والدمَ». وهذا الذي ذكره هو كحال من {فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ} [التوبة:77]، والذين لو {رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ} [الأنعام:28]. لكن ليس هذا وصف جميع أهل البدع، فليست البدعة أعظم من الردّة عن الإسلام والكفر، وقد تاب خلقٌ من المرتدّين والكفار، لكن هو مظنة الخوف، كالذين أسلموا من المرتدّين كان الصحابة يحذرون منهم خوفًا من بقايا الردَّة في قلوبهم. فهذا هو العدل في هذا الموضع، وقد تاب خلقٌ من رأي الخوارج والجهمية والرافضة وغيرهم. لكن التوبة من الاعتقادات التي كثُر ملازمةُ صاحبها لها ومعرفتُه بحججها يحتاج إلى ما يقابل ذلك من المعرفة والعلم والأدلة. **"Sebagaimana telah dikatakan: Sesungguhnya Allah telah menutup pintu taubat bagi setiap pelaku bid'ah, dalam arti bahwa dia tidak akan bertaubat darinya, karena dia menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Dan taubat itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang mengetahui bahwa perbuatannya itu buruk dan tercela, sehingga perbuatannya menjadi pendorong baginya untuk bertaubat. Namun jika ia meyakini bahwa perbuatannya itu baik, maka keyakinan tersebut perlu dihilangkan terlebih dahulu. Dan hilangnya keyakinan itu tidak bisa dicapai hanya dengan nasihat dan ancaman, tetapi harus dengan ilmu dan petunjuk yang menjelaskan kepadanya rusaknya keyakinan tersebut. Orang yang memiliki keyakinan yang rusak itu kebodohannya kuadrat, dan ia tidak mau mendengarkan dalil-dalil orang yang menentangnya atau memahaminya karena dua alasan: Pertama: Tidak mungkin dua hal yang saling bertentangan berkumpul dalam satu hati. Maka keyakinan itu tidak akan bisa bersatu dengan dalil yang menentangnya. Karena dalil yang bertentangan itu mengharuskan hilangnya keyakinan tersebut. Maka tidak mungkin seseorang memahami dalil yang bertentangan selagi keyakinan yang salah itu masih ada di hatinya. Dan kedua: karena keyakinannya terhadap pendapat tersebut membuatnya enggan untuk memperhatikan secara mendalam dalil yang menentangnya, maka ia tidak akan mengetahui kebenaran. Oleh karena itu para salaf berkata: 'Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada maksiat.' Dan Ayub As-Sakhtiyani serta lainnya berkata: 'Orang yang berbuat bid’ah tidak akan kembali (bertaubat).' Mereka berdalil dengan sabda Nabi tentang kaum Khawarij: 'Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari tubuh buruan: seseorang melihat ke ujungnya, tidak melihat apa-apa, melihat ke pangkalnya, tidak melihat apa-apa, melihat ke batangnya, tidak melihat apa-apa, melihat ke ekornya, tidak melihat apa-apa, sampai ragu apakah anak panah itu telah lebih dahulu menembus isi perut dan darah (karena begitu cepat dan bersihnya keluarnya).'"** **"Apa yang ia sebutkan itu serupa dengan keadaan orang-orang yang disebut dalam firman Allah: {Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai hari mereka menemui-Nya} [At-Taubah: 77], dan seperti orang-orang yang {Jika mereka dikembalikan (ke dunia), niscaya mereka akan kembali kepada apa yang telah dilarang atas mereka} [Al-An'am: 28]. Namun, ini bukanlah sifat semua pelaku bid’ah. Sebab tidak ada bid’ah yang lebih besar daripada kemurtadan dari Islam atau kekufuran. Dan telah banyak orang yang bertaubat dari kemurtadan dan kekafiran. Hanya saja, hal ini merupakan sesuatu yang patut dikhawatirkan, seperti halnya orang-orang yang masuk Islam setelah murtad, para sahabat tetap mewaspadai mereka karena khawatir masih ada sisa-sisa kemurtadan di hati mereka. Maka inilah sikap adil dalam persoalan ini. Telah banyak pula orang yang bertaubat dari pandangan Khawarij, Jahmiyah, Rafidhah, dan selain mereka. Namun, taubat dari keyakinan yang telah lama diyakini penganutnya dan mengetahui hujah-hujjah (syubhat) nya, membutuhkan kepada apa yang dapat menutupi hal tersebut berupa pengetahuan dan ilmu serta dalil-dalil (yang dapat menghilangkan syubhatnya)."** 📚 Jaamiul Masaail lIbni Taimiyah: 1/388-389 Telegram: https://t.me/ilmui WA: https://whatsapp.com/channel/0029VaALfMAGJP8PEIsVk33P #share_gratis, #tanpa_logo, #tanpa_minta_donasi, #tanpa_yayasan #AHLUL #BIDAH #TAUBAT

Link copied to clipboard!